SAAT membuka acara GE: Powering Indonesia di Jakarta, kemarin (19/7), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan memastikan program pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW baru akan selesai 2025. Dalam tiga tahun ke depan yang dapat dikejar sekitar 20.000 MW.
Sebelumnya, pada 25 Januari 2017 silam, dia juga mengatakan proyek pembangkit listrik 35.000 MW tidak akan rampung di 2019. Saat itu Jonan menepis anggapan mega proyek kelistrikan sengaja dihentikan atau tidak dilanjutkan hingga mencapai 35.000 MW. “Bukan di stop, tapi memang tidak bisa selesai di 2019,†ungkapnya.
Dua pernyataan senada oleh orang yang sama dalam kurun waktu yang berbeda menunjukkan konsistensi si pembuat pernyataan. Intinya, target pembangunan pembangkit 35.000 MW dalam lima tahun (2014-2019) tidak bisa dicapai, tidak realistis. Atau, dalam frase yang agak halusnya, terlalu ambisius.
Kalau seorang menteri yang paling bertanggung jawab di bidang energi sudah menyatakan demikian, masakah kita masih meragukan? Masakah kita tetap ngotot dengan pendapat, bahwa target pembangunan yang 35.000 MW itu masuk akal dan bisa dieksekusi?
Kalau anda termasuk dalam kelompok yang ini, wah, repot kita melanjutkan diskusi. Kecuali, sampeyan bisa menjelaskan secara teknis dan substantif dari sikap ngotot tersebut. Tapi jika tidak bisa, ya maaf, itu namanya degil.
Warning RR
Sekadar menyegarkan ingatan lama (maksud saya, tidak terlalu lama juga), pernyataan senada Jonan sebetulnya sudah disampaikan Rizal Ramli. Waktu itu, Agustus 2015, beberapa hari setelah dilantik sebagai Menko Maritim (dan Sumber Daya), dia menyatakan rencana pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW tidak realistis.
Menurut dia, target super-ambisius tersebut disusun hanya untuk menyenangkan pimpinan alias bos belaka. Selain itu, praktik di lapangan berbagai proyek tadi sudah habis dibagi-bagi kepada para kroni para pejabat tertentu. RR menyebut para birokrat itu dengan Pengpeng, penguasa merangkap pengusaha.
Gara-gara pernyataannya itu, sejumlah pihak jadi uring-uringan. Umumnya mereka menyebut RR telah bertindak tidak etis. Kok bisa-bisanya mengkritisi program Pemerintah, sementara yang bersangkutan adalah menteri yang berada dalam satu rangkaian gerbong Jokowi? Kalau mau ribut, mbok saat sidang-sidang kabinet saja. Tidak di ruang publik. Gitu!
Selanjutnya koor bahwa RR menimbulkan kegaduhan pun ramai-ramai didendangkan. Dengan bantuan jaringan media yang tidak paham dan atau telah dikooptasi, koor ini kian lama kian nyaring saja. Opini masyarakat digiring sedemikian rupa, sehingga seolah-olah RR adalah duri dalam daging yang kudu dicabut dari kabinet.
Orang yang paling kencang berbunyi adalah Wapres Jusuf Kalla. Politisi berlatar belakang saudagar ini bahkan menuding RR tidak paham soal listrik. JK mengatakan, target 35.000 MW itu merupakan program Presiden Jokowi yang disusun dengan asumsi ekonomi tumbuh 7% per tahun. Dia bahkan menyarankan agar aktivis mahasiswa ‘78 tersebut belajar dulu soal listrik baru berkomentar.
Mungkin karena disebut tidak paham, gaya aktivis RR jadi terpantik. Secara terbuka dia melemparkan tantangan debat di hadapan publik kepada JK soal listrik. Keruan saja tantangan ini seperti menjadi pembenaran bahwa RR telah bertindak (sangat) tidak etis.
Mosok menantang debat Wapres yang jadi atasan menteri? Setelah itu, orkhestra agar menteri yang dikenal dengan jurus Rajawali Kepret dibuang dari kabinet pun kian lantang saja.
Ngomong-ngomong, saat itu saya termasuk yang berpendapat RR telah berbuat tidak elok, lho. Mosok menteri menantang Wapres yang jadi atasannya untuk debat terbuka.
“Kamu salah. Atasan saya itu Presiden. Kamu baca lagi konstitusi kita. Menteri itu pembantu Presiden, bukan Wapres. Jadi, atasan saya itu Presiden Jokowi,†ucapnya, suatu sore, saat saya sampaikan pendapat saya tadi. Skak mat!
Jokowi bilang, “mangkrak!â€
Sejatinya, sebelum Jonan bersuara, Presiden Jokowi sudah mengendus bahwa mega proyek ini bakal terseok-seok. Lelaki asal Solo itu bahkan jelas-jelas menyebut mangkrak! Pasalnya, progres pembangunannya amat lambat. Bayangkan, sampai 24 November 2016, yang berhasil dieksekusi hanya 36% dari target kumulatif tahun 2016.
Seperti pada kasus perpanjangan kontrak JITC dan Hutchinson, pembelian pesawat berbadan lebar Garuda, dan beberapa lainnya, kepretan RR soal proyek listrik ini juga akhirnya terbukti benar. Kita memang tidak bakal sanggup mengeksekusi proyek sangat ambisius yang tidak realistis itu.
Tim ahli yang dibentuk RR waktu masih menjadi Menko menyimpulkan sampai 2019, paling banter yang bisa dibangun hanya 17.000-18.000 MW. Itu pun sudah luar biasa. Pasalnya, dalam 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono, cuma bisa membangun proyek listrik 7.919 MW.
Menko yang kemudian dicopot karena menghentikan proyek reklamasi 17 pulau di Pantai Utara Jakarta itu, akhirnya terbukti benar. Terlampau banyak kendala yang mesti diterabas. Bukan cuma soal regulasi dan peraturan yang masih berbelit, tapi kemampuan menyelesaikan secara teknis di lapangan juga tidak memungkinkan.
Batu sandungan di lapangan yang dimaksud itu antara lain, ihwal penyediaan lahan, negosiasi harga, proses pengadaan, dan masalah perizinan. Sudah? Tidak juga. Karena masih ada persolan lain yang membelit. Yaitu, kinerja pengembang dan kontraktor, serta manajamen proyek.
Dari internal pemerintah juga bukan sepi hambatan. Masalah klasik yang selalu muncul adalah perkara koordinasi lintas sektoral. Masih kuatnya ego sektoral masing-masing kementerian dan lembaga tetap saja jadi hambatan yang lumayan serius. Soal lain yang juga sering jadi sandungan adalah jaminan pemerintah, tata ruang, dan masalah hukum.
Belum lagi keberadaan para mafia listrik di lingkaran Istana yang tetap saja eksis. Presiden dan Wapres boleh saja berganti, mafia tetap saja bercokol. Mereka hanya memegang lisensi tanpa sanggup merealisasi. Namanya juga calo, menunggu pihak yang berani bayar tinggi. Semua itu jadi pekerjaan rumah yang sepertinya nyaris mustahil dituntaskan dalam tempo singkat.
Untung gagal
Mencermati perkembangan terakhir proyek lsitrik 35.000 MW, saya kok malah jadi bersyukur proyek ini tidak purna pada 2019. Sebabnya, pertama, bangsa ini tidak dianugrahi kesaktian tokoh dongeng Bandung Bondowoso. Itu lho, ksatria yang sanggup menyelesaikan pembangunan 1.000 candi dalam semalam saja. Jadi, yang memang mustahil mengebut proyek 35.000 MW dalam tempo lima tahun saja.
Kedua, ini yang lebih penting, kalau pun bisa proyek diselesaikan, bakal menimbulkan masalah teramat serius bagi PT PLN (Persero). Saat itu akan terjadi kelebihan tenaga listrik (excess power) di atas kebutuhan beban puncak sebesar 21.331 MW. Angka ini muncul dengan asumsi proyek 35.000 MW sukses, ditambah dengan kapasitas terpasang yang ada pada 2014, maka total total produksi pada 2019 mencapai 95.331 MW. Padahal, saat itu, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 7% per tahun, kebutuhan beban puncaknya hanya 74.000 MW.
Dengan berkaca pada pertumbuhan riil per tahun yang cuma 5%, maka angka kebutuhan listrik pada saat beban puncak yang terjadi akhir 2019 tentu tidak sampai 74.000 MW. Artinya, daya yang idle menggelembung lagi, jauh di atas 21.331 MW.
Pada titik inilah musibah besar bakal terjadi pada PLN. Sesuai aturan yang ada, PLN diharuskan membeli minimal 72% dari kapasitas listrik yang dihasilkan swasta. Kewajiban itu berlaku, tidak peduli listriknya terpakai atau tidak. Untuk itu, perusahaan pelat merah yang memproduksi setrum itu kudu merogoh kocek tidak kurang dari US$10,763 miliar untuk membeli kapasitas listrik swasta yang idle tadi.
Kalau ini benar-benar terjadi, tidak bisa tidak, pasti PLN bangkrut. Itulah sebabnya saya bersyukur proyek 35.000 MW yang super-ambisius tidak terwujud. Alhamdulillah.
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and democracy Studies (CEDeS)