KedaiPena.Com – Penulis Wenri Wanhar meluncurkan sebuah novel berjudul ‘Lelaki Di Tengah Hujan’. Novel ini sendiri berisi kisah-kisah di balik perjuangan untuk mencapai reformasi di tahun 98.
Wenri Wanhar dalam musyawarah buku di Kantor LBH Pers, Kalibata Timur, Jakarta Selatan, mengatakan bahwa novel itu berisi kisah-kisah perlawanan kaum yang berkesadaran penuh.
“Kaum tersebut meyakini hal yang diyakininya benar dan memperjuangkan itu untuk menuju kemenangan. Garisnya itu,” ujar Wenri, ditulis Jumat (17/5/2019).
Novel ini sendiri, lanjut pria yang bekerja sebagai Jurnalis ini, juga dibuka dengan sebuah makna azan yang dipahami sebagai sebuah ‘mantra kaum tertindas’.
“Mantra kaum tertindas, pada masa lahirnya masa azan itu, bilal. Mantra kaum tertindas menghimpun kekuatan untuk menuju kemenangan,” papar Wenri.
Ia melanjutkan bahwa novel itu mulai ia tulis pada masa-masa kuliah di sekitar tahun 1999. Ia memulai menulis cerita tersebut dalam sebuah buku catatan.
“Waktu menulis itu juga belum terbayang jadi novel. Gue hanya mencatat aja, menjaga ingatan. Terus kisah itu gw tulis di buku tulis kuliah gue, dan kata- kata pertamanya yang gue tulis itu, dia dulu awalnya berupa puisi,” jelas Wenri.
“Dulu kan gue kuliah sambil ngamen. Jadi gue dulu sambil kuliah itu tahun 1999, gue sambil ngamen di Jakarta sini. Ngamen itu ngamen puisi, bawa suling baca puisi,” jelas Wenri.
Wenri juga melanjutkan dalam prosesnya menulis novel, dirinya pun rela menyambangi sejumlah tempat serta saksi hidup terjadinya peristiwa 98.
Wenri bahkan sempat datang ke Solo tempat dimana Wiji Tukul tinggal untuk mendalami cerita tersebut dalam novelnya.
“Selama ini kita mengenal syairnya, kita mendengar namanya, tapi bagaimana kisahnya. Ya gue ke Solo cari kekuarganya, jumpa sama keluarganya, waktu itu anaknya masih kecil. Wawancara, ya ada proses, tidak langsung gampang-gampang saja wawancaranya,” papar Wenri.
Dengan kondisi demikian, Wenri berharap, agar buku ini dapat menyampaikan pemikiranya terkait sejarah reformasi di tahun 1998 kepada generasi penerus bangsa.
“Karena dalam sejarah itu ada pengalaman. Kalau dalam sejarah itu ada hal-hal yang tidak baik ya jangan diulangi. Kalau ada yang baik ya ayo diteruskan,” imbuh Wenri.
Ia pun menekankan bahwa sejarah harus dapat menjadi sebuah pelajaran berharga untuk melangkah ke depan. Hal tersebut lantaran selama ini ada yang menarasikan sejarah untuk memercikan dendam.
“Karena hemat saya sejarah ada untuk dipelajari sejernih-jernihnya, di dudukan sebaik-baiknya, kemudian setelah baca sejarah ya sudah memaafkan. Karena kita mau mengedepankan persatuan untuk melangkah maju ke depan” papar Wenri.
Sebagai informasi, novel ini juga menceritakan sebuah narasi pinggiran yang tak banyak diketahui dari narasi besar perjuangan 98 selama ini. Kisah sejarah perjuangan para pemuda di sini dibalut dengan sajian fiksi roman dengan tokoh utama Bujang Parewa.
Parewa merupakan seorang mahasiswa UNS yang mulai sadar akan ketertindasannya saat ia mulai tergabung dalam kegiatan pers mahasiswa hingga tercebur dalam konsolidasi gerakan mahasiswa.
Berbagai kisah mulai dari peta politik bangsa saat itu, sejarah aktivisme kaum muda yang bergerilya dari kota ke kota, hingga kisah-kisah asmara dan persahabatan semua terekam dalam novel ini sekaligus. Novel ini sendiri terbit perdana pada pertengahan Maret 2019
Laporan: Muhammad Hafidh