AMBANG batas Pileg, Pilpres dan uang mahar politik merupakan urut-urutan keniscayaan politik dalam pemilu yang terjadi setelah masa reformasi.
Sedangkan uang mahar politik itu seperti angin yang dibuang seseorang alias kentut, tercium baunya tetapi tidak bisa dilihat buktinya siapa yang membuang angin tersebut.
Tetapi, bedanya kalau buang angin itu hanya mengakibatkan “kecelakaan kecil”, tetapi kalau mahar politik itu akan menimbulkan serangkaian tindak pidana korupsi yang merugikan rakyat banyak, menurunnya kualitas bangunan, pendidikan, kesehatan masyarakat, kebijakan publik, dan sebagainya.
Memang dilematis. Pada saat Orde Baru yang otoriter tidak ada uang mahar politik, tetapi korupsi tetap terjadi, hutan-hutan digunduli, minyak disedot habis tanpa disiapkannya sumber energi terbarukan yang signifikan.
Ditambah lagi pada awal reformasi dimana pengaruh Orba masih sangat kuat, bank besar non BUMN diserahkan kepada kepemilikan asing sebagai mayoritas pemegang sahamnya.
Uang mahar politik yang diserahkan kepada para pejabat tertinggi partai, merupakan hukum yang tidak tertulis bilamana para calon presiden dan calon kepala daerah lainnya ingin mendapat dukungan dari partai tersebut.
Demikian juga bila para Caleg ingin mendapatkan nomor urut yang tinggi yang memberikan kemungkinan terpilihnya lebih besar sebagai anggota DPR/DPRD.
Uang mahar politik itu jumlahnya sangat besar, sehingga para calon itu terpilih, harus mengumpulkan uang besar melalui korupsi untuk mengembalikan uang mahar tersebut beserta keuntungannya.
Jadi, dapat dikatakan bahwa mahar politik itu sudah pasti akan mengakibatkan terjadinya korupsi.
Akar masalah korupsi adalah terletak di mahar politik karena dipungut dari para calon pejabat negara dan yang memungut para petinggi partai politik yang nantinya akan melindungi calon yang terpilih dalam kasus korupsinya karena bila terbongkar kasusnya akan merembet ke dirinya.
Maka, terjadilah disini mafia korupsi dari para elit politik yang saling melindungi tindak pidana korupsi.
Lebih celaka lagi pengintaian, penyadapan sampai penindakan yang berupa operasi tangkap tangan oleh KPK tidak bisa dilakukan oleh KPK karena umumnya suap menyuap mahar politik ini dilakukan bukan oleh para pejabat negara atau penyelenggara negara.
Sehingga di luar jangkauan UU Tipikor yaitu UU no 19 tahun 2019 yang menjadi dasar kewenangan KPK untuk bertindak. Jadi secara legal KPK tidak punya kewenangan untuk mengintai, memonitor, menyadap apalagi melakukan OTT terhadap pelaku mahar politik ini yang merupakan dalang cikal bakal korupsi besar
Oleh Bambang Wisanggeni, Analis Sosial dan Politik