KedaiPena.com – Tidak berkembangnya pendidikan di Indonesia dinyatakan sebagai akibat dari banyaknya ragam sumber daya alam. Sehingga tak ada tekanan bagi masyarakat untuk bersaing dan mampu produktif.
Menteri Riset dan Teknologi dan Kepala BRIN 2019 – 2021, Prof. Bambang Brodjonegoro menyatakan pada awal tahun 50an, Indonesia dan Korea Selatan memiliki status yang sama, yaitu low income di Asia.
“Tapi pada era 70an, Korea Selatan sudah memasuki lower middle. Dan pada tahun 90an, saat Indonesia naik ke lower middle income, Korea Selatan sudah naik menjadi high income. Pertanyaannya, start sama, kenapa bisa beda jauh,” kata Bambang, dalam salah satu diskusi, ditulis Jumat (9/6/2023).
Padahal, lanjutnya, kepemilikan Korea Selatan atas sumber daya hanya cukup untuk kebutuhan dalam negeri. Bahkan, Korea Selatan tak memiliki sumber daya tambang.
“Korea Selatan berangkat dari modal alam nol. Sehingga mereka terpaksa bertumpu hanya dari sumber daya manusia. Dan kebetulan mental mereka sangat luar biasa. Mereka merasa harus survive, apalagi dengan adanya ancaman dari Korea Utara. Itu lah yang membedakan Indonesia dengan Korea Selatan, termasuk untuk pendidikan,” urainya.
Prof Bambang menyebutkan saat ini pun banyak para peserta didik yang memilih salah satu pendidikan tinggi di Korea Selatan karena mereka yakin akan kualitasnya.
“Yang pertama itu tuntaskan kesehatan dan selanjutnya pendidikan. Dengan menyusun sistem pendidikan yang memastikan hasilnya adalah SDM berkualitas tinggi. Lihat Korea Selatan, yang merajai pasar handphone dan mobil,” urainya lagi.
Ia menyatakan alasan terbesar Indonesia adalah comfort zone yang terlalu luas, menyebabkan tingkat tekanan untuk meningkatkan SDM menjadi tidak urgent.
“Jika saja kombinasi antara sumber daya alam dengan SDM bisa dilakukan dengan baik, maka Indonesia akan mampu menyamai Amerika Serikat. Yang penting adalah doktrin terkait competitiveness dan produktifitas. Bukan cerita tentang kita penghasil atau pengekspor tapi seharusnya menjadi nomor satu di tatanan global,” kata Prof Bambang.
Inilah, yang seharusnya menjadi patokan bagi para pemimpin kita untuk selalu mendorong peningkatan SDM dalam tatanan internasional.
“Konsistensi dalam melakukan riset dan inovasi harus menjadi perhatian utama. Dan diikuti dengan pasar untuk menampung hasil dari riset dan inovasi itu dan selanjutnya, menjadi pemegang suatu industri,” ucapnya.
Sebagai contoh, Pindad, salah satu produknya adalah peluru.
“Yang butuh peluru siapa? TNI atau Polri. Tapi kenyataannya, banyak beli dari luar, kebijakan anggaran, membuat peluru Pindad tidak memiliki pasar yang memadai. Disinilah peran pemerintah harus tampil,” ucapnya lagi.
Atau contoh lainnya, kurangnya R&D di bidang Manufacturing.
“Ini fungsinya beasiswa LPDP. Setiap penerima beasiswa diharapkan tidak hanya mengembangkan riset di kampusnya tapi juga mampu mengembangkan riset di industri dalam negeri. Setiap penerima LPDP harus kembali untuk mengembangkan Indonesia ini. Indonesia harus mengembangkan industri dalam negeri dengan SDM Indonesia sendiri,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa