17 November 2016, merupakan hari yang tidak pernah dibayangkan oleh seluruh masyarakat desa Sukamulya Majalengka. Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Provinsi Jawa Barat, BPN dibantu oleh anggota kepolisian TNI dan Satpol PP melakukan penggusuran terhadap lahan masyarakat yang akan dibangun bandara internasional Jawa Barat.
Kasus ini sudah mencuat dari tahun 2004, dan sampai saat ini ada 1405 kepala keluarga yang mengantungkan hidup dan bermukim di daerah yang akan dibangun BIJB.
Masyarakat desa Sukamulya tidak pernah dilibatkan dalam berbagai sosalisasi terkait rencana pembangunan BIJB, bagaimana untung rugi yang akan mereka dapatkan, izin lingkungan terkait amdal cacat hukum dan tidak pernah diumumkan hasil dari amdal tersebut.
Peristiwa kemarin diakibatkan penolakan masyarakat terkait pengukuran lokasi yang akan dibangun BIJB, masyarakat mempertahankan lahan mereka. Namun mereka dihadapkan pada pasukan polisi TNI dan satpol PP, hingga akhirnya polisi melepaskan gas air mata untuk membubarkan pertahanan  masyarakat.Â
Sampai saat ini ada 6 orang warga yang ditangkap, 16 warga luka luka, dan banyak lahan pertanian yang rusak berat karena terpijak pijak. Anak anak dan perempuan ketakutan akibat kejadian ini, dan sampai saat ini mereka masih berkumpul di balai desa.
Di tempat lain (18/11/16), aparat keamanan yang terdiri dari POLSEK, POLRES LANGKAT, BRIMOB POLDA, TNI, PAMSWAKARSA berjumlah lebih kurang 1500 orang memaksa masuk ke Desa Mekarjaya Kec. Wampu Kabupaten Langkat, Sumatera Utara yang berkonflik dengan Langkat Nusantara Kepong (LNK) yang mengelola lahan PTPN II.Â
Sebanyak 24 alat berat mereka persiapkan untuk menghancurkan rumah dan juga tanaman yang ada di lahan milik petani Desa Mekar Jaya. Hingga saat ini, Desa Mekarjaya di isolasi aparat.Â
Penangkapan terhadap petani Mekarjaya yang melakukan perlawanan terhadap upaya perampasan tanah yang menjadi sumber kehidupannya, masih berlangsung dan jumlahnya sedang di identifikasi.
‎
Peristiwa Sukamulya dan Mekar Jaya, merupakan salah satu contoh buruk proses pembangunan infrastruktur dan ketidakberpihakan Negara terhadap petani di Indonesia sekaligus cermin kemunduran demokrasi.Â
Pengerahan aparat keamanan, intimidasi, kriminalisasi dan teror seolah menjadi pola standar pemerintah rezim Jokowi dalam upaya menggusur lahan warga dengan mengatasnamakan pembangunan dan investasi
Melihat situasi ini, kami dari organisasi pecinta alam anggota WALHI menyatakan sikap :
1. Meminta aparat untuk menghentikan tindak kekerasan terhadap petani yang mempertahankan hak-haknya.
2. Bebaskan 6 orang warga desa Sukamulya.Â
3. Menolak penggusuran lahan masyarakat.
4. Menolak alih fungsi lahan pangan di tengah semakin sempitnya lahan untuk pangan. Penggusuran ini bertentangan dengan komitmen pemerintah untuk mewujudkan kedaulatan pangan.
5. Menolak penggusuran lahan pertanian, di tengah komitmen pemerintah  melakukan reforma agraria karena ketimpangan kepemilikan tanah, terutama di desa.
6. Menuntut pemerintah, dalam hal ini Presiden RI, Menteri ATR/BPN, pemerintah setempat menghentikan penggusuran.Â
7. Usut tuntas dugaan atau indikasi korupsi dan penipuan dalam pembangunan BIJB, seperti adanya bangunan fiktif.
‎
Peryataan bersama‎ organisasi pecinta alam anggota WALHI, ‎GENETIKA UISU, KOMMA FP_UA, Mapala Pelangi Biru ASM Jambi, Gemapala Wigwam, Mapetala UNIB, Mafesripala, GAPABEL, Matala Kampus UTB, Agrawitaka, Ranita UIN, Cicera, MAPALASKA, (KOMPAS) Borneo Universitas Lambung Mangkurat,(MAPALA) Graminea Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat, (MAPALA) Justitia Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, (KPA) ULIN, MAPALA UNASMAN (POLMAN ), MHI SUMUT, COMODO Mapala FE Unpar, Manunggal Bawana ITI, Mateksapala, Wanapalhi.‎
‎