KedaiPena.Com – Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi mengapa pasangan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidjat (Ahok-Djarot) kini ditinggal pemilih. Setidaknya  ada lima alasan yang menjelaskan itu. ‎
“Pertama, efek surat Al Maidah. Sejak menjadi viral, video pidato Ahok di Kepulauan Seribu yang menafsirkan surat Al Maidah Ayat 51 memunculkan kontroversi dan dugaan penistaan agama Islam,” kata Founder Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA‎ dalam keterangan kepada KedaiPena.Com, Jumat (18/11).‎‎
Kontroversi dan protes sebagian besar ummat Islam tersebut berujung pada aksi demo besar-besaran sebanyak 2 (dua) kali yang menuntut Ahok diperiksa dan diadili.Â
Kasus dugaan penistaan agama ini menjadi perhatian publik Jakarta secara luas. Survei LSI  menunjukan bahwa sebesar 89.30 % responden menyatakan  mereka mengetahui kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok. Hanya dibawah 10 % saja yang mengatakan tak pernah mendengar.Â
Dari mereka yang pernah mendengar, sebanyak 73.20 % menyatakan  pernyataan Ahok tersebut  sebuah kesalahan. Mayoritas publik pun (65.7 %) menyatakan  pernyataan Ahok soal Al Maidah Ayat 51  bentuk penistaan agama.  ‎Mayoritas publik pun (63.7 %) mendukung  adanya proses hukum terhadap Ahok meskipun yang bersangkutan telah meminta maaf.
Ibarat pertarungan tinju, kasus surat Al Maidah  “pukulan upper cut” yang hampir saja meng-KO” kan Ahok.
“Kedua,  tingkat kesukaan Ahok makin turun.  Tingkat kesukaan Ahok karena berbagai alasan juga menurun. Di survei Maret 2016, tingkat kesukaan Ahok masih sebesar 71.3 %. Di Juli 2016, tingkat kesukaan Ahok sebesar 68.9 %. Di bulan Oktober 2016, tingkat kesukaan sebesar 58.2 %. Dan saat ini, di survei November 2016, tingkat kesukaan Ahok sudah dibawah 50 % yaitu sebesar 48.30%,” jelas dia.‎
Menurunnya tingkat kesukaan atas Ahok adalah pukulan ‘jab’ yang beruntun dan berbahaya bagi tingkat keterpilihannya. Pemilih mustahil memilih orang yang tak disukainya.
“Ketiga,  khawatir Jakarta di bawah Ahok penuh gejolak sosial. ‎Massifnya gelombang penolakan terhadap Ahok, membuat masyarakat menjadi khawatir ke depan jakarta akan penuh gejolak sosial,” Denny menambahkan.‎
Personaliti Ahok yang cenderung konfrontatif dengan pihak yang bersebrangan, ditakutkan masyarakat akan membuat gejolak sosial. Dan terakhir berkembang faktor psikologis Jakarta tak aman jika Ahok tetap terpilih menjadi gubernur.
“Apa gunanya sungai yang bersih, Jakarta Smart City, jika sebagian penduduknya menyimpam bom waktu selalu ingin menurunkan sang gubernur karena karakter yang tidak sensitif dengan emosional,” sambung dia lagi.‎
Keempat, Agus dan Anies semakin menjadi pilihan untuk Jakarta yang stabil. Kedua pasangan ini mampu untuk menampilkan minimal citra damai, yang akan membuat Jakarta lebih stabil karena tidak adanya penolakan emosional. Gaya dari masing-masing kandidat yang ramah, santun, lebih bisa diterima.
“Kelima, Â citra buruk status tersangka. Selama ini semua pejabat (menteri, gubernur, dan lain-lain) yang menjadi tersangka diminta mundur dari jabatannya. Ini tradisi yang sudah kuat, tradisi ‘good governance’. Mereka risih jika tokoh yang tersangka kok malah dikampanyekan menjadi pejabat,” pungkas Denny.
Laporan: Anggita Ramadoni
‎