KedaiPena.com – Persinggungan antara satwa dan manusia, yang acap kali berujung pada konflik, seharusnya tak perlu terjadi jika manusia dapat memahami bahwa Bumi ini bukan hanya milik manusia belaka. Tapi ada makhluk lain juga, yang perlu diperhatikan hak hidupnya.
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Fraksi PKB, Anggia Ermarini menyatakan seharusnya manusia bisa hidup selaras dengan satwa.
“Tidak bisa kita salahkan satwanya, karena mereka butuh habitat. Dan manusia memiliki karunia akal cerdas dan pikiran untuk mengatur teknologi. Harusnya, digunakan secara maksimal untuk memberikan penjaminan kepada makhluk lainnya, agar makhluk lain tersebut bisa hidup dengan baik di habitatnya,” kata Anggia, Minggu (29/1/2023).
Ia menyebutkan kejadian konflik antara manusia dengan satwa liar acap kali terjadi.
“Kalau di Sumatera, yang paling sering persinggungan terjadi adalah satwa Gajah dan Harimau. Di tempat lain, mungkin ada monyet. Atau satwa liar lainnya,” ucapnya.
Karena itu, ia menghimbau semua komponen masyarakat dan pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan habitat satwa dan daerah manusia beraktivitas.
“Jadi duduk bersama. Pemerintah memastikan adanya habitat yang dapat dimiliki oleh para satwa tersebut, yang kemudian menjadi kebijakan. Masyarakat terlibat secara aktif untuk menjaga wilayah dan habitat itu secara langsung. Karena pemerintah, atau kita sebut salah satu instansinya, misal BKSDA dari KLHK, itu kan tidak bisa day to day ada disana. Yang disana siapa? Ya masyarakat,” ucapnya lagi.
Anggia menegaskan bahwa satwa itu hanya membutuhkan habitat untuk hidup dan makanan.
“Mereka tidak butuh mobil, tidak butuh yang lainnya. Hanya makanan. Kalau mereka keluar dari habitatnya, artinya di habitatnya tidak ada lagi makanan. Sehingga mereka harus keluar. Jadi, manusia lah yang harus memikirkan, bagaimana caranya agar para satwa itu tak perlu keluar dari habitatnya,” kata politikus PKB ini.
Ia menceritakan salah satu contoh, adalah monyet di wilayah Cagar Alam Kediri. Disana dilakukan penanaman buah Gondang untuk konsumsi monyet.
“Ditanamnya banyak, jadi monyet itu nikmat berada di habitatnya. Ada buffer zone juga,” ungkapnya.
Ditambah, lanjutnya, sensitifisasi masyarakat terkait keberadaan para satwa ini juga perlu dibangun.
“Adanya edukasi kepada masyarakat, membangun rasa sensitif mereka pada satwa menjadi bagian penting untuk memastikan tidak adanya konflik. Karena itu, kami sedang merevisi UU 590 tentang KSDAE, untuk lebih meningkatkan keterlibatan masyarakat,” ungkapnya lagi.
Terkait pembangunan, misalnya terkait pariwisata, ia menyatakan sudah seharusnya dapat dilakukan tanpa merusak habitat para satwa ataupun tumbuhan yang dilindungi.
“Yang penting adalah bagaimana membangun dengan mempertimbangkan aspek habitat satwa tersebut,” kata Anggia.
Ia mencontohkan bagaimana di salah satu wilayah Sumatera Barat, ada lokasi wisata yang terdapat monyet dalam jumlah banyak tapi tidak terjadi konflik.
“Jadi bagaimana treatment dari manusia-nya. Manusianya yang harus diajarkan, how to treat them. Karena hewan itu tidak bisa berfikir seperti manusia. Manusia lah yang harus mencari cara. Agar pembangunan tetap berjalan, tanpa menghancurkan atau mengambil alih habitat mereka. Ilmunya pasti ada. Yang penting, manusia mau mencari caranya,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa