KedaiPena.Com – Menteri BUMN Erick Thohir diminta tidak hanya sebatas berhenti diomongan saja terkait kondisi carut marut yang terjadi di PTPN termasuk soal membengkaknya utang saat ini. Sebagai seorang pemimpin mestinya melakukan upaya perbaikan yang konkret dan terkonsolidasi dengan baik.
“Jangan hanya ‘NATO’ lah (No Action Talk Only) buktikan donk dengan solusi yang konkret mengatasi tingginya utang di PTPN itu. Ada utang malah bikin holding, ada utang malah sibuk bicara di media. Persoalan hanya bisa diurai dengan visi yang kuat bukan dengan omongan yang belum tentu bisa menyelesaikan persoalan mendasarnya,” sindir Anggota Komisi VI DPR RI Nyoman Patra, Kamis, (30/9/2021).
Parta begitu ia disapa menilai, membengkaknya utang di PTPN karena tidak ada sistem pengawasan yang memadai.
Selain itu, menurutnya, biaya operasional di PTPN tinggi tapi hasil sawitnya kalah dengan perusahaan swasta. Hal inilah yang menyebabkan PTPN kalah bersaing dengan swasta.
“Kementerian BUMN sebagai leadernya mestinya memperbaiki kinerja PTPN adalah sebuah keharusan. Jangan selalu menyalahkan masa lalu karena jadi menteri BUMN bukan sebulan dua bulan saya kira, sudah berjalan dua tahun kok,” tandasnya.
Parta juga menyarankan agar Menteri BUMN menjauhkan kepentingan-kepentingan politis dan pragmatis yang jadi beban BUMN selama ini.
“Jajaran board direction misalnya harus diisi orang-orang mumpuni dan berjiwa merah putih bukan diisi orang-orang berlatarbelakang kepentingan pragmatis. BUMN harus diurus orang-orang bermental anti Korupsi bukan mental pecundang dan pemburu rente,” tegasnya.
Diketahui, dalam sebuah acara, Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan, PT Perkebunan Nusantara (Persero) atau PTPN menanggung utang US$ 3,1 miliar atau Rp 47 triliun. Kondisi ini berbanding terbalik dengan industri perkebunan sawit milik swasta yang justru untung.
“Yang luar biasa juga di PTPN ini utang Rp 47 triliun. Padahal yang namanya industri kebun kelapa sawit swasta untung. Ini malah utang besar,” katanya, dalam acara Talkshow Bangkit Bareng, Selasa (28/9/2021).
Laporan: Muhammad Hafidh