KedaiPena.Com – Anggota Komisi I DPR RI, Sukamta mengingatkan peran pemerintah dalam menghadapi pasukan siber dalam memanipulasi persepsi publik disejumlah narasi kebijakan pemerintah.
Hal itu disampaikan Sukamta sapaanya merespon Penelitian LP3ES, Universitas Diponegoro, Universitas Islam Indonesia, Drone Emprit; University of Amsterdam dan KITLV Leiden yang dipublikasikan pada 2021.
Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa pasukan siber (cyber troop) berperan memanipulasi persepsi publik dalam sejumlah narasi kebijakan pemerintah. Hal ini dinilai dapat mengancam demokrasi.
“Pasukan siber ini memanfaatkan ke-anoniman yang sangat dimungkinkan di internet. Akun-akun fiktif di media sosial bisa dibuat dan susah dilacak serta divalidasi identitasnya. Ini realitas yang tidak bisa dihindari,” kata Sukamta, Kamis, (4/11/2021).
“Sayangnya, yang disebarkan oleh pasukan siber itu justru disinformasi. Disinilah peran pentingnya diseminasi informasi yang benar sebagai kontra narasi,” tambah Sukamta.
Wakil Ketua Fraksi PKS ini menjelaskan, pemerintah dalam hal ini Kominfo harus memerankan fungsi komunikasinya dengan baik dan transparan. Kominfo juga harus seimbang dengan peran informatikanya.
“Kominfo harus bisa mengomunikasikan kebijakan publik ke masyarakat luas. Jangan sampai komunikasi publik yang buruk memunculkan dugaan-dugaan di benak masyarakat yang pada akhirnya masyarakat punya kesimpulan sendiri, yang sering kali menjadi hoax,” tegas Sukamta.
Sukamta pun menyayangkan, jika pemerintah menindak masyarakat yang dianggap penyebar hoax tadi. Padahal bisa jadi sumber hoax pemerintah sendiri yang disebabkan komunikasi publik yang buruk.
Oleh sebab itu, kata doktor lulusan Inggris ini, Kominfo harus hadir melakukan kontra narasi. Bukan menggunakan anggaran negara untuk membuat buzzer untuk menyebarkan disinformasi tadi.
“Atau misalnya dengan merekrut influencer berbiaya tinggi untuk membentuk opini masyarakat dalam hal politik, ini tidak etis. Anggaran yang digunakan cukup besar, sehingga harus berhati-hati agar tidak terjadi pemborosan anggaran,” tutur Sukamta.
Sukamta menegaskan, jika kehadiran pasukan siber ini memang merepotkan lantaran entitas yang sulit dilacak dan diketahui identitasnya.
“Apalagi sekarang pasukan siber tidak hanya user manusia dan bot, tapi juga bisa saja robot. Ke depan robot dengan artificial inteligence, logika algoritma, otomatisasi, bisa “mandiri” tanpa kendali manusia lagi. Ini lebih rumit dan repot lagi. Contoh terbaru misalnya tempo hari di bidang forex dan robot trading, ada kasus kesalahan yang dibuat oleh robot trading mengakibatkan para investor terkena margin call massal, yang intinya uang investor raib,” tutur Sukamta.
Dengan demikian Sukamta melanjutkan, cara yang perlu dilakukan tentu dengan membatasi ruang gerak pasukan siber. Tapi ini harus dibarengi dengan imunitas masyarakat.
Sukamta mengingatkan, pentingnya digital literacy terhadap masyarakat, agar mereka bisa memilah mana konten yang positif, sehat dan valid, dengan konten yang negatif, hoax, dan sebagainya.
Menurut Sukamta, jika digital literacy masyarakat tinggi, tentu konten-konten disinformasi akan terminimalisasi karena kurang diminati.
“Pada akhirnya, jika kita melihat gambaran dan alur besarnya, bisa saja kehadiran pasukan siber tetap memberi dampak positif untuk demokrasi ke depannya. Kita belum tahu akhir dan ujung dari semua ini kan? Kita masih dalam proses. Sisi positif pasukan siber bisa sebagai pemantik dan agitator diskusi dan perdebatan. Ini proses pendewasaan,” papar Sukamta.
Sukamta juga memandang, pada akhirnya masyarakat akan sampai pada titik jenuh, yang tidak mau terlalu ribut-ribut di dunia maya.
“Sikap bijak dan saling menghargai yang terbentuk akhirnya. Kritis namun tetap konstruktif. Itu demokrasi sejati yang kita idamkan,” tandas Legislator dari Daerah Istimewa Yogyakarta ini.
Laporan: Muhammad Hafidh