DALAM konteks demokrasi substantif posisi warga negara diberi ruang bebas untuk mengekspresikan hak-hak politiknya. Setiap warga negara apapun latar belakang sosialnya memiliki hak politik yang sama.
Sebagai warga negara, Ahok memiliki hak politik yang sama dengan warga negara lainnya, baik untuk memilih maupun hak untuk dipilih. Kedua hak tersebut dijamin oleh UUD 1945 maupun oleh Undang-Undang Pemilihan Umum.
Posisi Ahok dalam kontestasi pilkada DKI sesungguhnya sedang menggunakan hak politiknya untuk dipilih menjadi calon gubernur yang dicalonkan sejumlah partai politik.
Karenanya dalam konteks demokrasi substantif, posisikan Ahok pada posisi hak politik itu, tidak perlu direspon secara subyektif.
Keberanian Ahok untuk mencalonkan diri sebagai calon gubernur menunjukan kemampuan dasar adaptasi politik Ahok. Ahok nampaknya menikmati hak politiknya untuk dicalonkan.
Tetapi demokrasi substantif akan tumbuh sehat jika memenuhi minimal tiga syarat utama. Pertama, mayoritas warga menjadi pemilih rasional. Kedua, matangnya rasionalitas elit politik. Ketiga, sistem politik yang efektif.
Banyaknya jumlah pemilih rasional dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tingkat pendidikan warga.
Rasionalitas elit politik yang matang dipengaruhi oleh pengalaman dan kemampuanya beradaptasi dengan situasi sosial dan politik.
Sementara sistem politik efektif ditentukan oleh sejauhmana sistem menghadirkan rezim yang mampu secara sistematis dan terencana mencapai tujuan untuk mensejahterakan rakyatnya.
Apakah mayoritas warga Jakarta pemilih rasional? Kalau mayoritas pemilih rasional mengapa ada demo yang dinilai sejumlah pihak bernuansa SARA? Data pemilu DKI dari tahun 1999, 2004, 2009, sampai 2014 menunjukan bahwa mayoritas pemilih di Jakarta adalah pemilih rasional.
Pemilih rasional adalah pemilih dengan latar belakang pendidikan yang cukup tinggi. Sebagaimana diketahui bahwa di Jakarta sebanyak 51,98 % warga Jakarta adalah lulusan SMA dan perguruan tinggi (BPS DKI Jakarta, 2015).
Pemilih rasional juga memilih karena mempertimbangkan sejumlah argumentasi sebelum menjatuhkan pilihan. Buktinya tidak ada partai politik di Jakarta menang Pemilu berturut-turut.
Berdasarkan sumber KPUD DKI Jakarta bisa ditemukan data bahwa pada pemilu 1999 PDI Perjuangan menang dengan kurang lebih 1,8 juta suara. Tetapi pada Pemilu 2004 hanya dapat sekitar 600 ribuan suara, dan pada Pemilu 2014 PDIP mendapat kurang lebih 1.3 juta suara.
Begitu juga PKS memperoleh suara 1 juta lebih pada Pemilu 1999, tiba-tiba pada Pemilu 2009 memperoleh suara 600 ribuan dan pada Pemilu 2014 memperoleh suara 500 ribuan. Begitu juga Partai Demokrat pada pemilu 2009 memperoleh suara 1,2 juta suara tetapi pada pemilu 2014 hanya mencapai 300 ribuan suara.
Data mudah bergesernya pilihan warga Jakarta pada setiap Prmilu tersebut secara umum menunjukan betapa rasionalnya pemilih di Jakarta.
Dengan mencermati data betapa rasionalnya pemilih di Jakarta, maka demo yang dinilai bernuansa SARA pada jumat 14 Oktober lalu yang diikuti puluhan ribu warga muslim Jakarta tersebut terjadi bukan karena subyektifitas (emosi) warga tetapi lebih karena elit politik Jakarta (Ahok) tidak memenuhi syarat demokrasi substantif yang kedua (rasionalitas elit politik yang matang).
Rasionalitas politik Ahok belum matang terutama pada kemampuanya dalam beradaptasi dengan situasi sosial dan politik. Berpindah-pindah partai politik, berubah dari calon independen ke calon partai, lamanya mendapat dukungan pencalonan dari PDIP, adalah fakta yang menunjukan lemahnya kemampuan adaptasi politik Ahok.
Hal itu diperparah dengan buruknya kemampuan komunikasi publik Ahok. Buruknya kemampuan komunikasi publik Ahok disebabkan karena lemahnya kemampuan adaptasi sosialnya. Tentu kemampuan adaptasi sosial mempengaruhi kemampuan adaptasi politiknya.
Terdengar kasar dalam berbicara, salah bicara soal Almaidah 51 dan menggusur warga miskin dengan melibatkan militer adalah contoh lain dari lemahnya kemampuan adaptasi sosial Ahok.
Lemahnya kemampuan adaptasi ini mungkin bisa juga disebabkan karena faktor internal pribadi Ahok yang cenderung kurang mau mendengar orang-orang yang mengingatkanya.
Saya kira kasus hukum yang menimpa Ahok dalam perkara ucapanya tentang Almaidah ayat 51 seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi Ahok untuk melakukan semacam evaluasii mendasar tentang dirinya.
Jika Ahok tidak melakukan evaluasi mendasar terkait kemampuan adaptasinya maka Ahok akan terus menjadi pemicu resistensi publik, kota Jakarta akan terus hiruk-pikuk. Pertanyaanya adalah mungkinkah Ahok berubah?
Oleh Ubedilah Badrun, Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ)