PADA hari minggu tanggal 14 Oktober 2018 kemarin menjadi hari yang paling bersejarah bagi masyarakat kabupaten Bekasi sepanjang 68 tahun daerah ini dibentuk.
Hal tersebut karena berlangsung operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK dan langsung membawa 10 orang dari unsur pejabat Pemkab Bekasi dan pihak swasta Meikarta ke kantor yang berada di daerah Kuningan Jakarta dengan barang bukti uang sebesar Rp1 Milliar.
Dari total uang dijanjikan sebesar Rp13 milliar, sudah disetorkan oleh oknum Meikarta kepada oknum Pejabat Bekasi sebesar Rp7 Milliar.
Ini menjadi hal yang viral di kalangan masyarakat Bekasi khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya, mengingat dugaan korupsi gratifikasi ini terkait perizinan mega proyek kota mandiri Meikarta yang nilai investasinya mencapai Rp278 triliun dan sempat menjadi isu panas di Indonesia.
Karena hampir seluruh elemen membicarakan soal pro kontra adanya pembangunan Meikarta ini, mulai dari kalangan mahasiswa, pemuda, anggota DPRD Bekasi, pejabat Pemkab Bekasi, Bupati Bekasi, (mantan) Wakil Gubernur Jawa Barat, hingga ke level DPR RI dan kementrian.
Hal tersebut seiring dengan adanya gejolak tsunami yang terjadi pada tataran konstelasi nasional karena adanya penolakan pembangunan reklamasi di Jakarta dan beberapa daerah pada saat itu.
Soal penerima uang lanas Meikarta ini sedikitnya sudah beberapa pejabat tinggi di Kabupaten Bekasi yang ditetapkan sebagai tersangka oleh lembaga anti rasuah KPK. Di antaranya adalah Bupati Bekasi, Kepala Dinas PUPR, Kepala Dinas pemadam Kebakaran, Kepala Dinas DPMPTSP, Kepala bidang Tata Ruang PUPR.
Mereka oknum pejabat Bekasi diduga melanggar Pasal 12 huruf a dan Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Khusus untuk orang nomor satu di Bekasi dikenakan pasal tambahan Pasal 12 B artinya Bupati Bekasi diduga ada sumber penerimaan-penerimaan lain selain terkait dengan proses perizinan proyek Meikarta ini.
Pasca adanya gempa hukum di Bekasi karena turun gunungnya KPK ke Bekasi, isu atau informasi beredar dengan sangat cepat bahwa adanya dugaan keterlibatan oknum-oknum anggota DPRD Kabupaten Bekasi dalam penerimaan uang panas ini.
Menurut hasil observasi wawancara dan diskusi kasus pemulusan izin Meikarta ini ditenggarai oleh kelanjutan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) bernomor 12 tahun 2011. Sejak saat itu, Eksekutif Pemkab Bekasi dan Legislatif DPRD Kab. Bekasi pada tahun 2017 baru membahas Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) melalui Panitia Khusus (Pansus) 19 RAPERDA Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan disahkan di Tahun 2017 pula.
Berbagai pertanyaan dan pertanyaan menyeruak ke publik pasca OTT oleh KPK ini, Mengapa sejak tahun 2011 disahkannya Perda RTRW baru dibahas dan disahkannya Perda RDTR di tahun 2017, Ada Apa Dengan Dewan? Lalu soal uang Rp7 Milliar yang sudah disuapkan oleh oknum petinggi Meikarta apakah mengalir ke Kantong Oknum Dewan Bekasi?
Lalu setelah disahkannya RAPERDA RDTR oleh DPRD Kab. Bekasi ternyata berbuntut pada penolakan atau ketidaksetujuan Pemprov Jabar. Mengingat pembahasan yang dilakukan oleh Pansus RDTR lebih dominan kepada Wilayah Pengembangan (WP) 1 yang meliputi Kec. Cikarang Utara, Cikarang Timur, Cikarang Selatan, Cibitung dan Tambun Selatan.
Sedangkan di satu sisi Pembangunan Proyek Meikarta yang saat ini dalam penanganan KPK berada di wilayah Cikarang Selatan. Lalu juga wilayah pengembangan 4 yang meliputi Kec. Babelan, Tarumajaya, Muaragembong dll.
Bagai petir di siang bolong, media massa memuat pernyataan dua anggota Pansus 19 sebagai berikut:
“Saya mah cuma kebagian dikit, tuh pimpinan yang pada dapat banyak. Kalau tahu begini bang, mending saya merampok Meikarta sekalian, toh risiko hukumnya sama dengan yang menerima banyak,†beber salah satu anggota Pansus RDTR kepada Bekasiekspres.com yang minta namanya dirahasiakan.
“Tolong nama-nama yang tadi saya sebut berperan dan pro aktif dengan pihak Meikarta, hanya abang yang tahu ya. Nanti kalau dipanggil KPK akan saya ungkap apa adanya sesuai fakta,†ungkapnya sambil wanti-wanti namanya dirahasiakan.
“Perda RDTR itu yang menjadi acuan eksekutif untuk menerbitkan izin pembangunan mega proyek Meikarta. Hal ini yang menyebabkan KPK turung gunung ke Kabupaten Bekasi,†ujarnya.
Dewan Main Proyek?
Ramainya pernyataan LSM SNIPER di Bekasi yang memenuhi beranda media sosial dan media nassa karena melaporkan adanya dugaan jual-beli proyek oleh oknum dewan ke KPK beberapa waktu lalu. Kemudian, pernyataan Ketua Asosiasi Kontraktor Seluruh Daerah Indonesia (AKSDAI) pada tanggal 5 Oktober yang menyatakan “oknum aparat dan anggota DPRD leluasa minta proyek di dinas Pemkab Bekasi silahkan KPK tunjukan taji mu di Bekasi”.
Ini semakin membuka celah adanya dugaan oknum anggota dewan yang terhormat merangkap sebagai penjual aspirasi masyarakat atau proyek.
Kami sangat meyakini bahwa pernyataan LSM SNIPER dan Ketua Asosiasi Kontraktor ini sangat mendasar dan berbasis data, karena bersentuhan langsung terhadap profesinya masing-masing.
Keduanya tidak akan berani menyatakan hal-hal sensitif seperti ini dihadapan publik tanpa pedoman aturan dan basis data yang memadai.
Kalau pun dari 50 Anggota DPRD Kab. Bekasi menyangkal atas tudingan itu, maka kami berharap adanya pernyataan klarifikasi terbuka dan melaporkan Ketua Asosiasi Kontraktor atas dugaan pencemaran nama baik dan UU ITE.
Apalagi Ketua Asosiasi Kontraktor adalah pengurus Partai Golkar yang notabene lartai penguasa. Serta mayoritas anggota Dewan yang ada di gedung Parlemen Bekasi diisi oleh Partai Golkar.
Sebagai bagian dari masyarakat Bekasi, kami mahasiswa dan pemuda sangat Malu dan terpukul. Meski ada rasa syukur karena ternyata penegakkan hukum di tanah kelahiran pahlawan nasional KH. Nur Ali ini masih ada. Sebagai bentuk penyelamatan terhadap daerah yang kami cintai dan menjaga marwah kelembagaan DPRD Kabupaten Bekasi kami menuntut DPRD agar mengeluarkan rekomendasi kepada dinas teknis agar menghentikan dahulu pembangunan Meikarta karena proses hukum terkait perijinan yang sedang berjalan.
Kami mendesak Ketua DPRD agar menyampaikan secara terbuka atas dugaan keterlibatan anggotanya dalam kasus pemulusan perizinan MEIKARTA.
Mendesak Ketua DPRD agar menyampaikan secara terbuka atas dugaan adanya oknum Dewan yang bermain proyek atau jual beli proyek. Dan melaporkan Ketua Asosiasi Kontraktor apabila tidak merasa atau tidak terima dengan tudingan melakukan jual beli proyek.
Perlu diingat dan dicatat bahwa kami mahasiswa dan pemuda Bekasi bukan menolak investasi. Kami Hanya ingin investasi yang ada di Bekasi harus patuh terhadap peraturan dan lerundang-undangan yang berlaku.
Dan perlu dicatat juga kami tidak tendensi terhadap bama-nama Pimpinan Alat Kelengkapan Dewan (AKD). Kami ingin kejujuran dan jiwa ksatria anggota Dewan agar kemudian tidak menjadi pernyataan bohong semata apabila nantinya ditetapkan sebagai tersangka.
Oleh Jaelani Nurseha, Ketua BEM STT Pelita Bangsa, Mahasiswa dan Pemuda Gerakan Bekasi Bersih Korupsi