KedaiPena.com – Pemerintah seharusnya bisa memberlakukan kebijakan untuk meningkatkan daya saing internasional bagi perusahaan kecil dan menengah agar dapat meningkatkan ekspor. Bukan hanya memberikan porsi besar pada pengusaha dengan modal besar.
Managing Director PEPS, Anthony Budiawan menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang selama ini disebut-sebut inklusif hanya klaim saja.
“Faktanya, pertumbuhan ekonomi selama ini tidak inklusif, banyak diskriminasi ekonomi antara pemodal besar versus rakyat,” kata Anthony, Selasa (7/8/2024).
Ia memaparkan distribusi lahan pertanian, perkebunan dan pertambangan dikuasai oleh segelintir orang saja yang bisa mendapat puluhan, ratusan dan bahkan jutaan hektar. Distribusi kekayaan juga sangat timpang. Kurang dari 1 persen orang kaya menguasai lebih dari 90 persen kekayaan nasional. Distribusi pendapatan juga semakin timpang.
“Sekitar 168 juta penduduk atau sekitar 60,5 persen dari jumlah penduduk pada 2022 mempunyai pendapatan kurang dari Rp1,1 juta rupiah per orang per bulan. Berdasarkan pendapatan, maka koefisien ketimpangan pendapatan (GINI) mencapai paling sedikit 0,55. Artinya, sangat timpang dan rawan konflik sosial. Jadi, inklusif dari mana? Tidak ada,” ujarnya tegas.
Di lain sisi, lanjutnya, pembangunan ekonomi Indonesia hanya ‘sporadis’, tidak ada perencanaan atau blueprint, sehingga tidak bisa dibilang berkelanjutan.
“Target pertumbuhan yang tercantum di dokumen Rencana Pembangungan baik Jangka Menengah atau Jangka Panjang hanya sebuah angka, misalnya 7,0 persen, tanpa arti. Pemerintah bisa tiba-tiba mengeluarkan kebijakan ekonomi tanpa perencanaan sama sekali. Ini dipertontonkan secara transparan oleh pemerintahan Jokowi,” ujarnya lagi.
Antara lain, contohnya, pemerintahan Jokowi tiba-tiba memberi stimulus fiskal untuk smelter khususnya nikel. Atau untuk kendaraan listrik secara luas, termasuk yang tidak diproduksi di dalam negeri.
“Semua ini menunjukkan pembangunan ekonomi bukan saja tidak berkelanjutan, tetapi tanpa arah sama sekali, hanya berdasarkan kepentingan elit politik dan kroni,” kata Anthony lagi.
Dampaknya, menurutnya, pertumbuhan ekonomi akan tertatih-tatih, dan ketimpangan pendapatan dan kekayaan akan semakin lebar.
“Pertumbuhan ekonomi hanya mengandalkan sektor komoditas sumber daya alam dan mineral. Kenaikan harga komoditas memicu pertumbuhan ekonomi menjadi lebih tinggi. Tetapi sebaliknya, ketika harga komoditas turun seperti terjadi saat ini, pertumbuhan ekonomi tertekan. Sektor komoditas ini sekaligus memperlebar jurang kesenjangan sosial,” ungkapnya.
Anthony menyatakan pemerintah harus bisa memberi akses ekonomi secara adil kepada seluruh masyarakat, khususnya lapisan bawah.
“Akses ekonomi harusnya terbuka lebar untuk mayoritas penduduk Indonesia, termasuk akses faktor produksi (lahan) dan akses finansial,” ungkapnya lagi.
Salah satu sumber ketimpangan sosial yang paling serius ke depannya adalah Undang-undang Cipta Kerja yang dengan sengaja diundangkan untuk kepentingan pemodal besar atau kapitalis liberal. Ia menyatakan Undang-undang Cipta Kerja pada hakekatnya akan meningkatkan dan memperdalam jurang kesenjangan sosial secara struktural.
“Kebijakan investasi harus melibatkan dan memberi keberpihakan kepada pelaku ekonomi domestik, bukan hanya memberi karpet merah kepada investor asing. Antara lain, memberi stimulus dan akses finansial kepada perusahaan kecil dan menengah, bukan malah menghambatnya,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa