KedaiPena.Com – Siapa sangka, perairan laut di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara menyimpan potensi gugusan Terumbu Karang nan cantik dan berharga.
Gususan ini memang berbeda dengan beberapa beberapa titik Terumbu Karang lainnya di perairan laut Tapteng yang selama ini telah dijadikan sebagai spot wisata diving atau snorkeling. Gugusan koral-koral yang satu ini diharapkan tidak menyebutkan detail lokasinya.
Alasannya adalah telah diratifikasinya agenda internasional “World Coral Reef Conference” (WCRC) atau konferensi terumbu karang tingkat dunia di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yg diselenggarakan di Manado, Sulawesi Utara, pada 14-17 Mei 2014 lalu.
WCRC merupakan tindak lanjut dari World Ocean Conference dan Coral Triangle Initiatives pada 2009, dan menghasilkan deklarasi Manado, yang isinya berhasil menarik kepedulian perlunya perlindungan keberadaan terumbu karang bagi kehidupan dan upaya untuk meningkatkan kapasitas dalam pemanfaatan serta pengelolaan terumbu karang secara lestari dan berkelanjutan.
Selain kemudian mematuhi deklarasi Manado yang diuraikan diatas, secara regulasi, Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten Tapteng agaknya belum memiliki perda yang secara spesifik memayungi perlindungan ekosistem Terumbu Karang.
“Ya, memang ada alasan krusial detail lokasi tidak disebutkan. Apalagi kita melihat belum ada regulasi yang ketat, semisal Perda khusus terkait Terumbu Karang di Kabupaten Tapteng,” ujar tokoh muda pecinta wisata alam dan bahari, Andri Christanto Malau kepada KedaiPena.Com di hotel Pia Pandan, Sabtu (15/10).
Dikatakan, dibentuknya Perda khusus yang melindungi ekosistem Terumbu Karang tersebut sebaiknya menjadi prioritas pemerintah dan legislatif setempat dalam waktu dekat. Apalagi mengingat, Terumbu Karang adalah kekayaan alam yang kerap menjadi alasan kuat para wisatawan datang berkunjung ke sebuah daerah.
“Jadi sebelum kemudian ditetapkan sebagai kawasan wisata, bagaimana Tapteng itu punya regulasi ketat yang dimaksud, yang bisa melindungi gugusan-gugusan terumbu karang tersebut,” kata Andri.
Andri menyarankan, Perda tersebut sedikitnya mengatur upaya perlindungan dan konservasi terhadap eksistensi Terumbu tersebut. “Siapkan dulu infrastruktur, pertama soal perda, pos-pos konservasi, di inventarisir jenis-jenisnya,” katanya.
Ditambahkan, jika kemudian keberadaan gugusan Terumbu tersebut dijadikan sebagai sektor wisata, ia juga menyarankan bahwa konteks wisata yang dilakukan bukanlah wisata yang secara terbuka bagi kalangan umum, melainkan secara tertutup dan terbatas.
Misalnya, lanjut Andri, menjadikannya sebagai Cagar, dimana wisata yang dilakukan adalah wisata edukasi dan penelitian.
“Ya, kalau kemudian karena potensi keindahannya sangat menjanjikan sektor wisata, maka yang kita rekomendasikan adalah sektor wisata edukasi, menjadikannya sebagai laboratorium outdor (terbuka), baik institusi perikanan, sekolah maupun kalangan peneliti,” kata Andri.
Penelusuran KedaiPena.Com menyebutkan, sejumlah dareah telah membentuk Perda menyangkut perlindungan Terumbu Karang. Diantaranya, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Kepulauan Riau, Provisi Maluku.
Sementara itu, sumber wikipedia.org menyebutkan, Indonesia merupakan negara yang mempunyai potensi terumbu karang terbesar di Dunia.
Sayangnya, kerusakan terhadap kawasan terumbu karang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan pesat. Tercatat, Terumbu Karang berkondisi baik hanya sekitar 6,2 persen saja. Ini disebabkan, aktifitas ekspor terumbu yang masih berlangsung.
Padahal, perdagangan terumbu karang telah dibatasi oleh Convention on International Trade in Endagered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Namun, laju eksploitasi terumbu karang masih tetap tinggi karena buruknya sistem penanganan.
“Kan amat disayangkan, potensi terumbu karang Indonesia yang terbesar tapi malah cuma 6% yang dalam posisi terlestarikan. Ini bisa jadi pekerjaan rumah pemerintah Kabupaten Tapteng, untuk melahirkan wisata edukatif, dimana publik di undang untuk menanam Terumbu Karang kembali dan mengundang para ahli Bioteknologi untuk mempercepat perkembangbiakannya, yang normalnya saja memakan waktu puluhan tahun atau dengan karang buatan (artificial reef) untuk kawasan yang sudah rusak parah. Jadi intinya harus ada political will dari pemerintah setempat untuk masalah ekosistem bawah air dan ke konsistenan penegak hukum terhadap penegakan hukum,†urai Andri.
 (Dom)