KedaiPena.Com – Anggota Komisi VII DPR RI, Mukhtar Tompo mengungkapkan, permintaan PT Vale Indonesia Tbk yang ingin mengusulkan Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) harus ditolak.
Pasalnya, menurut Mukhtar, banyak permasalahan terkait PT Vale yang belum terselesaikan. Misalnya saja, dalam surat PT Vale kepada Pimpinan Komisi VII, PT Vale tidak melampirkan salinan Kontrak Karya (KK) tahun 1968, Salinan Modifikasi dan Perpanjangan KK tahun 1996, Salinan Peta Wilayah KK, dan Salinan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) PT Inco/Vale.
“Hal itu penting, agar DPR RI mampu menelaah konsistensi PT Vale menjalankan KK tersebut,” ungkap Mukhtar kepada wartawan di Jakarta, Kamis (6/10).
Dikatakan, PT Vale juga tidak melampirkan jawaban atau sikap yang diambil oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KemenLHK) saat surat tersebut diajukan pada tahun 2008 silam. Padahal, apakah MenLHK mengizinkan dan memberi sejumlah catatan kepada PT Vale atau tidak penting untuk diketahui
“Saya juga mempertanyakan, mengapa rekomendasi Bupati Luwu Timur tahun 2012 dan rekomendasi Gubernur Sulsel tahun 2013 justru muncul belakangan? Padahal pengajuan izin ke Kementerian Kehutanan telah dilakukan sejak tahun 2008? Apakah ini terkait dengan permintaan Kementerian Kehutanan saat itu, atau upaya ‘menekan’ Kementerian Kehutanan dengan membuat tekanan dari arus bawah?” ujarnya.
Dalam surat PT Vale tersebut, beber Mukhtar, tertera bahwa IPPKH diperlukan agar perusahaan dapat memberikan kontribusi finansial yang cukup signifikan, antara lain dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kehutanan kepada negara. Namun, PT Vale tidak memberikan rincian kontribusi yang telah diberikan kepada Indonesia saat ini, termasuk telaah atas potensi pemasukan Indonesia jika IPPKH diberikan.
“Kami mendapatkan laporan masyarakat, bahwa sejak 2 Mei 2011, PT Vale telah dilaporkan oleh P3MIB (Persatuan Pemuda Pelajar Mahasiswa Indonesia Bungku) ke Polres Morowali. Perusahaan itu dilaporkan karena melakukan pembukaan jalan di kawasan hutan lindung sepanjang 28 km, membuat jaringan pengelolaan limbah cair, membuat penampungan tanah hasil test pit, serta membangun base camp dan infrastruktur lainnya. Seluruh kegiatan yang dilakukan PT Vale berada pada kawasan hutan dengan fungsi lindung. Padahal, bukankah PT Vale belum mendapatkan Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH)?” urainya.
Lebih jauh Mukhtar menuturkan, limbah hasil eksploitasi penambangan itu menyebabkan banyak dampak buruk, seperti terjadinya pendangkalan pada muara sungai Timbalo akibat endapan material berwarna merah kecoklatan yang diduga kuat diakibatkan oleh pembuangan limbah industri secara langsung ke dasar sungai Malili, melalui sungai Timbalo, danau Mahalona, danau Towuti hingga ke dasar sungai Malili Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan. Limbah tersebut mengandung bahan beracun, bahkan amdal pun ikut terabaikan.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal (Ditjen) Planologi KemenLHK pada juni 2014 yang lalu, PT Vale diduga melakukan Survei Eksplorasi di area hutan konservasi seluas 3.303,46 HA dan Operasi produksi di area hutan lindung sebesar 70.498,79 HA di Luwu Timur.
PT Vale juga pernah di protes ratusan penduduk Desa Harapan dan Desa Pasi-pasi, Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur, atas dugaan pencemaran lingkungan yakni tumpahan minyak di Laut Lampia bahkan berujung pada sikap warga yang menutup pelabuhan Mangkasa Point, tempat pembongkaran minyak, akibat tumpahan minyak itu.
Alhasil, pendapatan mereka sebagai nelayan pencari ikan di laut tersebut menurun drastis karena laut tercemari minyak. Bukti terjadinya pencemaran lingkungan saat itu dapat dilihat dari kerusakan pantai akibat munculnya bau minyak, residu berwarna gelap yang terhampar dan gumpalan tar yang menghitam akibat penumpukan minyak di pantai yang sudah dipastikan dapat merusak biologis laut.
PT Vale yang dulu dikenal dengan nama PT. Inco juga menyalahi aturan KK, dimana warga menilai penetapan peta konsesi baru PT Vale itu menyerobot tanah milik masyarakat, termasuk tanah adat. terbitnya Peta Batas COW PT. Vale (Amandemen KK 2014) Sulawesi Selatan tidak pernah disosialisasikan sebelumnya dan tidak melalui Free, Prior and lnformed Cansent (FPIC) kepada Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal Kecamatan Nuha, Kecamatan Towuti dan Kecamatan Wasuponda Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Dengan ditetapkan Peta Batas COM PTVI tersebut sudah dipastikan akan menghilangkan akses dan mata pencaharian Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal khususnya disektor Pertanian (Persawahan), Perkebunan (Kakao t 6.610 H4 Lada t 455,45 Ha, Kelapa sawit sekitar 7 49 Ha, Peternakan (sapi) dan Perikanan karena semua lahan masyarakat masuk dalam Peta Batas COW PT Vale Indonesia.
Selain menyalahi KK, PT Vale juga belum mengantongi IPPKH yang merupakan pelanggaran atas UU Nomor 32, Tentang Lingkungan Hidup, amanat UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan dan Energi, dan melanggar UU Nomor 41 tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan dan UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H).
“Secara umum, PT Vale telah mengakibatkan kerusakan alam dan mengubah bentang alam serta mengakibatkan degradasi hutan yang seharusnya ditindak tegas pemerintah. Hal ini karena mengancam kelestarian lingkungan dan melanggar prinsip pembangunan berwawasan lingkungan yang diamanatkan UUD 1945 pasal 33 ayat (3), bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” ujar politisi partai Hanura ini.
Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut, lanjut Mukhtar, maka keinginan PT Vale Indonesia untuk mengajukan IPPKH harus ditolak. “Sebagai legislator, saya meminta penggambaran utuh seputar kekayaan alam yang telah dieksploitasi, jumlah keuntungan yang diperoleh dan pembagiannya dengan Pemerintah Indonesia, baik Pusat, Provinsi, maupun Kabupaten, kerusakan alam akibat penambangan, dan upaya rehabilitasi alam yang telah dilakukan oleh PT Vale Indonesia,” katanya menyudahi.
(Apit/ Dom)