KedaiPena.com – Persoalan klasik dari penerbitan produk hukum atau regulasi atau aturan adalah adanya pihak yang menyetujui dan menolak. Termasuk juga, Perppu Cipta Kerja. Dan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan perbedaan pendapat atas terbitnya Perppu Cipta Kerja, hanyalah duduk bersama untuk membahas dan membicarakan hal tersebut.
Anggota Komisi II DPR RI, Fraksi Nasdem, Aminurokhman menyatakan dalam suatu produk hukum atau produk pemerintahan, pasti akan ada pihak yang pro dan kontra.
“Saya melihat Perppu Cipta Kerja ini diterbitkan sebagai tindak lanjut Putusan MK. Karena mekanisme perbaikan UU Cipta Kerja menggunakan mekanisme normatif, dengan masuk prolegnas dan seterusnya, itu membutuhkan waktu yang cukup lama. Sementara, sesuai Putusan MK itu selambat-lambatnya dua tahun sejak dibacakan,” kata Aminurokhman, Rabu (25/1/2023).
Ia menyatakan, jika merujuk pada aspek tersebut, maka Perppu Cipta Kerja ini merupakan wewenang pemerintah.
“Tinggal nanti pembahasan lanjutan. Perppu ini kan dibawa lagi ke DPR. Dikaji lagi secara komprehensif, apa ada hal yang perlu disinkronkan dengan aspirasi yang berkembang, akan dimatangkan. Secara formal, pemerintah sudah memenuhi kewajiban untuk menindaklanjuti Putusan MK,” ucapnya.
Terkait substansi yang beredar, Aminurokhman menyatakan bisa disampaikan oleh para pemangku kepentingan saat dilakukan pembahasan di DPR.
“Jika presiden mengirimkan surpres-nya ke DPR, maka akan diagendakan pembahasan. Karena Perppu ini terap membutuhkan persetujuan dari DPR,” ucapnya lagi.
Perbedaan pendapat terkait Perppu Cipta Kerja ini, lanjutnya, merupakan suatu hal wajar.
“Karena kan punya sudut pandang berbeda. Misal dari substansi tenaga kerja, kalau dari perusahaan, pengennya begini. Kalau dari pekerja inginnya begitu. Beda sudut pandangnya. Masing-masing ingin aspirasi dapat terformulasi secara bagus, terakomodir dengan baik, dirumuskan dalam pasal,” kata Aminurokhman.
Sehingga, untuk menyelesaikan hal ini, perlu diadakan suatu kesempatan untuk duduk bersama, menyelesaikan perbedaan sudut pandang ini.
“Misalnya masalah UMR. Dari pekerja, melihatnya dari sisi kebutuhan dan kesejahteraan pekerja. Dari sisi pengusaha, kalau UMR terlalu tinggi, akan mengganggu produktivitas usaha. Kalau perusahaan tidak mampu menetapkan besaran, nanyinya perusahaan tidak jalan, akhirnya PHK. Ini kan semakin parah,” ujarnya.
Ia sendiri menyatakan tidak tahu perihal surpres tersebut sudah dikirimkan atau belum ke DPR RI.
“Yang tahu pimpinan dewan. Mungkin, ada di masa persidangan atau paripurna berikut. Tunggu saja dari pimpinan dewan. Saya menunggu sesuai mekanisme saja. Yang pasti hingga saat ini belum ada agendanya,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa