Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Kenapa Budi Utomo, organisasi terpelajar Jawa, yang didirikan 20 Mei 1908, hanya bertahan 10 tahun, dan vakum 17 tahun?
Sejarawan Akira Nagazumi di buku “Bangkitnya Nasionalisme Indonesia, Budi Utomo 1908-1918”, menjelaskan, sebabnya karena kaum intelek yang jadi penggerak organisasi ini melakukan evaluasi dan otokritik terhadap gerakan.
Mereka tidak ingin Budi Utomo terjebak dalam etno-nasionalisme sempit, yang bersifat kesukuan.
Setelah vakum sejak 1918 Budi Utomo akhirnya melebur jadi partai politik, yaitu Parindra (Partai Indonesia Raya) pada 1935. Dengan memperluas azas perjuangan ikut melaksanakan cita-cita persatuan Indonesia.
Parindra merupakan hasil fusi organisasi kedaerahan, yang terdiri dari Budi Utomo, Paguyuban Pasundan, Serikat Betawi, Serikat Ambon, Serikat Minahasa, Sumateranen Bond, dan lainnya.
Misinya memberikan pencerdasan politik, ekonomi, dan sosial kepada rakyat, sebagai bekal untuk menjalankan pemerintahan sendiri.
Bagaimana dengan gerakan reformasi Mei 1998 yang bulan ini dalam momentum 25 tahun?
Tokoh nasional Dr Rizal Ramli melalui akun twitter-nya, Senin, 8 Mei kemarin, mempertanyakan apa sesungguhnya manfaat yang telah dicapai dari gerakan reformasi 1998.
Tokoh gerakan mahasiswa 1978 ini esensinya menekankan bahwa ternyata masih sangat banyak persoalan yang harus diperbaiki berkaitan dengan pelaksanaan demokrasi dan tatakelola negeri ini pasca reformasi.
Ia menyebut antara lain persoalan hukum dan kesejahteraan rakyat yang masih jauh dari amanat konstitusi.
Di sisi lain ada banyak persoalan yang dilakukan oleh rezim saat ini justru menjadi beban bagi rakyat. Seperti proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung yang mengorbankan APBN, proyek spekulasi IKN, hingga masalah ladang gas Blok Masela yang seharusnya mampu mendatangkan kesejahteraan untuk masyarakat di wilayah timur Indonesia.
Di akun twitter-nya Rizal Ramli juga mengutip pernyataan teolog dan penulis ternama Amerika Serikat, James Freeman Clarke, tentang perbedaan cara pandang antara politisi dengan negarawan terhadap bangsanya:
A politician thinks of the next election, a statesman thinks of the next generation.
Seorang politisi berpikir tentang pemilu berikutnya, (tetapi) seorang negarawan memikirkan generasi berikutnya.
“Lupakan copras-capres. Fokuslah pada perbaikan seleksi kepemimpinan yang benar-benar kompetitif. Ibaratnya, kalau handphone error melulu, pilihannya hanya total reset,” tandas Rizal Ramli.
Di dalam tulisannya berjudul “Indonesia Has Lost Its Way on Corruption and Freedom” yang dimuat di media massa internasional, Asia Nikkei, Jumat, 5 Mei lalu, Rizal Ramli juga menjelaskan bahwa saat ini upaya untuk mengubah bangsa ini menjalani demokrasi secara modern telah gagal dan sudah kehilangan arah dalam pemberantasan korupsi serta tidak adanya penghargaan terhadap kebebasan yang dijamin oleh konstitusi.
Di tulisan reflektif dan bernuansa otokritik terhadap reformasi 1998 itu Rizal Ramli secara garis besar, antara lain, menekankan:
“Kini, 25 tahun setelah jatuhnya Soeharto, rakyat Indonesia berada di saat-saat terburuk. Joko Widodo, kabinetnya dan DPR telah bersama-sama memberikan pukulan yang menghancurkan bagi demokrasi negara, secara metodis merusak institusi dan normanya, hingga Indonesia saat ini lebih mirip negara semi-otoriter daripada negara demokrasi,” tulisnya.
[***]