Artikel ini ditulis oleh Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute.
Melihat dinamika demokrasi di Indonesia akhir-akhir ini tampak semakin mundur dan mengkhawatirkan.
Publik dapat lihat dari manuver-manuver politik saling menjegal dan saling menjatuhkan dengan segala cara.
Publik melihat orkestrasi Gerakan menghalangi satu tokoh menjadi kandidat Calon Presiden sangat kasat mata dilakukan institusi negara seperti manuver Kepala KSP Moeldoko ajukan PK ke Mahkamah Agung dan Manuver Ketua KPK, Firli Bahuri seputar pemaksaaan pidana korupsi pada Formula E.
Kedua manuver tersebut merupakan cara-cara yang jauh dari kata demokratis dan lebih tepat disebut upaya tidak bermoral yang dilakukan pejabat publik menghalangi kandidat tertentu untuk berkontestasi sebagai Calon Presiden.
Lembaga negara kini sudah digunakan sebagai alat politik untuk menentukan satu individu apakah layak atau tidak layak berkontestasi dalam aktivitas politik nasional. Publik melihat manuver kepala KSP Moeldoko dan Ketua KPK Firli Bahuri bertujuan untuk menghalang-halangi Anies Baswedan menggunakan hak politiknya untuk dipilih sebagai Presiden 2024-2029.
Aktivitas kedua lembaga negara yaitu KSP dan KPK dalam menjegal dan menghalangi individu lawan politik sebagai partisipan Pemilu 2024 sebenarnya sudah bertentangan konstitusi UUD 1945 dan ketentuan hukum Pasal 12 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Pasal 4 ayat (15) Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010.
Pasal 12 UU 5/2014 menyebutkan “Pegawai ASN berperan sebagai perencana, pelaksana, dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme”.
Dan menurut Pasal 4 ayat (15) Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil larangan ASN yaitu memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara: terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah; menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye; membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
Kedua ketentuan tersebut baik UU 5/2014 maupun PP 53/2010 merupakan aturan main bahwa pejabat publik dan aparatur negara tidak seharusnya menggunakan kekuasaan untuk mendukung maupun menghalangi warga negara sah menjadi pemimpin nasional.
Kepala KSP Moeldoko dan Ketua KPK Firli Bahuri sudah layak dibawa ke meja hijau karena sudah melanggar ketentuan hukum. Apalagi keduanya menggunakan instrumen negara untuk menjegal hak politik seseorang untuk dipilih.
Keduanya juga dapat dinilai anti demokrasi karena berusaha menghalangi hak politik seseorang. Bila Moeldoko dan Firli Bahuri adalah tokoh pro demokrasi seharusnya keduanya biarkan individu untuk dapat menggunakan hak dipilihnya dalam Pemilu 2024 nanti. Situasi seperti ini mengingatkan pada situasi politik orde baru dimana tidak boleh ada individu yang menyaingi Presiden Soeharto sebagai Calon Presiden.
Manuver Moeldoko dan Firli Bahuri Dalam Menjegal Anies Baswedan
Situasi politik kian menghangat setelah isu pengajuan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung oleh Moeldoko.
Tercatat, MA sudah menolak kasasi yang diajukan KSP Moeldoko terkait Keputusan Menteri Hukum dan HAM yang menolak hasil Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Deli Serdang. Sudah berkali-kali gugatan hukum KSP Moeldoko ditolak Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta di tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta di tingkat banding.
Publik menilai bahwa upaya Moeldoko ini sebagai upaya untuk menjegal pencapresan Anies Baswedan karena bila Partai Demokrat di ambil alih Moeldoko dari AHY, maka Demokrat tidak akan memilih Anies Baswedan lagi. Moeldoko pun berdalih bahwa Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung tidak ada hubungannya dengan pencapresan Anies Baswedan.
Langkah Moeldoko, disadari atau tidak, akan mencoreng wajah pemerintah, kecuali bila Moeldoko malah diperintah oleh Presiden Jokowi untuk melakukan manuver tersebut. Bila Presiden Jokowi tidak memerintahkan melakukan manuver tersebut maka Reshuffle Moeldoko dari jabatannya sebagai KSP adalah langkah yang harus dilakukan Presiden.
Bila presiden tidak mau melakukan reshuffle terhadap Moeldoko maka ada kesan bahwa Presiden seperti memihak capres tertentu karena publik melihatnya sebagai benang merah upaya mempertahankan kekuasaan.
Manuver Firli Bahuri dalam Formula E dinilai sangat kental dengan motif politis. Di level teknis masih belum menemukan bukti kuat sementara di level pimpinan KPK memaksakan untuk dinaikkan statusnya ke tahap penyidikan. Dan hingga saat ini tampaknya KPK sedang berusaha mencari poin kesalahan Anies Baswedan di Formula E.
Mantan Direktur Penyelidikan KPK Brigjen Endar Priantoro mengakui adanya perbedaan pendapat dengan Ketua KPK Firli Bahuri dalam penanganan kasus dugaan korupsi Formula E. Dan perbedaan pendapat ini disebut-sebut menjadi alasan Firli memberhentikan Endar dari KPK. Ini adalah bentuk kesewenang-wenangan dan ambisi kuat untuk memperkarakan Anies Baswedan.
Jika manuver-manuver politik seperti ini terus terjadi maka demokrasi Indonesia menjadi terancam.
Selama manuver-manuver kotor terjadi maka selama itu pula Indonesia tidak akan pernah lepas dari permasalahan-permasalahan terutama masalah ekonomi. Dan membuat negara ini selalu bertengger menjadi negara kelas ketiga yang miskin. Jika begitu, mau dibawa kemana negeri ini tuan?
[***]