SECARA substansial demonstrasi 4 November 2016 adalah hak politik warga yang dijamin UUD 1945 pasal 28 dan UU nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat dimuka Umum.Â
Selain itu, demonstrasi adalah cara rakyat menyatakan sikap yang dalam teori politik disebut protest atau bentuk partisipasi politik unconventional sebagaimana dikemukakan Dalton & Almond  dalam Comparative Politics Today: A World View (2009).
Dalam konteks konstitusi dan substansi demokrasi, tidak perlu ada yang ditakutkan dari demonstrasi 4 November jika pemimpin, rakyat dan penegak hukum bertindak rasional.Â
Dalam situasi seperti ini Indonesia memerlukan pemimpin yang rasional (tidak emosional, tidak arogan), Â rakyat yang rasional (melakukan demontrasi secara tertib) dan penegak hukum yang independen (tidak ikut main politik) sehingga menghadirkan keputusan yang obyektif.Â
Jika demontrasi besar 4 November berjalan masif, setidaknya ada 5 kemungkinan yang akan terjadi terkait posisi Ahok dan situas sosial Jakarta dan nasional yang patut menjadi perhatian rakyat, elit politik dan penegak hukum.
Pertama, Ahok ditetapkan bersalah menjadi tersangka dan dipenjara. PDIP mencari pengganti Ahok. Umat Islam  nampak berterimakasih pada aparat dan sebagian etnis Tionghoa tenang, karena tidak terjadi kerusuhan sebagaimana yang dibayangkan.Â
Lebih dari itu karena hukum telah tegakan dan keputusan telah diambil. Pilkada berlangsung aman, calon dari PDIP kemungkinan menang. Situasi sosial, politik dan keamanan Jakarta kembali normal.
Kedua, proses hukum Ahok ditunda setelah pilkada melalui pengumuman resmi Kapolri dan Presiden yang disampaikan secara rasional dan nasional.Â
Rakyat diasumsikan menerima alasan penegak hukum atas penundaan perkara hukum tersebut. Pilkada berjalan lancar, Ahok menang. Saat menang Ahok merubah gaya komunikasinya jadi santun jarang bicara dan minta maaf kepada umat Islam.Â
Ahok dan para pendukungnya bahagia, umat Islam kecewa tetapi sabar karena dapat diredam oleh para ulama pro penguasa. Situasi sosial seperti ini memiliki potensi protes jika ada pemicunya. Elit politik dan kepolisian bekerja keras untuk meminimalisir pemicu, meski potensi protes besar tetap ada.
Ketiga, Ahok tidak jadi tersangka, pilkada dilaksanakan, Ahok memenangkan pilkada, tetapi kecurangan Ahok diketahui publik. Aksi protes besar-besaran terjadi dan Jakarta  terjadi kekacauan.Â
Situasi kacau ini diikuti derah-daerah lain. Keadaan darurat sipil diterapkan, penguasa bertindak represif, kelompok kritis Islam dimarginalkan, secara sistemik disisir. Situasi tak menentu. Negara diambil alih TNI dan konstitusi kembali ke UUD 45 yang asli. NKRI dalam situasi yang terkendali oleh kekuatan militer.
Keempat, Ahok tidak jadi tersangka, demo anti Ahok terus menerus, rusuh dimana-mana, pilkada ditunda sampai waktu tak tentu. Negara dalam keadaan darurat. Situasi sosial ekonomi dan politik makin tak terkendali.
Kelima, Ahok tidak jadi tersangka, pilkada tetap dilaksanakan, pilkada terjadi dua putaran, putaran kedua head to head calon Agus/Anies vs Ahok. Calon Agus/Anies menang. Situasi reda dan damai. Jakarta kembali normal. NKRI damai, berjalan sebagaimana mestinya.
Demikian. Semoga bisa menjadi bahan renungan bagi rakyat, elit politik (penguasa) dan penegak hukum. Kunci utamanya ada pada rasionalitas elit politik, rasionalitas warga dan penegakan hukum yang independen.
Oleh Ubedilah badrun, analis sosial politik UNJ, Ketua Laboratorium Sosiologi UNJ, Direktur Eksekutif PUSPOL Indonesia