KedaiPena.Com – Tingginya pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2021 bukan merupakan prestasi besar pemerintah. Pasalnnya, lebih dominan berpengaruh low base effect, yaitu suatu kondisi dimana dasar perhitungan pertumbuhan kuartal II 2021 menggunakan data pertumbuhan kuartal II 2020.
Pada periode tersebut merupakan pertumbuhan terendah sepanjang 2020, yaitu sebesar minus 5,32 persen. Sehingga akan diperoleh tingkat pertumbuhan yang sangat tinggi pada kuartal yang sama tahun berikutnya, tanpa memberikan nilai tambah bagi perekonomian nasional.
Hal tersebut disampaikan Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Marwan Cik Asan, menanggapi Badan Pusat Statistik (BPS) yang baru saja mengumumkan realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2021 dengan pencapaian 7,07 persen yang dihitung secara tahunan (yoy) secara kuartalan pertumbuhannya sebesar 3,31 persen. Sehingga akumulasi pertumbuhan ekonomi selama semester I mencapai 3,10 persen.
Menurut Marwan, dalam kondisi normal seharusnya pertumbuhan ekonomi 7 persen dapat memberikan dampak yang besar terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat, namun faktanya tingkat pengangguran dan angka kemiskinan masih tetap tinggi. Artinya pencapaian pertumbuhan ekonomi 7 persen hanya bersifat semu dan tidak mencerminkan kondisi riil sebenarnya.
“Dalam kondisi normal, seharusnya pertumbuhan ekonomi 7 persen dapat memberikan dampak yang besar terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat, namun faktanya tingkat pengangguran dan angka kemiskinan masih tetap tinggi. Jadi, artinya pencapaian pertumbuhan ekonomi 7 persen hanya bersifat semu dan tidak mencerminkan kondisi riil sebenarnya,” ujar Marwan kepada wartawan, Jumat, (6/8/2021).
Marwan menambahkan, ada beberapa fakta yang dapat menjelaskan mengapa pencapaian pertumbuhan ekonomi kuartal II 2021 bersifat semu. Pertama, dari sisi konsumsi rumah tangga pertumbuhannya mencapai 5,93 persen.
Dalam kondisi normal seharusnya dapat memberikan efek yang besar terhadap meningkatnya daya beli dan konsumsi masyarakat, namun faktanya sebagaian perusahaan ritel dan UMKM melakukan penutupan usaha dan mengurangi jumlah karyawan karena sepinya pelanggan.
Selain itu dengan meningkatnya konsumsi rumah tangga seharusnya berkorelasi positif terhadap tingkat inflasi, namun faktanya pada bulan Juni terjadi deflasi sebesar 0,16 persen dan inflasi tahunannya hanya 0,74 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa tingginya pertumbuhan konsumsi pada kuartal II tidak memberikan dampak besar dalam permintaan dan prodduksi barang.
Kedua, menurut Marwan, dari sisi lapangan usaha, sektor yang tumbuh sangat tinggi adalah sektor-sektor yang pada kuartal II 2020 mengalami kontraksi yang sangat dalam seperti, sektor perdagangan besar dan eceran dan sektor transportasi yang masing-masing tumbuh 9,44 persen dan 25,10 persen.
Dengan demikian, tegas Marwan, meskipun tumbuh sangat tinggi namun tidak memberikan efek yang besar terhadap pelaku usahanya.
“Dengan fakta-fakta tersebut pemerintah diharapkan tetap fokus pada pemulihan ekonomi pada kuartal III 2021 yang sangat mungkin lebih berat tantangannya ditengah kasus pandemi covid 19 yang masih tinggi angka positifnya,” pungkas Marwan.
Laporan: Muhammad Hafidh