KedaiPena.Com- Anggota Komisi I DPR RI Fraksi Partai Demokrat (FPD) Anton Sukartono Suratto mengungkapkan pernah meminta Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI pimpinan Prabowo Subianto untuk mempertimbangkan pembelian Mirage 2000-5 bekas dari Qatar sejumlah 12 unit.
Anton begitu ia disapa bercerita bahwa pada tahun 2022 pernah meminta agar Kemenhan RI yang dipimpin Prabowo Subianto dapat merujuk Undang-Undang (UU) nomor 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan sebelum membeli jet tempur dari Qatar tersebut.
“Pada tahun 2022, saya meminta Kemhan untuk dipertimbangkan terkait rencana pembelian mirage tersebut agar merujuk pada UU nomor 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, khususnya pada Pasal 43 Ayat 5 tentang Indhan (industri pertahanan) yang mewajibkan pembelian alutsista menyertakan imbal dagang, kandungan offset sebesar 85% dari nilai kontrak pengadaan,” cerita Anton, Jumat,(27/6/2023).
Atas kondisi itu, Anton berharap, Kementerian Pertahanan RI dapat memberikan penjelasan soal pembelian jet tempur dari Qatar tersebut. Anton menegaskan, Kementerian Pertahanan RI harus dapat menjelaskan persyaratan pada UU nomor 16 tahun 2012 terkait kandungan lokal dan alih teknologi yang lebih dikenal dengan nama program offset dalam jet tersebut.
“Pasalnya armada Mirage 2000-5 tersebut mulai dipensiunkan oleh angkatan udara Qatar (QEAF) sejak November 2021 setelah membeli 36 Rafale melalui kontrak di tahun 2015 dan 2017,” jelas Anton.
Anton turut menagih penjelasan Kementerian Pertahanan RI soal bunyi perjanjian offset yang dibuat sebelum proses pengadaan dan bagian dalam kontrak dalam pembelian jet tempur tersebut. Anton bertanya, apakah industri pertahanan RI hanya menerima manfaat kerjasama sebatas yaitu memelihara dan memperbaiki.
“Pemerintah harus dapat menjelaskan juga, Indonesia dapat manfaat apa dari belanja 734,53 juta dolar atau hampir 11 Triliun pembelian mirage 2000-5 yang berasal dari pinjaman LN,” tegas Anton.
Meski demikian, Anton mengaku memahami, pembelian mirage 200-5 itu sebagai ajang latihan pilot AU RI sebelum mereka mengawaki pesawat tempur baru seperti unit Dassault Rafale. Pasalnya, tegas Anton, selama ini belum pernah ada pilot dari AU RI yang mengoperasikan pesawat buatan Prancis.
“Namun juga harus jadi perhatian dari kemenhan terkait maintenace pesawat mirage 2000-5 ex Qatar karena produksi mirage 2000 sdh tutup di tahun 2007. Jangan sampai Support Service (3 Years), Infrastructure, dan Weaponary yang merupakan bagian dari perjanjian pembelian tersebut nantinya melalui sistem kanibalisme walaupun dari penjelasan Kemenhan menyebutkan pesawat mirage tersebut dibeli dengan kondisi jam terbang rendah dan layak pakai 10-15 tahun ke depan,”papar Anton.
Anton juga menerangkan, perlu adanya penjelasan dari Dassault Aviation dari Prancis selaku pabrikan mirage 2000 terkait hal tersebut. Anton menegaskan, hal ini termasuk soal Mirage 2000-5 dan Dassault Rafale memiliki teknologi kompatibel.
“Setelah kontrak pembelian mirage 2000-5 ex Qatar, Indonesia merencanakan pembelian mirage 2000-9 ex UEA. Sesulit itukah negosiasi Indonesia untuk membeli pesawat tempur benar-benar baru bukan ex pakai. Kemenhan harus mempertimbangkan manfaat jangka panjang yang didapat oleh Indonesia nantinya karena pembelian tersebut kemungkinan besar menggunakan pinjaman luar negeri,” ujar Anton.
Anton berharap, agar kedepan kerjasama antara pelaksanaan pengadaan dan industri pertahanan yang difasilitasi oleh pemangku kebijakan dengan dibantu oleh pemerintah tentu menjadi kunci utama bagi keberhasilan pelaksanaan offset dan kandungan lokal.
“Setau saya Indonesia walau tanpa regulasi, menerapkan mekanisme offset pada hampir semua proyek bantuan luar negeri, misalnya, proyek baja Trikora tahun 60-an, pembangunan kilang minyak Pertamina, dan pengadaan pesawat tempur F-16,” beber Anton.
Anton menegaskan, UU Nomor 16 Tahun 2012 mempersyaratkan besaran offset dan kandungan lokal dalam setiap pengadaan alutsista produk luar negeri.
Ia menekankan, UU itu sesungguhnya merupakan peluang besar yang harus dimanfaatkan semua pihak terlibat dalam sistem pengadaan termasuk pelaku industri pertahanan.
“Sehingga, pelaksanaan kebijakan offset dan kandungan lokal dapat memberikan manfaat yang besar bagi kemajuan industri pertahanan dalam negeri,” tandas Anton.
Laporan: Tim Kedai Pena