KedaiPena.Com – Dunia panjat tebing Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Tercatat sejak medio 1960-an, ‘rock climbing’ sudah menggeliat. Adalah perintis Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) Mamay Salim yang menceritakan hal tersebut, saat berbincang dengan KedaiPena.Com di sela acara Rocktober, Climb With Legend di Tebing Gunung Parang, Purwakarta, Jawa Barat.
“Kalau bicara panjat tebing di Indonesia, ceritanya panjang juga. Tahun 1963 itu panjat tebing sudah merintis. Pasukan RPKAD melakukan panjat tebing di zaman Soekarno, mereka melakukan di Papua. Kemudian tahun 1964 ada Wanadri, Mapala UI yang juga melakukan panjat tebing. Aura panjat tebing lebih berasa pada tahun 1976, saat itu ada kelompok mahasiswa ITB yang menamakan diri Skygear. Mereka itu gila-gilaan panjat tebing-nya,” seru Mamay, yang juga bergelut di Eiger Adventure Service Team (EAST).
Ia pun mengatakan, awalnya belajar memanjat secara otodidak, hanya belajar dari buku. Jadi secara praktek tidak begitu mengerti. Baru pada tahun 1980, pada Gladian Nasional Pencinta Alam Indonesia ke-VI di Yogyakarta, Skygears memperkenalkan dunia panjat tebing untuk umum.
“Saya berminat, lalu belajar ke rumah Kang Harry Sulistiarto yang ketika itu di Skygears. Saya bawa teman-teman. Alat disediain, sembilan bulan belajar. Tapi saya dikasih tahu, supaya panjat tebing dikembangin, ilmunya diajarkan ke orang,” pemanjat senior ini melanjutkan.
Tak berhenti di situ, Mamay kemudian memulai perjalanan penjat tebing baik di dalam ataupun luar negeri. Di tahun 1985 ia belajar ke luar sambil ekspedisi.
“Pada tahun 1986, digelar kejuaraan dunia pertama panjat dinding di Italia. Dari situ kita juga bikin tebing buatan, di tembok garasi saja, untuk melatih keterampilan. Kita main-main di situ,” Mamay melanjutkan.
Masa depan panjat tebing mulai terlihat cerah saat tahun 1988. Saat itu, ia kedatangan tamu dari Kedutaan Perancis dan mampir ke kantor Skygears. Usut punya usut, ternyata ada tiga pemanjat dari Perancis yang akan datang. Mereka akan melakukan beberapa hal di Indonesia.
“Kerjasama dengan Kemenpora juga, dan ternyata ketiganya pemanjat dunia, idola saya. Dari situ dibikin kepanitiaan, besar juga. Ada kursus calon instruktur, peserta 32 orang dan dilakukan 1 bulan penuh. Nah, saya mendampingi ekspedisi ketiga pemanjat, itu di Medan, Jatim dan Jabar. Meriah sekali sambutan di daerah,” Mamay mengingat hal tersebut.
Setelah itu, para pemanjat asal Perancis itu memberi pandangan. Bahwa di dunia ada organisasi panjat tebing. Dan Indonesia juga harus punya. “Perancis saja sudah ada,” singkat dia.
Di akhir program itu, seluruh peserta dan pemanjat kumpul di lapangan monas. Di hari Jumat bersejarah itu, mereka mengikrarkan manifesto yang intinya menyepakati membentuk Federasi Panjat Tebing dan Gunung Indonesia. Saat itu, Harry Sulistiarto menjadi presidennya.
“Setelah itu dibentuk koordinator di 16 provinsi. Ini dilakukan untuk ke depan akan dijadikan sentral infomasi. Tapi dari 1988 sampai 1990 itu pergerakannya agak lambat, karena seluruh pengurus, di daerah dan pusat itu pemanjat. Jadi kepentingannya memanjat,” lanjutnya.
“Mereka fokus soal teknis, Bagaimana bikin tebing buatan, bagaimana caranya kompetisi. Bahkan, dibuat rintisan kompetisi pertama panjat dinding. Kala itu 17 Agustus 1988, di gardu listrik PLN,” ujar dia lagi.
“Kita undang Mas Harry, wah ramai sekali. Meski akhirnya dibubarin polisi. Itu cikal bakal kompetisi pertama di Indonesia,” tawanya memecah dingin malam di kaki Tebing Gunung Parang.
Setelah itu, geliat kompetisi pun terjadi. Kompetisi pun digelar Kampus Itenas, Kampus Parahyangan, lalu di Kampus Trisakti. Sejak saat itu pula, Mamay jarang pulang ke rumah, keliling Indonesia meramaikan kompetisi yang makin pupoler itu.
Meski, akhirnya Mamay kelelahan. Bayangkan, mulai buat aturan sendiri, bikin jalur, jadi juri juga. Dari situ ia mengatakan, FPTI harus dibuat profesional. Harus dicari ketum yang bisa mendukung pendanaan.
“Akhirnya di Bintaro, pada 9 April 1990, disepakati Setiawan Djodi, pengusaha dan musisi didaulat menjadi ketua umum pertama, dan organisasi jadi hidup,” Mamay memungkasi.
(Prw/Doni/Bronk)