KedaiPena.com – Ketua DPP PDI Perjuangan, Said Abdullah mengungkapkan aksi saling tuding terkakit Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PN) 12 persen sudah mulai mengarah pada situasi yang kontraproduktif.
“Padahal energi bangsa ini kita perlukan untuk bersatu, menghadapi tantangan ekonomi 2025 yang tidak mudah,” kata Said Abdullah dalam pernyataan resmi, Selasa (24/12/2024).
Terlebih, lanjutnya, Indonesia saat ini tengah menghadapi sentimen negatif dari pasar atas menguatnya dolar Amerika Serikat terhadap rupiah, karena ekspektasi investor atas menguatnya ekonomi Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump.
Untuk menjernihkan ruang publik, dan memberi kepastian hukum, Said Abdullah meluruskan kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen merupakan amanat dari Undang Undang No 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang berlaku sejak tahun 2021.
“Kenaikan PPN sesungguhnya bukan peristiwa yang datang seketika. Sebelum 1 April tahun 2022 tarif PPN berlaku 10 persen,” ungkapnya.
Setelah Undang Undang No 7 tahun 2021 berlaku, maka diatur pemberlakuan kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen per 1 April 2022, dan selanjutnya 1 Januari 2025 tarif PPN menjadi 12 persen, dengan demikian terjadi kenaikan bertahap.
Namun, Said mengatakan pemerintah diberikan ruang diskresi untuk menurunkan PPN pada batas bawah di level 5 persen dan batas atas 15 persen bila dipandang perlu, mempertimbangkan kondisi perekonomian nasional.
Pada Undang Undang No 7 tahun 2021 Bab IV pasal 7 ayat 1 huruf b telah diatur bahwa pemberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen berlaku paling lambat tanggal 1 Januari 2025.
“Atas dasar ketentuan ini, maka pemerintah dan DPR sepakat untuk memasukkan asumsi tambahan penerimaan perpajakan dari pemberlakuan PPN 12 persen ke dalam target pendapatan negara pada APBN 2025,” paparnya.
Selanjutnya APBN 2025 telah di undangkan melalui Undang Undang No 62 tahun 2024. Undang Undang ini disepakati oleh seluruh Fraksi di DPR, dan hanya Fraksi PKS DPR RI yang memberikan persetujuan dengan catatan.
Dengan demikian, dia menegaskan pemberlakukan PPN 12 persen berkekuatan hukum. Undang Undang No 7 tahun 2021 tentang HPP mengamanatkan sejumlah barang dan jasa yang tidak boleh dikenai PPN atau PPN 0 persen, antara lain; ekspor barang dan jasa, pengadaan vaksin, buku pelajaran umum, buku pelajaran agama, kitab suci, pembangunan tempat ibadah, proyek pemerintah yang didanai dari hibah atau pinjaman luar negeri, barang dan jasa untuk penanganan bencana, kebutuhan pokok yang dikonsumsi rakyat banyak, serta pengadaan barang dan jasa untuk pembangunan nasional yang bersifat strategis.
Said mengatakan dalam pembahasan APBN 2025 pemerintah dan DPR juga menyepakati target pendapatan negara dengan asumsi pemberlakuan PPN 12 persen untuk mendukung berbagai program strategis Presiden Prabowo Subianto,seperti program quick win yang akan didanai oleh APBN 2025.
Program tersebut antara lain, Makan Bergizi Gratis yang membutuhkan dana sekitar Rp71 triliun, Pemeriksaan Kesehatan Gratis Rp3,2triliun, Pembangunan Rumah Sakit Lengkap di Daerah Rp1,8 triliun, pemeriksaan penyakit menular (TBC) Rp8 triliun, Renovasi Sekolah Rp20 triliun, Sekolah Unggulan Terintegrasi Rp2 triliun, dan Lumbung Pangan Nasional, Daerah dan Desa Rp15 triliun.
Said mengaku sebagai Ketua Badan Anggaran DPR RI, pada tanggal 8 Desember 2024 yang lalu, sudah menyampaikan ke publik agar pemerintah melakukan mitigasi resiko atas dampak kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen, khususnya terhadap rumah tangga miskin, dan kelas menengah. Adapun mitigasi resiko itu dapat diwujudkan dalam sejumlah kebijakan.
Pertama, perlu penambahan anggaran untuk perlindungan sosial ke rakyat. DPR meminta agar jumlah penerima manfaat perlinsos di pertebal bukan hanya untuk rumah tangga miskin tetapi juga hampir miskin/rentan miskin, serta memastikan program tersebut disampaikan tepat waktu dan tepat sasaran.
Kedua, subsidi BBM, LPG, listrik untuk rumah tangga miskin diperluas hingga rumah tangga menengah.
“Termasuk driver ojek online hendaknya tetap mendapatkan jatah pengisian bbm bersubsidi, bahkan bila perlu menjangkau kelompok menengah bawah,” kata Said.
Ketiga, subsidi transportasi umum diperluas yang menjadi moda transportasi massal diberbagai wilayah, khususnya kota kota besar yang memiliki moda transportasi massal. Keempat, ia juga meminta adanya subsidi perumahan untuk kelas menengah bawah, setidaknya tipe rumah 45 kebawah, serta rumah susun.
Kelima, bantuan untuk pendidikan dan beasiswa perguruan tinggi dipertebal yang menjangkau lebih banyak penerima manfaat, khususnya siswa berprestasi dari rumah tangga miskin hingga menengah. Keenam, pemerintah diminta melakukan operasi pasar secara rutin paling sedikit 2 bulan sekali dalam rangka memastikan agar inflasi terkendali dan harga komoditas pangan tetap terjangkau. Ketujuh, ia juga meminta pemerintah memastikan penggunaan barang dan jasa UMKM di lingkungan Pemerintah.
“Menaikkan belanja barang dan jasa pemerintah yang sebelumnya paling sedikit 40 persen menjadi 50 persen untuk menggunakan produk Usaha Mikro, Kecil dan Koperasi dari hasil produksi dalam negeri,” kata Said.
Kedelapan, pemerintah juga didorong untuk menyediakan program pelatihan dan pemberdayaan ekonomi untuk masyarakat kelas menengah, serta meluncurkan program pelatihan keterampilan dan pemberdayaan ekonomi untuk kelas menengah yang terdampak. Hal ini guna membantu mereka beralih ke sektor-sektor yang lebih berkembang dan berdaya saing. Juga bisa disinkronisasi dengan penyaluran KUR.
“Terakhir, pemerintah harus memastikan program penghapusan kemiskinan ekstrem dari posisi saat ini 0,83 persen menjadi nol persen di tahun 2025, dan penurunan generasi stunting di bawah 15 persen dari posisi saat ini 21 persen,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa