Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Kemiskinan adalah kondisi dimana pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, yang terdiri dari kebutuhan makanan dan non-makanan.
BPS menetapkan kebutuhan makanan berdasarkan kecukupan energi harian, atau energy sufficient diet, sebesar 2100 kilo kalori.
Tetapi, menurut FAO, kebutuhan kalori atau energi saja tidak cukup. Kebutuhan makanan harus dapat memenuhi kecukupan gizi seimbang, atau healthy diet, yang kita kenal dengan 4 sehat, 5 sempurna.
Berdasarkan acuan healthy diet, dan analisis Tim Jurnalisme Data Harian Kompas, ada 183,7 juta orang Indonesia, atau 68 persen dari populasi, tidak mampu memenuhi gizi seimbang. Per definisi, mereka masuk kategori rakyat miskin, seperti dijelaskan di dalam tulisan sebelumnya.
Sedangkan menurut BPS, dengan menggunakan kecukupan kalori, energy sufficient diet, jumlah rakyat miskin Indonesia “hanya” 9,57 persen atau 26,36 juta orang (2022). Karena BPS menetapkan garis kemiskinan sangat rendah. Hanya dengan Rp535.547 per orang per bulan, atau Rp397.125 untuk makanan, dianggap sudah bisa memenuhi kecukupan 2100 kilokalori. Tidak realistis. Tidak manusiawi.
Untuk itu, Bank Dunia mengusulkan agar pemerintah mengubah garis kemiskinan BPS yang tidak masuk akal tersebut.
Tetapi usulan Bank Dunia sepertinya tidak disetujui. Sri Mulyani beralasan, kalau garis kemiskinan dinaikkan maka angka kemiskinan seketika melonjak.
Masalahnya, mengubah garis kemiskinan tidak akan bisa mengubah fakta kemiskinan.
Sri Mulyani harus paham, meskipun garis kemiskinan dibuat rendah, seperti yang ditetapkan BPS, tetapi fakta kemiskinan tidak berubah, yaitu ada 183,7 juta orang tidak mampu membeli makanan gizi seimbang sesuai acuan FAO.
Selain itu, angka kemiskinan menurut BPS tersebut, yaitu 9,57 persen atau 26,36 juta orang, terbukti sangat tidak masuk akal. Karena, angka stunting atau gangguan pertumbuhan saja mencapai 21,6 persen (2022).
Yang lebih memprihatinkan, angka stunting Indonesia (pada 2020) merupakan yang terburuk kedua di Asia Tenggara, hanya lebih baik dari Timor Leste, tetapi lebih buruk dari Laos, Myanmar, dan Kamboja.
Semua ini menunjukkan bahwa fakta kemiskinan menurut BPS adalah ilusi, manipulatif.
Fakta kemiskinan yang benar adalah 183,7 juta orang, atau 68 persen dari populasi, tidak mampu memenuhi kecukupan gizi seimbang, healthy diet, 4 sehat 5 sempurna, seperti perhitungan analisis Tim Kompas.
Di lain sisi, menurut Bank Dunia, Indonesia seharusnya menggunakan garis kemiskinan internasional, yaitu Rp37.948,5 atau 6,85 dolar AS (kurs PPP, 2017 = Rp5.540) per orang per hari, atau sekitar Rp1.138.000 per orang per bulan.
Karena, Indonesia sudah masuk negara berpendapatan menengah atas (upper middle income), dengan pendapatan per kapita 4.332,7 dolar AS pada 2021.
Negara berpendapatan menengah atas adalah negara dengan pendapatan per kapita antara 4.046 sampai 12.535 dolar AS.
Dengan menggunakan garis kemiskinan internasional Bank Dunia ini, jumlah rakyat miskin Indonesia mencapai 168,8 juta orang, atau 60,5 persen dari populasi, sedikit lebih rendah dari hasil analisis Tim Kompas berdasarkan kebutuhan gizi seimbang healthy diet FAO. Tetapi sejalan.
Dengan menggunakan kriteria garis kemiskinan yang sama, yaitu 6,85 dolar AS (kurs PPP, 2017) per orang per hari, jumlah rakyat miskin Indonesia ini jauh lebih besar dari Vietnam yang masih masuk kategori negara berpendapatan menengah bawah, dengan pendapatan per kapita 3.756,5 dolar AS (2021).
Angka kemiskinan Vietnam hanya 18,7 persen dari populasi (2020). Angka kemiskinan ini pasti sudah turun lagi pada 2022, mungkin sudah di bawah 15 persen.
Artinya, persentase kemiskinan Indonesia mencapai 4 kali lipat dibandingkan Vietnam.
Artinya, sebagian besar pertumbuhan ekonomi Indonesia dinikmati masyarakat kelompok atas. Sedangkan masyarakat kelompok bawah sulit keluar dari kemiskinan, karena dimiskinkan dengan angka kemiskinan manipulatif?
[***]