Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Ada pernyataan menarik yang disampaikan oleh tokoh nasional Dr Rizal Ramli dalam diskusi “Masa Depan Reformasi Birokrasi dan Pemerintahan” yang diselenggarakan Universitas Paramadina dan LP3ES, 12 April yang lalu.
Tampilnya Rizal Ramli di forum LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) yang juga penerbit majalah ilmiah popular, Prisma, dimana pada sekitar tahun 1980-an Rizal Ramli pernah menjadi pemimpin redaksi di majalah itu, mengusik kembali kesadaran publik tentang pentingnya peran para intelektual untuk membawa perubahan bagi kemajuan bangsa.
Dalam paparan diskusi yang disiarkan melalui channel YouTube itu Rizal Ramli menyatakan, saat ini peran kalangan intelektual seharusnya lebih menonjol. Karena perubahan yang di-drive oleh para intelektual akan sangat berbeda kualitasnya ketimbang perubahan yang di-create oleh para politisi.
“Para pejuang kemerdekaan kita dulu umumnya adalah para intelektual. Karena itu hasil perjuangan mereka bukan hanya sekadar memerdekakan bangsa, tapi juga menghasilkan prinsip-prinsip dasar kemerdekaan,” tegas Rizal Ramli.
Rizal Ramli menekankan, intelektual Indonesia saat ini tidak bisa lagi diharapkan tumbuh dari kalangan dosen-dosen universitas negeri.
Ia mencontohkan, Forum Rektor misalnya, kini telah berubah menjadi “Forum PNS” yang takut bersuara kritis dan enggan mengoreksi keadaan bernegara.
“Yang ada malah forum-forum rektor yang berasal dari universitas swasta yang mengalami sendiri 20 sampai 30 persen mahasiswanya tidak mampu bayar uang kuliah, sejak dua setengah tahun terakhir ini,” ungkap Rizal Ramli.
Kalangan rektor dari universitas swasta inilah, lanjutnya, yang semakin lama semakin menginginkan adanya perubahan yang lebih baik di negeri ini.
Dalam terminologi sejarawan Arnold Joseph Toynbee kaum intelektual adalah termasuk kelompok minoritas kreatif.
Minoritas kreatif ialah sekelompok orang yang memiliki self determining atau kemampuan diri untuk menentukan apa yang hendak dilakukan dalam mencapai perubahan.
Minoritas kreatif dari segi jumlah memang sedikit, tetapi berperan besar menjadi pemandu yang berjuang dan menunjuki jalan ke arah perubahan yang lebih baik.
Perlawanan rakyat terhadap kolonialisme esensinya juga digerakkan oleh kelompok minoritas kreatif.
Cipto Mangunkusumo, Haji Samanhudi, Tirto Adi Suryo, Cokroaminoto, Sutomo, Ernest Deuwes Dekker, Ki Hadjar Dewantara, Hatta, Sukarno, adalah contoh-contoh figur intelektual minoritas kreatif yang membawa perubahan.
Mereka ini, kata Rizal Ramli, adalah intelektual yang memperjuangkan visi dan gagasannya agar dapat terwujud, yaitu memerdekakan bangsa.
“Tapi para intelektual kita saat ini hanya sibuk menganalisis peristiwa atau kejadian doang,” tegasnya.
Tentang pentingnya peran para intelektual untuk perubahan dalam mencapai kemerdekaan dan kemajuan bangsa, Bung Hatta telah secara patriotik menyatakannya saat diadili di pengadilan Den Haag, Belanda, 9 Maret 1928, tatakala masih menjadi mahasiswa di Negeri Kincir Angin itu:
Dalam pidato pembelaannya yang berjudul Indonesia Merdeka (Indonesia Vrij) di depan pengadilan kolonial itu Bung Hatta berkata:
“Orang-orang Indonesia yang lulus dari sekolah tinggi harus bergabung pada massa yang berjuang. Sudah terlalu lama kaum intelek menjauhkan diri dari massa rakyat, kebanyakan dari para sarjana kita tidak mempedulikan nasib rakyat yang menderita. Memang faktor yang menentukan dalam perjuangan kemerdekaan nasional bukanlah terletak pada kelompok kaum intelek. Jantung bangsa berdenyut dalam lapisan-lapisan luas. Para intelektual hanya perlu menemukan kekuatan rakyat yang meluap-luap dan menjadi juru bahasanya. Jantung itu terbuka untuk menangkap suara zaman”.
Pada bagian lain pidato pembelaannya Bung Hatta, figur yang selalu berpembawaan tenang menyatakan kekerasan hatinya sebagai seorang pejuang bangsa dengan suara yang lantang:
“Para intelektual jangan mau mengambil jalan samping lagi, yang hanya menuju pada lebih banyak kegetiran. Selamat tinggal politik memohon dan mengemis! Selamat tinggal politik memohon restu! Selamat tinggal politik menadahkan tangan”.
Amanat Bung Hatta kepada kaum intelektual yang disampaikan 95 tahun yang lalu ini seakan kini menemukan korelasi dan relevansinya dengan pernyataan tokoh nasional Dr Rizal Ramli yang juga merupakan tokoh pergerakan sejak menjadi mahasiswa, bahwa kalangan intelektual saat ini seharusnya mampu berperan.
Karena perubahan yang di-drive oleh para intelektual sangat berbeda kualitasnya ketimbang perubahan yang di-create oleh para politisi yang kini terbukti menghasilkan banyak sekali kebangkrutan dalam tatakelola negara dan bangsa.
Longa Vita Certamen, Beati Qui Defendunt Populum, Panjang Umurlah Perjuangan, Diberkahilah Mereka yang Berjuang Membela Rakyat.
[***]