TIDAK saja pendukung Ahok di dalam negeri yang terus berkoar membela Ahok, tetapi juga yang di luar negeri mulai mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.
Di dalam negeri, pendukung Ahok tidak cuma mau menerobos penjara Cipinang untuk menunjukkan rasa simpatinya, tapi juga mau membebaskan Ahok dari tahanan. Mereka juga mencerca putusan Majelis Hakim dengan mengatakan, bahwa Majelis Hakim berlaku tidak adil dan telah menista hukum.
Demi keamanan, penahanan Ahok dipindah polusu ke Mako Brimob. Di situ polisi yang selama ini berdiri di pihak Ahok dengan mudah bisa membantu Ahok dalam segala hal. Konon tahanan-tahanan berkelas kakap bisa dengan mudah bebas keluar siang-malam, bahkan terbang ke luar negeri.
Tidak pula kurang hebatnya Ahli Hukum Mulia Lubis, tentunya juga pengacara Ahok, yang mengatakan bahwa pengadilan terhadap Ahok terjadi karena desakan massa. Mulia juga mengatakan, bahwa putusan hakim terhadap Ahok adalah tidak lazim. Karena, pada saat JPU menuntut satu tahun, Majelis Hakim justru menuntut lebih tinggi, dua tahun.
Sebenarnya, rakyat Indonesia umumnya, khususnya umat Islam, melihat bahwa tuntutan JPU-lah yg tidak lazim, karena menuntut Ahok seperti itu.
Oleh JPU, masalah penodaan Agama (Pasal 156a) dialihkannya menjadi masalah SARA secara umum (Pasal 156). Tuntutan JPU satu tahun dengan percobaan, pada hakekatnya adalah tuntutan bebas. Sebelumnya, intervensi datang dari Polri dan Kejaksaan Agung untuk menunda hari penuntutan agar dilakukan sesudah Pilkada agar tidak berdampak pada perolehan suara. Sekalipun begitu, Ahok kalah telak juga.
Bahkan, sebenarnya putusan Majelis Hakim terlalu rendah, mengingat yang dinodai dalam perkara penistaan oleh Ahok ini adalah firman Allah dalam Al Quran. Dibanding dengan perkara penodaan agama lainnya yang tidak menista Al Quran, seprrti terdakwa Arswendo, Lia Eden, Mosadeg dan Gavatar, dua tahun bagi Ahok itu terlalu ringan.
Ahok juga baru diperintahkan ditahan oleh Majelis Hakim bersamaan dengan putusan Selasa 9 Mei. Sedang Terdakwa-terdakwa lain dalam perkara yang serupa sudah ditahan sejak menjadi tersangka.
Ahok dan pengacaranya menyatakan naik Banding. Sekarang mereka dan para pendukung Ahok berusaha meminta penundaan penahanan kepada Pengadilan Tinggi agar Ahok ditahan sebagai tahanan dalam kota. Beberapa orang ya g mengaku demonstran sejak Rabu malam menduduki Kantor Pengadilan Tinggi dan menyandera Hakim Tinggi di sana.
Mereka berusaha agar proses banding segera diselesaikan, sehingga penundaan penahanan bisa diterbitkan. Dari Pasal 27 KUHAP memang penundaan penahanan oleh Pengadilan Tinggi dimungkinkan, karena Ahok sudah menyatakan banding. Tapi tentu tidak layak, karena Pengadilan Tinggi belum menerima berkas Ahok dan Putusan Hakim Pengadilan Negeri.
Ahok dan pengacaranya pun harus menyampaikan Memori Banding berisi alasan Ahok menolak putusan Pengadilan Negeri. Itu semua harus dipelajari Majelis Hakim Pengadilan Tinggi. Sesudahnya, barulah Hakim bisa memutus untuk menunda penahanan Ahok atau menolak.
Sampai Kamis malam ini belum terbit perintah penundaan penahanan. Kemungkinan besar permohonan penahanan kota ini ditolak Pengadilan Tinggi. Selain ada yurisprudensinya, bahwa semua terdakwa penistaan Agama ditahan, penolakan penundaan penahanan juga semata-mata karena Hakim Tinggi belum mempelajari perkaranya. Bahkan sangat mungkin Majelis Hakim Tingginya pun belum dibentuk.
Pemaksaan penundaan ini akan tambah merusak citra Ahok dan para pendukungnya, yang tentu akan menyulut kemarahan umat Islam.
Desakan yang membela pembebasan Ahok juga datang dari beberapa Kedutaan Asing, yang pertama datang dari Belanda. PBB juga meminta agar hukum tentamng penistaan Agama diringankan atau dihapus.
Desakan ini menjadi aneh, karena hukum bagi penistaan agama (blasphemy) juga berkaku, antara lain, di Belanda, Jerman dan Inggris. Di Pakistan, selain ada hukum untuk penista Islam, perorangan bisa melakukan pembunuhan terhadap si penista.
Amnesty International dan beberapa LSM di Eropa juga mendesak pembebasan Ahok. Demikian pula Komite HAM untuk Asia. Para pendukung Ahok tentu sudah menyebar ke sana untuk melakukan provokasi.
Siapa di balik ini semua tentu tidak terlepas dari pekerjaan para mafia-mafia Cina Indonesia. Mereka seakan-akan sudah memutuskan perang terhadap Islam dan Pribumi. Kekalahan Ahok di Pilkada dan di pengadilan menimbulkan kekhawatiran terhadap kelangsungan proyek reklamasi yang telah menelan ratusan triliun rupiah.
Bagi para mafia ini jalan perang tidak bisa ditolak. Apalagi merasa, bahwa Polri dan Jokowi berada di pihak mereka. Sedang bagi pribumi dan Islam, proyek reklamasi adalah jalan menuju penjajahan terhadap NKRI oleh asing dan aseng. Sehingga, perang pun harus dihadapi dengan gagah berani.
Oleh Sri Bintang Pamungkas, Aktivis Senior