Artikel ini ditulis oleh Nanang Djamaludin, Penggagas Klub Literasi Progresif (KLiP).
Pelaporan dugaan tindak pidana korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dua anak Presiden Jokowi, yakni Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangareb, sehubungan relasi bisnis keduanya dengan grup bisnis yang diduga terlibat pembakaran hutan, menyentak perhatian publik secara nasional tepat sejak sebulan lalu.
Pelaporan ke KPK itu dilayangkan Ubedilah Badrun (Ubed), aktivis 98 cum inteletual organik pengajar di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Pasca pelaporan hukum itu, langsung saja pro-kontra pun muncul, Banyak pihak yang mengapresiasi langkah Ubed itu sebagai bagian dari langkah untuk membuktikan apakah negara ini memang kaffah sebagai negara hukum yang menjadi spirit konstitusi, atau justru sekedar negara kekuasaan yang seolah-olah negara hukum, yang menggunakan hukum sebagai tameng bagi agenda-agenda busuk kekuasaan demi keberlangsungan kepentingan akumulasi, eksplotasi dan ekspansi segelintir pihak semata.
Pernyataan sikap pun dikumandangkan dan diskusi-diskusi pun digelar oleh pelbagai kalangan masyarakat, tak terkecuali para eksponen Aktivis 98 gabungan pelbagai organ, untuk mendukung pelaporan hukum dugaan korupsi, pencucian uang dan suap oleh anak presiden. Di media sosial pun tagar “#SaveUbedillahBadrun” dan “#LindungiPelaporKorupsi” menjadi trending topic pasca pelaporan Ubed ke KPK.
Selain ada yang mengapresiasi, tentu ada saja pihak yang kontra terhadap pelaporan hukum yang dibuat Ubed. Sehingga Ubed pun dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh Jokowi Mania dengan persangkaan memberi keterangan palsu atau fitnah.
Sebuah pelaporan sumir tentunya, bahkan cuma jadi bahan tertawaan publik, mengingat si pelapor yang melaporkan Ubed itu bukanlah korban.
Dan lagi menurut UU Perlindungan Saksi dan Korban, pelapor seperti Ubed tidaklah dapat dituntut secara hukum lewat pidana ataupun perdata. Malah perkara pokoknya yang harus dikedepankan.
Dua minggu setelah pelaporan oleh Ubed, KPK memanggilnya untuk meminta penjelasan dan mengkrarifikasi laporannya. Pada kesempatan itu pun KPK menerima berkas-berkas dokumen tambahan dari Ubed.
Dan tepat sebulan pasca pelaporan itu, publik menanti, apakah pelaporan Ubed dipandang layak untuk proses lebih lanjut ke tahapan-tahapan yang lebih maju, atau justru diparkir dahulu di lemari pengarsipan KPK. Tentu semua itu tergantung pada keberanian dan keseriusan KPK menindaklanjuti pelaporan Ubed itu.
Wake Up Calling
Pelaporan hukum Ubed ke KPK terhadap Gibran dan Kaesang, duet milenial dimana kode-kode genetik Presiden Jokowi tercetak langsung di tubuh dan sifat keduanya, sungguh merupakan salah satu kepeloporan penting dari tahapan yang cukup panjang di arena penegakkan hukum terhadap keluarga presiden.
Itu.dilakukan Ubed di tengah terus berlangsungnya proses sakralisasi kekuasaan sosok presiden, terutama oleh sirkel-sirkel yang.dekat dan mendekat pada kekuasaan. Apalagi sejak awal sudah dicitrakan, bahwa sosok presiden saat ini adalah rezimnya “orang baik’ maka dianggap mustahil ia dan lingkaran keluarganya melakukan tindakan KKN. Sebuah penyematan citra yang lebay, jika tidak mau disebut serampangan.
Proses sakralisasi kekuasaan presiden itu semakin menguat dengan terserapnya sekitar 80 persen kekuatan parpol-parpol borjuasi di parlemem ke dalam koalisi penopang kekuasaan hari ini. Di mana mereka begitu leluasa nya mempertontonkan praktik berbagi kue-kue kekuasaan untuk dinikmati diantara sesama mereka.
Langkah hukum Ubed itu menjadi bagian sumbangsih berharga yang disadari atau tidak memotivasi dan memompa moral perjuangan bagi elemen-elemen gerakan progresif untuk tetap speak up, bersikap dan bertindak lantang, jujur dan berani melawan korupsi. Ini penting mengingat masih terus jebloknya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia.
Skor IPK Indonesia dari tahun ke tahun langganan di bawah angka 50, dari skala 0-100. Skor 100 berarti bebas dari korupsi, dan skor 0 menandakan sebuah Negara yang sangat korup, Tahun 2021 lalu Indonesia berada di skor 38. Sehingga angka di bawah 50 sebagaimana langganan diraih Indonesia menandai para koruptor masih cukup leluasa bergentayangan menghisap uang rakyat.
Terlebih ketika kepercayaan publik belum lagi pulih usai beberapa tahun sebelumnya anjlok. Pemicunya, terlihat benderang politik penegakkan hukum penguasa pasca revisi UU KPK. Tudingan publik bahwa revisi itu sebagai bagian dari upaya pelemahan KPK. Sekaligus wujud nyata serangan balik aliansi gerombolan perampok kekayaan negara.
Ubed dan tim kuasa hukumnya mengambil langkah melaporkan dugaan KKN anak Presiden, ketika yang terus berlangsung adalah tren melambungnya angka kemiskinan pada lapisan terbesar rakyat. Seiring melebar dan dalamnya tingkat kesenjangan di tengah masyarakat.
Serta bertambah buncitnya kekayaan para pejabat dan para pemilik korporasi yang liat menempel di tubuh kekuasaan politik. Kualitas kehidupan rakyat pun kini semakin terpukul mundur jelang memasuki tahun ketiga Pandemi Covid-19 yang seakan tak kunjung usai ini.
Dari riset lembaga Oxfam diperoleh data bahwa 4 orang paling kaya di Indonesia kekayaannya setara dengan kekayaan 100 juta jumlah orang miskin. Berdasarkan data lembaga riset Internasional kredibel, Credit Suisse, pada tahun 2020 orang dewasa Indonesia dengan kekayaan 1 juta dollar AS (sekitar 14,3 milyar rupiah) atau lebih berjumlah 171.740 orang.
Di tahun yang sama, orang dewasa berkekayaan 100 juta dollar AS (sekitar 1,43 triliun) rupiah atau lebih hanya berjumlah 417 orang. Jumlah 417 orang itu merupakan penjumlahan dari kelompok orang berkekayaan 100 juta dollar AS hingga kelompok yang berkekayaan di atas 500 juta dollar AS (7,1 triliun rupiah).
Kelompok warga dengan kekayaan 1-5 juta dollar AS, lalu 5-10 juta dollar AS, lalu 10-50 juta dollar AS, kemudian 50-100 juta dollar AS, lalu 100-500 juta dollar AS, dan kelompok super tajir mlintir berkekayaan di atas 500 juta dollar AS berturut-turut berjumlah 150.678 orang, 12.403 orang, 7.616 orang, 626 orang, 367 orang, dan 50 orang.
Sementara sebagian besar penduduk, ratusan juta orang tentunya yang mencapai 83 persen populasi orang dewasa di Indonesia, memiliki kekayaan rata-rata hanya 10 ribu dollar AS (143 juta rupiah) ke bawah saja.. Di saat rata-rata dunia dari orang berkekayaan di atas 100 ribu dollar AS (1,43 milyar rupiah) berjumlah 10,6 persen, maka di Indonesia cuma terdapat 1,1 persen saja. Data-data itu cukup mengonfirmasi betapa brutalnya tingkat kemiskinan dan kesenjangan di antara sesama warga negara di negeri Pancasila ini.
Kita pun tahu saat ini adalah masa-masa ketika semakin liarnya tabiat penguasa dalam memroduksi beragam kebijakan yang memayungi syahwat busuk segelintir pihak pemilik kapital. Untuk memasilitasi eksploitasi terhadap rakyat secara lebih brutal lagi.
Bahkan bisa jauh lebih kesetanan lagi dalam mengeruk SDA serta lingkungan yang berefek pada lonjakan derita rakyat dan kerusakan ekologis yang kian parah.
Revisi UU Minerba, Revisi UU KPK, mengesahan UU Omnibus Law, dan terakhir pengesahan UU IKN merupakan contoh sempurna liarnya tabiat rezim kali ini. Semodel dengan tabiat kekuasaan rezim Suharto. Laksana anggur, inilah anggur Suharto dengan botol kemasan berbeda.
Saat ini merupakan masa-masa dimana kian terlatihnya aparatus kekerasan negara mempraktekkan refresifitas barbar terhadap perlawanan rakyat di pelbagai daerah yang mempertahankan hak-haknya yang dirampas. Tak ubahnya mereka juru gebuk andalan pemilik kapital. Mereka itu kompeni, menurut istilah seorang kawan, yaitu komplotan penjaga investor.
Penyerbuan, pemukulan dan penahanan sewenang-wenang aparat di Desa Wadas Jateng kepada warga yang menolak tambang pada 8 Februari alu. Dan refresifitas yang dialami warga Pegunungan Kendeng sebelumnya. Itulah sekedar sedikit contoh dari banyaknya lokasi konfik dimana negara melalui aparatus kekerasannya mengambil posisi berhadapan dengan rakyatnya sendiri di pelbagai daerah yang kemudian menjadi titik-titik api.
Aparat sepertinya menikmati, atau malah sudah kecanduan, dalam mempertontonkan kebengisannya terhadap rakyat desa maupun masyarakat adat pada banyak konflik berlatar perampasan lahan maupun berlatar ekstraksi tambang. Bukankah rakyat yang harusnya dilindungi ketika mereka berjuang mempertahankan hak-haknya dan ruang hidupnya yang dirampas eskpansi kapital.
Saat inilah jamannya ketika kalangan yang mendaku maupun dianggap sebagai intelektual kampus maupun intelektual publik lebih banyak yang bungkam cari aman. Bahkan tak sedikit yang memilih menjulur-julurkan lidah membersihkan noda-noda najis di tubuh rezim, meski harus mematikan sensitivitas etik diriya terhadap praktik-praktik eksploitasi bar-bar yang memanfaatkan ruang-ruang hukum maupun demokrasi culas yang disediakan penguasa.
Di masa inilah kecenderungan pers secara umum fungsi kritisnya terasa semakin melemah. Bukannya berada di sisi advokasi pada rakyat yang kian tertindas, tapi kadar khitahnya itu tergerus hingga jatuh menjadi sekedar influencer bagi kebijakan-kebijakan rezim yang menyengsarakan rakyat, sambil terus menjadi juru rias bagi bopeng-bopeng penguasa.
Di periode administrasi rezim saat ini pulalah ternak-ternak peliharaan penguasa, bernama BuzzerRp, bertingkah dan bersuara ngawur di media sosial. Dengan pesan-pesan menyesatkan, mengelap-elap tuannya agar kinclong di tengah defisit tak terperi kualitas kepemimpinannya.
Muara menjijikan para BuzzerRp itu adalah menciptakan pembelahan sosial di tengah masyakat. Sambil tentunya berharap terus dapat memungut sisa-sisa kue dan remehan jorok kakak pembina meski yang dipakai adalah anggaran negara yang notabene uang rakyat.
Dengan pelaporan Ubed ke KPK, disertai data-data valid dan fakta-fakta relevan itu, menjadi semacam wake up calling bagi kita semua pendamba pemerintahan amanah, penggandrung keadilan dan demokrasi substansial. Bahwa jika ditemukan tendensi kuat ke arah penyimpangan, penyalahgunaan dan tindak pidana yang melibatkan kekuasaan politik tertinggi dan keluarganya, usah lelah dan bosan mengkritisi. Atau jika datam dan fakta memang kuat, laporkan saja agar diuji melalui proses hukum.
Maju terus kawan Ubed bersama rakyat pendamba keadilan dan demokrasi substansial. Subur, subur, suburlah selalu gerakan-gerakan progresif di tanah air.
[***]