KedaiPena.Com – Tokoh Nasional Rizal Ramli sangat menyayangkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji materi UU Pemilu terkait Presidential Trasehold (PT) atau ambang batas pencalonan presiden, yang diajukan oleh dirinya.
“Menyangkut dengan gugatan kami ke mahkamah konstitusi itu soal threshold 20% saya sebetulnya saya sedikit skeptis, karena Mahkamah Konstitusi banyak dalam putusan selama 2 tahun terakhir tidak bertindak betul-betul sebagai Mahkamah Konstitusi yaitu mahkamah yang mempertahankan konstitusi kita,” ucap Rizal Ramli di Jakarta, Rabu (20/1/2021).
Menurutnya, seharusnya MK mampu mempertahankan konstitusi negara Indonesia, bukan menjadikan fungsinya sebagai mahkamah kekuasaan, atau hanya mendengar maunya kekuasaan, membenarkan kekuasaan walaupun itu bertentangan dengan konstitusi.
“Dari awal saya sudah skeptis tetapi saya tidak mau praduga ya sudah kita jalankan saja prosesnya. Tetapi ternyata gugatan kami di tolak dengan alasan ‘legal standing” Rizal Ramli tidak cukup, tidak memadai sebagai penggugat. Ini betul-betul aneh karena sebelumnya 12 gugatan kepada MK tentang threshold dengan individu dan lembaga, 11 dari 12 gugatan itu di perkenankan dibahas, diadilan oleh MK,” tambahnya.
“Apalagi dengan alasan Rizal Ramli tidak di dukung oleh partai, ini betul-betul argumen yang tidak logik dan ngawur, karena partai itu menikmati threshold. Lantaran jika seseorang mau jadi bupati, gubernur termasuk presiden, partai menerima upeti dari calon-calon bupati, gubernur besar itu. Bupati bisa Rp40-60 miliar, Gubernur Rp100-300 miliar, justru partai politik tidak minat mengubah sistem ini karena ini sumber pendapatan ilegal mereka,” katanya.
“Loh kok bisa MK memutuskan legal standing saya karena tidak didukung oleh partai. Dan MK juga tidak baca sejarah tahun 2009 Rizal ramli didukung 9 partai untuk mencalonkan presiden meskipun waktu itu persentase belum memadai,” sambungnya.
Dirinya mengatakan dari skeptis sejak awalnya terbukti, dan dirinya menilai hakim-hakim konstitusi belum memiliki bobot intelektual yang memadai, lantaran minim membaca pengalaman-pengalaman negara lain.
“Akhirnya skeptis saya terbukti, memang hakim-hakim konstitusi ini bobot intelektual tidak memadai, kurang baca pengalaman di negara lain dan tidak betul-betul memahami demokrasi dan Konstitusi. Meraka itu takut jika saya di sidangkan dalam argumen kebanyakan argumen hakim konstitusi yang tidak berbasis ilmiah dan konstitusi ini akan kami kalahkan dengan mudah,” imbuhnya.
Tidak hanya itu, dirinya menjelaskan bahwa dirinya kerap menjadi saksi ahli saat persidangan mahkamah konstitusi terkait undang-undang migas dan lain-lain itu terus menang. Hal tersebut karena hakim-hakim tidak menguasai masalah yang sektoral.
“Padahal banyak hal-hal yang penting dibahas di sidang yang bisa membuka kejelasan. Akibat adanya sistem threshold 20% untuk ini, MK melakukan legalisasi terhadap politik uang dan kriminal dalam demokrasi Indonesia. Biasanya calon-calon harus menyewa partai dengan membayar,” jelasnya.
Laporan: Muhammad Lutfi