PRESIDEN Jokowi di Hari Raya Idul Fitri 1438 H, Minggu (25/6), kedatangan tamu istimewa. Mereka adalah para pengurus Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Majelis Ulama Indonesia (MUI) di bawah pimpinan Ustaz Bachtiar Nasir (UBN).
Pertemuan yang tergolong istimewa dan langka itu, berlangsung dalam kemasan program open house lebaran. Bila menggunakan istilah Mensesneg Pratikno, dalam acara open house, Presiden menerima siapa saja yang ingin bersilaturahmi, termasuk tentunya para pimpinan GNPF.
Kronologi peristiwa menurut Pratikno, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengontak dirinya dan mengabarkan, bahwa pimpinan GNPF MUI ingin bersilaturahmi dengan Presiden.
Pratikno kemudian menyampaikan kepada Presiden dan Presiden menyetujui. Jadilah pertemuan tersebut terselenggara. Presiden di dampingi oleh Menkopolhukam Wiranto, Menteri Agama, dan Mensesneg.
Versi GNPF MUI berbeda lagi. Menurut salah seorang yang hadir dalam pertemuan tersebut, mereka diundang oleh Presiden. Jadi, bukan mereka yang meminta bertemu.
Siapapun yang mengambil inisiatif, sesungguhnya tidak perlu dipersoalkan. Bagaimanapun, sebuah silaturahmi, antara Presiden dengan sejumlah tokoh Islam yang selama ini diposisikan berseberangan, patutlah disyukuri. Jadi, ini bisa dianggap sebagai berkah di hari nan fitri. Kemenangan bersama.
Menjaga Perasaan Megawati
Lepas dari persoalan momennya yang bertepatan dengan Idul Fitri, pertemuan tersebut menumbuhkan harapan dan tafsir politik tersendiri. Coba perhatikan urut-urutan kegiatan Presiden pada hari itu.
Semula Presiden dijadwalkan bertemu dengan pengurus GNPF pada pukul 10.00. Namun, karena mereka baru bisa berkumpul pada pukul 11.00, maka silaturahmi mundur menjadi pukul 12.50. Sebab, saat itu Presiden sudah dijadwalkan hadir pada open house di kediaman mantan Presiden Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta.
Dengan melihat urutan jadwal kegiatan Presiden, kita bisa menjadi maklum mengapa kemudian Mensesneg menyampaikannya kepada media, bahwa inisiatif pertemuan tersebut datangnya dari pengurus GNPF. Mensesneg menjaga agar tidak ada yang merasa ‘kehilangan muka’.
Dalam kultur Jawa dikenal istilah tata krama, ‘unggah ungguh’. Adab sopan santun, termasuk dalam hal berpolitik.
Kita tentu masih ada yang ingat ujaran leluhur yang sering disampaikan mantan Presiden Soeharto untuk ‘mikul duwur mendem jero’.
Sikap menghormati orang yang lebih tua, dan memendam sedalam-dalamnya kesalahan mereka, digunakan Soeharto ketika banyak yang mendesaknya mengapa tidak mengadili mantan Presiden Soekarno yang notabene adalah ayah kandung Megawati.
Jokowi adalah kader partai PDIP. Dalam bahasa Megawati ‘petugas partai’. Kendati Jokowi telah menjadi Presiden, maka sebagai adab sopan santun, ketika Lebaran tiba, dia tetap sowan ke Megawati, bukan sebaliknya.
Megawati adalah Ketua Umum PDIP, secara usia juga lebih tua dari Jokowi. Secara politik, Megawati bisa juga dianggap sebagai mentor Jokowi.
Pada Pilkada DKI, GNPF MUI adalah motor utama penentang Ahok, calon gubernur yang didukung mati-matian oleh Megawati. Posisi keduanya berseberangan secara diametral. Para ulama ini kemudian mendapat label sebagai kelompok radikal, intoleran, anti-NKRI. Beberapa diantaranya malah ada yang dituduh makar.
Dalam beberapa kesempatan, Megawati menyatakan, ada kelompok radikal yang ingin memecah-belah persatuan bangsa.
Ketika menyampaikan orasi saat memperingati Hari Kelahiran Pancasila di makam Bung Karno di Blitar, Jawa Timur, Megawati menyatakan ada kelompok-kelompok radikal yang ingin mengambil alih negara.
Pada orasi saat ulang tahun PDIP ke-44, Megawati menyindir dengan kata-kata yang pedas. “Para pemimpin yang menganut ideologi tertutup pun, memposisikan diri mereka sebagai pembawa self full filling prophecy, para peramal masa depan. Mereka dengan fasih meramalkan apa yang pasti terjadi di masa yang akan datang, termasuk dalam kehidupan setelah dunia fana. Padahal, notabene mereka sendiri tentu belum pernah melihatnya.”
Pidato Megawati mengundang reaksi keras, karena dinilai menistakan salah satu dari doktrin terpenting dalam Islam, yakni rukun iman percaya akan adanya zaman akhir. Sebuah kehidupan setelah kematian atau biasa disebut sebagai kehidupan di akhirat. Kehidupan di surga dan neraka.
Kendati tidak menyebut nama, pernyataan Megawati bisa dimaknai sebagai serangan terhadap ulama, terutama mereka yang berseberangan dengan pilihan politik pada Pilkada DKI.
Sikap Jokowi agak berbeda dengan Megawati. Kendati sama-sama mendukung Ahok, Jokowi tidak bersikap frontal. Dia memilih dengan cara yang lebih halus. Ketika berlangsung Aksi 412 dan para pimpinan GNPF mendatangi Istana, Jokowi menghindar. Dia lebih memilih meninjau proyek di Bandara Cengkareng, yang sesungguhnya tidak masuk dalam jadwal kegiatannya.
Pada Aksi 212 di Lapangan Monas, Jakarta, Jokowi mengambil keputusan yang cukup mengejutkan. Dia hadir bergabung bersama para pengunjuk rasa dan ikut menunaikan salat Jumat berjamaah. Jokowi bahkan menyimak dengan sabar ketika Ketua Dewan Pembina GNPF Habib Rizieq Shihab menyampaikan khutbah Jumat.
Sikap Jokowi belakangan mengundang kemarahan para pendukung Ahok, ketika dia dinilai ‘membiarkan’ Ahok dijatuhi hukuman 2 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Nah, sekarang ketika Jokowi bertemu dengan para pimpinan GNPF, maka kemasannya harus dibuat ‘sehalus’ mungkin, jangan sampai menyakiti Megawati dan juga para pendukung Ahok lainnya. Ini adalah tata krama, unggah-ungguh politik yang coba dijaga oleh Jokowi.
Bagaimanapun, Ahok pernah menjadi wakilnya saat menjadi Gubernur DKI. Sehalus apapun kemasannya, pertemuan tersebut menjadi pukulan telak bagi Ahok dan para pendukungnya. Ahok merasa semakin jauh ditinggalkan, bahkan dilupakan Jokowi.
Bagi Jokowi, langkahnya bertemu GNPF MUI tentu saja bukan silaturahmi biasa. Mereka tidak sekadar bersalam-salaman, tapi duduk dan bertukar pikiran di ruang oval, Istana Negara, tempat Presiden biasa menerima tamu.
Pertemuan tersebut tentu telah melalui berbagai kalkulasi politik yang mendalam. Ada konsekuensi-konsekuensi politik yang harus dihitung untung ruginya.
Rangkaiannya cukup panjang. Dimulai dari berbagai pertemuan yang dirintis oleh Menkopolhukam Wiranto, Wapres Jusuf Kalla, dan kemudian lobi-lobi oleh Menag Lukman Hakim Saifuddin.
Dengan terlaksananya silaturahmi berbungkus open house Lebaran, setidaknya dapat dilihat dari sudut pandang. Pertama, Jokowi berusaha kembali merangkul pemilih Islam, dengan risiko kehilangan basis pendukung utamanya di PDIP.
Kedua, terwujudnya rekonsiliasi nasional. Tujuannya jauh lebih besar dari hanya sekadar kalkulasi politik jangka pendek.
Merangkul Kembali Pemilih Islam
Pasca-Pilkada DKI hubungan antara Jokowi dengan kelompok-kelompok Islam, terutama mereka yang tergabung dalam GNPF MUI, menjadi tegang.
Sebagai organisasi yang baru terbentuk, GNPF MUI tidak bisa dianggap enteng. Hampir semua elemen Islam bergabung dalam kelompok ini, termasuk dari kalangan NU, kendati secara resmi Pengurus Besar (PB) NU di bawah Aqil Siradj menentangnya.
Hadirnya Ketua MUI KH Maruf Amin yang juga Rais Aam PB NU, menegaskan tidak semua nahdliyin mengikuti komando PBNU.
Dalam berbagai Aksi Bela Islam (ABI), warga NU banyak yang hadir dan menjadi pendukung setia GNPF MUI. Di Madura, ada sejumlah kiai NU yang bergabung dengan Front Pembela Islam (FPI).
Berbagai Aksi Bela Islam yang dimotori oleh GNPF MUI juga menandai lahirnya sebuah fenomena baru, berbagai gerakan (harakah) Islam di Indonesia bersatu dan mengabaikan berbagai perbedaan kecil (khilafiyah) dalam ritual ibadah. Padahal, selama ini masalah khilafiyah sering menjadi sumber pertentangan umat.
Kelompok-kelompok Islam perkotaan yang sangat berpengaruh inilah yang kini coba kembali dirangkul Jokowi.
Pilihan Jokowi yang berakrab-akrab ria hanya dengan PBNU dan GP Anshor dinilai tidak cukup memadai sebagai bekal Jokowi menghadapi Pilpres 2019.
Pertemuan dengan GNPF bisa dinilai sebuah puncak atau tahapan akhir dari berbagai safari politik Jokowi yang berliku mendekati kantong-kantong pemilih Islam. Seperti makan bubur panas yang dimulai dari bagian pinggirnya, Jokowi kini mencoba menyelesaikan dengan memakan ‘bagian terpanas’.
Dalam pertemuan dengan GNPF MUI, Jokowi menyampaikan, bahwa dari sisi dia pribadi tidak pernah ada masalah dengan Islam.
Jokowi juga mengklarifikasi, bahwa dia tidak pernah meminta mencoret nama-nama pengurus GNPF dalam berbagai pertemuan yang diselenggarakan di Istana.
Silakan ditafsirkan sendiri mengapa selama ini para pentolan GNPF tidak pernah ada dalam daftar undangan ketika Presiden bertemu dengan para ulama dan pemuka agama di Istana.
Dari marketing politik, pertemuan tersebut bisa dilihat sebagai upaya Jokowi menggarap kembali pasar besar pemilih, yakni dari kalangan Islam.
Bila Jokowi tidak cepat bergerak, bukan tidak mungkin pasar itu sudah digarap, bahkan direbut kandidat lain yang juga siap berlaga pada Pilpres 2019.
Sebaliknya, dengan pertemuan tersebut, Jokowi juga berpotensi kehilangan pendukung utama dari PDIP, bila langkah politiknya tersebut dianggap mengkhianati Megawati.
Begitu pula dengan para pendukung Ahok yang kecewa. Ini merupakan tantangan tersendiri yang harus dikelola dengan baik oleh Jokowi.
Semua pasti sudah diperhitungkannya dengan cermat, termasuk kendaraan politik pengganti bila harus berpisah jalan dengan Megawati.
Merajut Kembali Ikatan Kebangsaan
Dari sisi kepentingan nasional, pertemuan Jokowi dengan GNPF MUI bisa dilihat sebagai upaya merajut kembali ikatan kebangsaan yang koyak, rekonsiliasi.
Polarisasi antara pendukung dan penentang Ahok, hingga kini masih terus berlanjut, kendati Pilkada DKI sudah berlalu. Patah hati dari para Ahoker hingga kini agaknya masih sulit terobati.
Sebaliknya, umat Islam merasa sangat dirugikan. Pemerintahan Jokowi dinilai sebagai rezim yang terus-menerus memojokkan dan merugikan kepentingan umat Islam.
Pentolan GNPF MUI, Rizieq sampai harus hijrah ke Arab Saudi untuk menghindari polisi–yang dalam bahasa pakar hukum Yusril Ihza Mahendra sedang mencari-cari kesalahannya.
Salam Rizieq kepada Presiden Jokowi merupakan isyarat politik dari pimpinan GNPF yang harus ditafsirkan dengan tepat oleh pemerintah.
Penghentian kasus Rizieq bisa menjadi tanda, bahwa Jokowi memang mempunyai niat yang tulus untuk menindaklanjuti pertemuan.
Saatnya Jokowi menunjukkan, bahwa selain Presiden, dia juga adalah kepala negara yang harus berdiri di atas semua golongan.
Kata-kata bijak dari mantan Presiden Filipina Manuel L Quezon (1941) patut direnungkan. “My loyalty to my party ends, where my loyalty to my country begins (Kesetiaan saya kepada partai berakhir, ketika kesetiaan saya kepada negara dimulai). (*)
Oleh Hersubeno Arief, Konsultan Media dan Politik