KedaiPena.com – Kalangan DPR RI meminta agar industri keuangan seperti perbankan khususnya perbankan milik negara berhati-hati mengambil kebijakan terkait suku bunga kredit.
Pasalnya, kenaikan suku bunga kredit yang dilakukan perbankan pelat merah sejauh ini justru kurang efektif dalam menggenjot laju pertumbuhan ekonomi.
Diketahui, berdasarkan catatan regulator keuangan (BI) perbankan menaikkan suku bunga kredit sebesar 21 basis poin (bps). Di tengah kenaikan suku bunga kredit, dilain sisi BI sebelumnya juga menaikkan suku bunga acuan hingga 225 bps. Saat BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 225 bps, perbankan merespons dengan menaikkan suku bunga deposito sebesar 108 bps.
Menanggapi hal tersebut, Anggota DPR RI dari Fraksi PDIP, Darmadi Durianto menilai, suku bunga kredit perbankan yang sebesar 21 bps saat ini justru tak mampu menstimulus pertumbuhan ekonomi.
“Padahal pertumbuhan kredit merupakan elemen penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi negara. Mestinya perbankan (Himbara) mampu menganalisis psikologi pasar dengan cermat dan prudent. Jangan hanya karena kejar serapan, kebijakan yang diambil justru tak efektif,” tandas Anggota Komisi VI DPR RI itu, Minggu (22/01/2023).
Darmadi menambahkan, kenaikan suku bunga kredit perbankan tidak relevan diterapkan di tengah berbagai indikator ekonomi masyarakat yang melemah.
“Kebijakan melakukan relaksasi dan restrukturisasi terhadap fasilitas kredit bukan naikan suku bunga kredit, itu opsi yang kurang relevan. Jika instrumen ini yang digenjot, efek dominonya pertumbuhan ekonomi masyarakat akan meningkat. Daya beli masyarakat saat ini kan melemah dan belum pulih, belum lagi persoalan inflasi dan efek ketidakpastian ekonomi global,” ucap Pakar Ekonomi dari Wiyatamandala Business School itu.
Darmadi juga meminta agar perbankan memperhatikan efek likuiditas berlebih karena hal ini bisa menghambat proyeksi mereka terhadap deposito.
“Ketika suku bunga kredit hanya difokuskan untuk kejar keuntungan dari deposito maka itu cukup berisiko karena belum tentu deposito mengalami kenaikan ketika BI menaikkan suku bunga acuan,” tandasnya.
Tak hanya itu, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Darmadi mengungkapkan, memang likuiditas perbankan tengah overload. Artinya, kata dia, jika mengacu pada data tersebut menaikkan suku bunga kredit sekali lagi bukan opsi yang kredibel.
“Tidak kredibel jika opsi menaikan suku bunga kredit di tengah likuiditas berlebih,” tuturnya.
Berdasarkan data OJK terkait likuiditas industri perbankan dari tahun ke tahun cukup berlebih. Untuk kredit misalnya di tahun 2020 angkanya ada di 5.482. Desember 2021 angkanya ada di 5.769. Oktober 2022 angkanya ada di 6.334. Nopember 2022 angkanya ada di 6.347.
Kedua, dana pihak ketiga (DPK) rinciannya adalah Desember 2020 angkanya ada di 6.665. Desember 2021 angkanya ada di 7.479. Oktober 2022 angkanya ada di 7.927. Nopember 2022 angkanya ada di 7.974.
Ketiga, Loan to Deposit Ratio (LDR). Rinciannya adalah Desember 2020 angkanya ada di 82,24. Desember 2021 angkanya ada di 7,13. Oktober 2022 angkanya ada di 79,9. Nopember 2022 angkanya ada di 7,9.
Keempat, Alat Likuid rinciannya adalah Desember 2020 angkanya ada di 2.111. Desember 2021 angkanya ada di 2.627. Oktober 2022 angkanya ada di 2.335. Nopember 2022 angkanya ada di 2.426.
Kelima, Alat Likuid (AL) Terhadap non core deposit (NCD). Rinciannya adalah Desember 2020 ada di angka 146,72. Desember 2021 angkanya ada di 157,94. Oktober 2022 angkanya ada di 130,17. Nopember 2022 angkanya ada di 134,97.
Keenam, Alat Likuid (AL)/DPK. Rinciannya adalah Desember 2020 angkanya ada di 31,67. Desember 2021 angkanya ada di 35,12. Oktober 2022 angkanya ada di 29,46. Nopember 2022 angkanya ada di 30,42.
Jika melihat data OJK tersebut, saran dia, mestinya perbankan memfokuskan kenaikan suku bunga kreditnya khusus ke sektor-sektor prioritas.
“Misalnya ke Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit hijau dan sektor-sektor riil dan padat karya lainnya,” ucap dia.
Darmadi mengaku tetap optimis karena di saat loan to deposit ratio (LDR) mengalami pengetatan, disisi lain BI tetap memberikan relaksasi kewajiban giro wajib minimum (GWM).
“Pengetatan LDR perbankan kita kan ada di angka 77,13 persen hingga 79,6 persen pada Desember 2021. BI kan tetap pertahankan GWM-nya di level 9 persen. Sebaiknya insentif GWM dari BI itu dipergunakan perbankan ke sektor-sektor prioritas. Pertama ke kelompok dengan kategori memiliki daya tahan (resilience), kelompok penggerak pertumbuhan (growth driver) serta kelompok penopang pemulihan (slow starter). Jika ini dilakukan, kenaikan suku bunga kredit akan berputar dan efektif menggenjot perputaran ekonomi bangsa dan negara secara keseluruhan,” pungkasnya.
Laporan: Muhammad Hafidh