KedaiPena.com – Gerakan mahasiswa yang selama ini dinilai mulai pudar dalam menyikapi berbagai permasalahan bangsa, kini mulai bangkit. Walaupun masih hanya segelintir dan belum menjadi gerakan masif. Karena masih banyak yang memilih untuk tidak peduli pada apa yang terjadi pada bangsa ini.
Sekjen Aliansi Damai Anti Penistaan Islam (ADA API), M. Idris Hady menyatakan geliat para mahasiswa mulai muncul dan berani menyuarakan hal-hal mendasar atas ketimpangan politik dalam negri. Sekalipun masih terbilang biasa-biasa saja.
“Bahwa persepsi publik sebelumnya, yang menyatakan bahwa gerakan dari kalangan mahasiswa telah pudar tidak bisa juga untuk langsung dibantah. Sebab setiap aksi dalam menyikapi kebijakan atau keputusan pmerintah, yang muncul adalah kalangan keagaam yang rata-rata berusia sepuh sebagai pimpinan aksi dan dari kelompok emak-emak,” kata Idris, Selasa (12/12/2023).
Tak jarang kekecewaan publik itu disuarakan melalui bisikan-bisikan sindiran “karena sedang konsentrasi belajar, jadi sekarang gantian, kami yang sepuh-sepuh bereaksi bersama emak-emak”.
“Kini kalangan mahasiswa mulai menggeliat. Contoh kecil, yang dilakukan di Surabaya, yaitu Gerakan Mahasiswa Selamatkan Demokrasi (Gemas’D) yang diselenggarakan oleh Universitas 17 Agustus (UNTAG) Surabaya pada 6 Desember lalu,” ucapnya.
Contoh lainnya adalah acara diskusi bertajuk Rezim Monarki, Ambruknya Konstitusi dan Kokohnya Politik Dinasti oleh Keluarga Mahasiswa UGM pada Jumat (8/12/2023). Dalam acara tersebut, Ketua BEM UGM yang memperkenalkan dirinya dengan kalimat Gielbran Muhammad Nur dan bukan Gibran, secara terang-terangan menyebut Gibran sebagai anak haram konstitusi dan dirinya (Gielbran M Noor) bisa menang Ketua BEM tanpa bantuan paman.
“Substansi judul yang diangkat oleh mahasiswa UNTAG dan Keluarga Mahasiswa UGM tersebut mengandung makna yang tajam. Walaupun belum bisa disebut keberanian kolektif Kalangan Mahasiswa secara nasional. Tapi sudah mulai menunjukkan kegerahan mahasiswa atas berbagai permasalahan, terutama politik, yang saat ini dihadapi Indonesia,” ucapnya lagi.
Tapi, lanjutnya, yang menjadi pertanyaan publik, apakah gerakan tersebut hanya sporadis atau mampu menjelma menjadi gerakan mahasiswa dari seluruh pelosok negeri ini.
“Apakah hanya akan mahasiswa yang bergerak? Atau akan muncul juga gerakan dari kalangan organisasi kepemudaan? Atau organisasi kepemudaan kini telah juga sirna gerakannya?” kata Idris dengan nada tanya.
Ia juga mempertanyakan apakah gerakan mahasiswa ini akan diikuti oleh organisasi lainnya, seperti LSM.
“Yang paling inti adalah, apakah gerakan itu hanya dalam bentuk orasi dan diskusi saja atau dengan kata lain NATO (red: No Actin Talk Only),” lanjutnya, masih dengan nada mempertanyakan.
Ia menilai gerakan sporadis mahasiswa yang terlihat biasa dan belum disertai oleh gerakan elemen masyarakat, bisa saja disebabkan adanya sikap apatis para mahasiswa.
“Gerakan itu ada, tapi hanya serpihan kecil saja. Elemen masyarakat lainnya belum ada. Saya nilai ini karena kalangan mahasiswa dan kalangan lainnya ada yang berprinsip sabodo teuing (red: tak peduli – bahasa Sunda). Atau bisa juga karena mereka belum merasakan apa yang dirasakan oleh kalangan mahasiswa yang menggugat keadaan saat ini. Padahal seharusnya, mereka dapat merasakan apa yang dirasakan oleh masyarakat,” pungkas Idris.
Laporan: Tim Kedai Pena