BAGAIMANA mungkin, kok bisa di saat harga sumber energi minyak, batubara, gas, energi terbaharukan di dunia turun, harga listrik di Indonesia membumbung setinggi langit. Rakyat menjerit, industri merintih, perusahaan kecil menengah sekarat karena tak mampu menahan beban kenaikan harga listrik.
Anehnya pemerintahan Jokowi bagai dikejar setan, dedemit dan gendrowo, untuk menaikkan harga listrik. Pemerintah ternyata kebelet memaksakan kebijakan neoliberalisme  dalam sektor ketenagalistrikan, agar tersedia kesempatan merampok bagi oligarki, mafia listrik dan neo maling.
Mafia listrik dan neo maling dijalankan dengan merancang mega proyek listrik dalam skala yang besar mencapai 70 ribu megawatt. Proyek besar ini ditenggarai adalah proyek bancakan para oligrki, neo maling dan mafia listrik yang mengendalikan  pemerintahan Jokowi, bersama para saudagar yang bersekongkol dengan korporasi asing.
Tidak ada urgensinya proyek sebesar itu, namun tetap dipaksakan. Sebagian besar proyek ada di pulau Jawa yang notabene mengalami kelebihan pasokan listrik. Proyek dijalankan dengan skema Publik Private Partnership (PPP) atau negara bekerjasama atau menyerahkan kepada para pebisnis yang notane mereka adalah juga elite penguasa.
Model perampokan yang dilakukan oleh mafia listrik dan neo maling dilakukan melalui proyek Engineering Procurement and Construction (EPC) yang dibiayai dengan utang luar negeri melalui APBN dan melalui utang PLN. Dengan demikian maka proyek listrik merupakan lahan yang subur bagi oligarki yang menguasai pemerintahan  Jokowi dan elite PLN dalam mengeruk uang.
Proyek yang dijalankan melalui EPC seluruh belanja ditentukan oleh yang membiayai proyek yakni pemberi utang dan penyedia dana. Ini lahan yang empuk sekali untuk korupsi dan merampok di sektor hajat hidup orang banyak.
Mafia listrik dan neo maling menjalankan perampokannya dengan skema full cost recovery dimana PLN wajib membeli listrik swasta termasuk kelebihan produksi swasta tersebut. Ini adalah bancakan luar biasa oleh mafia listrik dan neo maling.
Sipa yang bisa mengetahui harga itu wajar, siapa yang bisa mengetahui produksi itu lebih? Kantong PLN yang merupakan keuangan negara dan hasil ngutang dengan menjual PLN dikuras sampai kering.
Kami berkesimpulan, Presiden Jokowi tidak mampu menjaga keselamatan bangsa, negara dan hajat hidup rakyat banyak. Jokowi telah melanggar putusan MK yang melarang neoliberalisme dalam sektor ketenagalistrikan.
Lalu apa landasan dari semua kebijakan Jokowi? Yang pasti bukan untuk kepentingan rakyat, bukan keselamatan rakyat, bukan konstitusi dan bukan putusan MK. Landasan kebijakan Jokowi adalah kesenangan dirinya, para oligarki, neo maling dan mafia listrik di sekelilingnya, serta untuk  kesenangan modal asing yang memandang lisrik sebagai ladang mengeruk uang.
Neoliberalisme yang dijalankan oleh mafia listrik dan neo maling karena banyak orang di sekeliling pemerintahan Jokowi adalah bandar listrik, mereka pembuat kebijakan atau legislator. Mereka adalah pelaksana kebijakan atau kontraktor, mereka juga adalah pelaksana proyek atau operator. Ini adalah trias ekonomika dalam ekonomi neoliberal yang dijalankan oleh mafia, oligarki dan neo maling.
Cara pemerintahan Jokowi menaikkan tatif dasar listrik mencerminkan bahwa keadaan rakyat, keadaan industri, bukan merupakan landasan dari semua kebijakannya. Pemerintah menaikkan tarif listrik secara beruntun paling tidak setiap tiga bulan.
Sementara tidak ada kenaikan pendapatan rakyat, buruh, petani, setiap tiga bulan. Sejak Jokowi berkuasa listrik sudah naik hingga 100 persen. Padahal sejak Jokowi berkuasa  pendapatan masyarakat justru ambruk.
Lalu untuk siapa kebijakan kenaikan tarif tersebut? Tidak lain adalah menyelamatkan mega proyek listrik yang menjadi bancakan oligarki penguasa, mafia listrik, neo maling dan asing yang dibiayai dengan utang APBN dan utang PLN. Mega proyek listrik adalah lahan yang subur untuk mendapatkan uang sebagai sumber dana penguasa untuk persiapan pemilu 2019.
Bongkar kejahatan korupsi mafia listrik dan neo maling yang menaikkan harga listrik, merampas hajat hidup rakyat banyak dan menghancurkan industri nasional.
Oleh Salamuddin Daeng, Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)