AHOK atau Basuki Tjahaja Purnama sepertinya “menyandera”Jokowi sehingga dipaksakan untuk menjadi Komisaris Utama Pertamina. Berkuasa dan bergaji besar.
Ini merupakan salah satu wujud dari sikap bebal dan tak berperasaan Pemerintah. Rakyat semua tahu siapa Ahok. Mantan Napi.
Segudang masalah keuangan masih menempel dengan keberadaannya. Di Pertamina sendiri Serikat Pekerja menolak dengan aksi menyegel ruangan Komisaris Utama.
Mereka khawatir pada ‘track record’ Ahok “pemberang” yang akan menjadi sumber kegaduhan.
Umat Islam tidak dendam pada penista Qur’an. Tapi umat tidak berkenan pada promosi sang penista.
Tentunya sebelum melihat terlebih dahulu bukti “pertobatan” atas perbuatan yang pernah menyakiti hati umat tersebut.
Penghukuman di “Lapas Mako” tidak memuaskan karena bernuansa melindungi dan memanjakan.
Kebijakan pada Ahok dinilai sebagai gambaran dari ketidakadilan hukum. Rezim tak adil dan tak berperasaan.
Belum lagi soal triliunan BPJS berutang kepada Rumah Sakit se Indonesia baik Pemerintah maupun swasta.
Banyak dokter gelisah, Rumah Sakit “meriang” dan khawatir bergelimpangan kesulitan keuangan.
Pemerintah menyalahkan para penunggak yang justru sebagian besar adalah rakyat yang berpendapatan terbatas.
Solusi justru menimbulkan masalah baru, yaitu dengan menaikan tarif BPJS. Tentu rakyat ikut meradang.
Efektifkah kebijakan yang menambah berat beban rakyat ini ? Entah, tapi memang kita sedang menikmati rezim yang tak berperasaan.
Kemudian soal Ade Armando, Abu Janda, atau Sukmawati terus mengusik umat dengan omongan seenaknya yang dinilai menodai agama.
Laporan hukum dilakukan, tetapi tak ada langkah signifikan dari aparat yang semestinya didukung oleh Pemerintah.
Ada pembiaran mempermainkan agama. Ulama dan umat kesal melihat pembiaran seperti ini.
Perasaan umat Islam terus diusik.
Rupanya kehidupan berbangsa dan bernegara berada dalam fase “jengkel dan mengurut dada” menghadapi rezim yang tak berperasaan.
Ma’ruf Amien ulama yang berubah menjadi umaro juga mulai macam macam. Setelah mengubah sikap soal BPJS, berubah juga soal Ahok sumber masalah yang perlu “dihabisi” menjadi bagian tim penempatan Ahok di Komut Pertamina. Lalu yang terakhir meminta Pemda dan Polisi mengawasi Masjid soal konten “kebencian”.
Rupanya ia juga hilang perasaan keumatannya. Ada yang menyebut “mantan” kyai segala dalam merespons perubahan sikap setelah masuk menjadi bagian “inti” dari rezim Jokowi.
Kritik publik pada Menteri Agama yang jago “semprot”, Menteri Dikbud yang pakar “ojek”, Menko PMK soal sertifikat pra nikah, Menko Maritim dan Investasi yang “serba Cina” atau kepada Menteri-Menteri yang lain, nampaknya tak akan digubris.
Presiden pun menafikan hukum dengan bahasa mengecam Indonesia sebagai “Negara Peraturan” lalu mengenalkan “Omnibus Law” untuk menerobos banyak aturan.
Perjalanan demokrasi di daerah daerah yang bersusah payah telah membuat Peraturan Daerah akan segera dibuldozer dengan dingin. Rezim memang tak berperasaan.
Ditambah lagi dengan keinginan jabatan tiga periode, padahal periode kedua saja baru mulai. Sementara periode pertama yang lalu sudah bikin banyak gaduh dan keruwetan.
Ketika perasaan keumatan dan kerakyatan diabaikan dan yang ada adalah perasaan kekuasaan sendiri (otokrasi) atau kelompok (oligarkhi) maka Indonesia sebagai negara demokrasi benar benar sedang terancam.
Ideologi dan Konstitusi dimanipulasi.
Kekayaan dan kekuasaan pun telah habis dibagi bagikan kepada “teman-teman” sendiri.
L’etat c’est moi–Negara adalah Aku!
Oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik, Tinggal di Bandung