Artikel ini ditulis oleh Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi.
Walaupun Pertamina International Marketing and Distribution pte ltd (PIMD) telah memenangkan sengketa dagang (utang piutang) dengan Phoenix Petroleum Corporation, PIMD dan Udena Corporation, Filipina pada tanggal 23 Nopember 2023. Dan proses sengketa ini, telah memakan waktu 19 bulan lebih melalui Pengadilan Arbitrase Internasional Singapore (Singapore International Arbitration Centre/SIAC) pihak Phoenix Corp selanjutnya pihak Udena Corp harus membayar utang dagangnya kepada PIMD senilai US$ 142 juta atau sekitar Rp2,2Triliun. Namun, masih ada persoalan pasca putusan itu, yaitu apakah pihak Phoenix akan berkomitmen melunasi utang dagangnya dan berapa lama waktunya?
Langkah arbitrase yang telah diambil oleh pihak PIMD setelah gagalnya upaya penagihan piutang dagang kepada Phoenix oleh manajemen PIMD sudah bisa dipastikan sejak awal akan mengalami kesia-siaan belaka. Justru, tambahan kerugianlah yang dialami oleh BUMN Pertamina yang harus mengeluarkan biaya persidangan arbitrase. Lalu, pertanyaannya, adalah mengapa PIMD sampai gagal melakukan upaya penagihan piutang dagang kepada pihak Phoenix? Jawabannya sudah jelas sejak awal yaitu tidak memiliki kemampuan keuangan dan telah bermasalah hukum dengan berbagai pihak dinegaranya. Artinya, jika ngotot melakukan kerjasama bisnis tentu akan menimbulkan resiko dikemudian hari.
Dalam konteks inilah, maka dapat dipastikan timbulnya sengketa dagang sebagai akibat dari kesalahan pengambilan keputusan manajemen PIMD dibawah kepemimpinan Agus Wicaksono sebagai Direktur Utama (Dirut). Mengapa demikian? Sebab, “kasus” wan prestasi dipastikan takkan terjadi jika Dirut PIMD Agus Wicaksono memahami benar proses kerjasama bisnis dan ketentuan dasar dalam hukum perdagangan internasional yang saling mengikat serta memberikan kepastian jaminan akan dipenuhinya segala hak dan kewajiban para pihak. Salah satu faktor kunci sebelum korporasi mengadakan kerjasama bisnis adalah mengetahui secara detail rekam jejak dan pengalaman rekanan. Disamping itu, sangat sulit menghindarkan adanya tindakan pidana dan indikasi korupsi terkait kerjasama dagang ini disebabkan tidak adanya proses due diligence apalagi penjaminan pada perusahaan Phoenix yang telah berkasus hukum dan keuangan di Filipina.
Terkait hal inilah, maka Phoenix Petroleum Corp yang memiliki rekam jejak (track record) negatif di negaranya Filipina jelas menimbulkah masalah bagi PIMD. Atas dasar inilah, publik patut menyalahkan Agus Wicaksono selaku Dirut PIMD secara sengaja bertindak abai dalam melakukan uji tuntas (due diligence) sehingga harus menempuh peradilan arbitrase. Dengan tidak melakukan uji tuntas melalui proses investigasi, audit, atau kaji ulang (review) serta tidak mengonfirmasi sebuah fakta atau informasi atas pihak Phoenix, maka kesalahan tingkat pertama telah dilakukan oleh Dirut PIMD, Agus Wicaksono. Walaupun juga diragukan publik, bahwa induk perusahaan PIMD, yaitu Pertamina Patra Niaga dan holding BUMN migas PT. Pertamina tidak mengetahui sama sekali secara detail proses kerjasama strategis yang bermasalah ini!
Selain itu, yang patut juga dipertanyakan yaitu apakah didalam dokumen jual-beli itu telah menunjukkan bukti kesiapan kemampuan keuangan Phoenix secara gamblang, misalnya persyaratan pembayaran dilakukan secara tunai (cash) dan dalam jangka waktu berapa lama? Begitu juga apabila pihak Phoenix tidak mampu membayar secara tunai atau berutang pembelian BBM solar adakah garansi bank (bank guaratee) atau sejenisnya diminta kepada pihak Phoenix? Sebab, jika ada “garansi bank” atas transaksi jual-beli tersebut, maka tentu saja posisi hukum PIMD lebih aman apalagi ketentuan persyaratan mengenai jaminan perbankan pada dasarnya adalah sesuatu yang lumrah dilakukan dalam transaksi bisnis apapun oleh berbagai perusahaan berpengalaman global.
Apabila aspek dasar persyaratan manajemen resiko itu tidak dipenuhi oleh Dirut PIMD Agus Wicaksono, maka bisa dipastikan bahwa Dirut PIMD tidak saja telah melakukan kesalahan manajerial sebagai profesional, bahkan juga pelanggaran prinsip hukum dagang. Kerugian yang dialami tidak hanya tak tertagihnya piutang dagang PIMD, tetapi juga biaya-biaya yang dikeluarkan selama proses persidangan arbitrase sebagai akibat ketidakhati-hatian dan tindakan gegabah dari Dirut PIMD Agus Wicaksono. Tindakan Agus Wicaksono sebagai Dirut dari anak usaha PT. Pertamina Patra Niaga (PPN) adalah fatal dan jelas mencoreng reputasi Pertamina sebagai perusahaan migas kelas dunia (the world class oil company). Seolah menempatkan BUMN Pertamina hanya sekelas pedagang kaki lima (PKL) yang berbisnis tanpa kelengkapan dokumen!
Naifnya lagi, Dirut PIMD Agus Wicaksono tidak mengambil pelajaran dari kegagalan penagihan piutang dagang sebelumnya yang serupa terjadi antara Samin Tan dengan PPN. Akibat tindakan Agus Wicaksono itu, mengacu pada temuan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (IHP BPK), maka negara dirugikan sejumlah Rp1,3 triliun. Maka, wajar saja pertanggungjawaban kerugian keuangan korporasi dan negara patut dituntut publik kepada Dirut PIMD Agus Wicaksono. Termasuk, konsekuensi hukum yang mungkin timbul dikemudian hari apabila pihak Phoenix mengajukan gugatan balik dan atau tidak mematuhi putusan Arbitrase SIAC. Disamping, tentu saja terdapat juga bagian pertanggungjawaban atas kelalaian verfikasi dari jajaran direksi sub holding PPN.
Pada akhirnya, yang terpenting lagi, tentu saja publik juga akan bertanya apakah tidak ada sanksi hukum terhadap direksi PIMD jika ternyata kemudian pihak Phoenix dan Udena corp ternyata tidak mampu membayar kewajibannya ke PIMD. Siapa yang akan menanggung kerugian keuangan (finansial) korporasi dan negara akibat kasus sengketa dagang tersebut? Apakah pelanggaran hukum transaksi jual-beli yang dilakukan Dirut PIMD sejumlah Rp2,2 triliun lebih tidak berindikasi tindak pidana korupsi. Ditambah lagi biaya-biaya selama proses persidangan arbitrase, maka total kerugian negara sebagai akibat kesalahan kebijakan Dirut PIMD, Agus Wicaksono bisa mencapai lebih dari US$215 juta atau senilai Rp3,5 triliun!
[***]