KedaiPena.Com- Anggota DPR RI Netty Prasetiyani Aher menilai terbitnya Permenaker No 5/2023 tentang pengupahan yang membolehkan perusahaan ekspor memotong gaji karyawan hingga 25 persen bertentangan dengan Undang-Undang (UU).
Netty sapaanya menegaskan, bahwa pekerja atau buruh selalu menjadi objek yang terkena dampak ketika pemerintah membuat peraturan menyikapi situasi ekonomi.
“Pekerja atau buruh selalu saja menjadi objek yang terkena dampak ketika pemerintah membuat peraturan untuk menyikapi situasi ekonomi. Beberapa waktu lalu upah pekerja terkena penyesuaian karena Covid-19, sekarang ada kebijakan pemotongan karena alasan perubahan ekonomi global,” kata Netty, Kamis,(30/3/2023).
“Padahal dalam hubungan kerja, golongan pekerja seringkali berada dalam posisi paling rentan. Harusnya golongan ini mendapat perhatian dan perlindungan pemerintah, bukan jadi objek penderita,” kata Netty.
Dalam Permenaker No 5/2023 disebutkan bahwa perusahaan berorientasi ekspor bakal bisa memotong gaji karyawan hingga 25 persen sebagai tindak lanjut perubahan ekonomi global dengan ditandai turunnya permintaan ekspor dari AS dan Eropa.
“Kenapa fokus aturan yang dibuat pemerintah selalu pada pengurangan ongkos produksi, dalam hal ini upah pekerja? Jika Permenaker bisa membatasi upah pekerja 75 persen, dapatkah pemerintah membuat aturan yang membatasi keuntungan perusahaan?” tanya Netty retoris.
Pada sisi lain, menurut Netty, Permenaker No 5/2023 jelas melanggar Pasal 90 jo Pasal 185 UU No. 13/2003 dan Pasal 88E jo Pasal 185 UU Cipta Kerja.
“Permenaker ini melanggar undang-undang dan peraturan pemerintah yang telah ditandatangani Presiden, di mana kebijakan Presiden hanya ada upah minimum. Bukankah ini artinya Menaker membuat peraturan yang isinya bertentangan dengan peraturan di atasnya?” tanya Netty.
“Dalam kondisi ekonomi seperti sekarang ini, kebijakan tersebut tentu berdampak buruk karena merugikan pekerja dan mencederai rasa keadilan bagi pekerja,” katanya.
Selain itu, kata Netty, terbitnya Permenaker No 5/2023 mengisyaratkan seolah pemerintah lepas tangan.
“Pemerintah seolah lepas tangan begitu saja. Padahal ada banyak cara yang bisa dilakukan. Kalau mau mengurangi biaya produksi perusahaan, pemerintah dapat mengurangi bea masuk bahan impor untuk produksi dan memberikan insentif pajak. Jangan ciptakan situasi yang dapat ditafsiri seolah pemerintah sengaja membuat perusahaan dan pekerja ‘berselisih’,” kata Netty.
Menurutnya, ketentuan pengupahan 75 persen baru bisa diterapkan jika adanya kesepakatan antara perusahaan dan pekerja menjadi pasal karet yang berpotensi jadi bahan perselisihan.
“Kalau pekerja tidak sepakat, bagaimana?,” tandasnya.
Laporan: Muhammad Rafik