MENJALANKAN roda pemerintahan zaman sekarang itu ibarat menerbangkan pesawat modern. Hanya sekitar 20% kemampuan pilot yang diperlukan. Sebab sistem kendali di kokpit 80% bahkan bisa lebih, dikendalikan oleh komputer.
Karena itu pilot yang canggih adalah pilot yang memiliki intuisi dan keberpihakan kepada keselamatan penumpang (dalam pemerintahan berpihak kepada rakyat), serta mampu secara cepat membaca data yang dikirim perangkat elektronik ke panel di depannya.
Misalnya 2000 atau 3000 meter di depan ada gumpalan awan yang bisa membuat pesawat mengalami turbulensi, tentu pilot wajib menghindarinya, atau kalau hanya sekedar menimbulkan guncangan biasa, segera memberi tahu kru agar menjelaskannya kepada penumpang.
Tapi dalam membaca “cuaca” pemerintahan Joko Widodo tampaknya lebih percaya kepada pawang hujan dibandingkan signal-signal yang disampaikan seorang ahli yang telah mengkaji fakta, melakukan simulasi dan kemudian merangkai kesimpulan tentang tantangan apa yang ada di depan dan bagaimana cara mengatasinya.
Ilustrasi ini merujuk kepada apa yang selama ini disampaikan oleh ekonom senior kita DR Rizal Ramli, yang pikiran dan analisanya dipakai oleh PBB (dalam tim panel ekonomi) untuk mengatasi berbagai persoalan perekonomian di sejumlah negara berkembang.
Alih-alih mendengar dan mengikuti analisa dan saran-sarannya, mereka malah menyewa lembaga survei persepsi publik untuk membuat seolah semuanya baik-baik saja. Presentase kepuasan dan kepercayaan publik oleh lembaga survei pesanan itu kemudian dibuat terus naik.
Tidak Mau Belajar
Rezim Joko Widodo kelihatan tidak mau belajar dari kesalahan pemerintahan Suharto, yang pada awal 1997 mengabaikan analisa dan peringatan-peringatan yang disampaikan DR Rizal Ramli, yang mengingatkan akan ada krisis ekonomi di kawasan Asia Tenggara, dan berdampak luas untuk Indonesia.
Seperti juga Joko Widodo sekarang, Suharto melalui konsultan ekonominya (IMF dan Bank Dunia) waktu itu juga menyatakan ekonomi Indonesia baik-baik saja. Kata bule IMF: “Rakyat di kampung-kampung masih tersenyum ketika saya ketemu mereka saat jalan pagi…!”
Ketika krisis itu benar-benar datang, tak seorang pun mau bertanggungjawab. Rezim Suharto memang berakhir. Tapi akibat pemerintah abai, negara harus mengucurkan dana talangan (BLBI) ratusan triliun rupiah. Dampaknya terasa sampai detik ini. Karena pemerintah, melalui APBN, tiap tahun harus membayar rata-rata Rp 60 T hingga 20 tahun (2003-2033).
Jika ditotal uang negara yang digelontorkan, pinjaman dan bunganya, untuk membayar kesombongan pemerintah dan para konglomerat yang main patgulipat dengan penguasa, angkanya bisa mencapai lebih dari Rp 1.500 T.
Akan lebih fantastis lagi jika penurunan pertumbuhan ekonomi selama lebih dari 5 tahun sejak krisis, yang setiap 1% penurunan ekuivalen dengan Rp 1200-1400 T, maka kerugian rakyat Indonesia akibat pemerintah mengabaikan rambu-rambu yang disampaikan DR Rizal Ramli bisa mencapai lebih dari Rp 10.000 T.
Sebenarnya bukan hanya kerugian finansial yang dialami rakyat Indonesia. Tapi juga kerugian atas hilangnya hak untuk hidup sejahtera lebih cepat.
Sebab secara ekonomi-politik, orang-orang orde baru serta para konglomeratnya, tidak ada yang sungguh-sungguh merugi akibat krismon 1997. Lihat saja jenderal-jenderal orde baru seperti Wiranto, Luhut Panjaitan, Hendropriyono, tetap eksis di kekuasaan.
Mencari Penanggungjawab Krisis
Bila pemerintahan sekarang tidak mau belajar kepada pemerintahan sebelumnya, rakyat yang harus belajar pada masa lalu. Saat terjadi krisis (1997) tidak ada yang mau bertanggungjawab kecuali lengser dari kekuasaan, tapi dengan uang yang masih banyak di tangan, mereka bisa membeli kekuasaan (partai) politik, yang pada gilirannya dipakai untuk mencuri uang yang lebih banyak.
Sekarang, jika pemerintah terus mengabaikan peringatan dan jalan keluar yang ditawarkan DR Rizal Ramli, kemudian krisis benar-benar terjadi, bagaimana rakyat memperhitungkan kesalahan rezim yang mengabaikan tanda-tanda yang diberikan oleh ahlinya?
Kita tahu DR Rizal Ramli (dan tim ekonominya) bukan peramal yang mengandalkan intuisi indra ke-6 atau mantra-mantra. Ia membaca fakta (perkembangan perekomomian) di dalam dan di luar negeri, juga perilaku (kebijakan) pemerintah yang kemudian disimulasikan.
Sejumlah prediksinya sudah menemukan kebenarannya. Misalnya, prediksi kerugian besar pada maskapai penerbangan Garuda, PLN, bobolnya keuangan sejumlah korporasi milik negara (BUMN) maupun swasta, defisit anggaran berjalan, dll.
Dan yang terbaru, hutang gila-gilaan dengan tingkat bunga jor-joran dalam beberapa saat ke depan akan menciptakan gumpalan awan pekat raksasa yang bisa menibulkan turbulensi hebat yang guncangannya bisa berakibat politik yang sulit dibayangkan.
Mengingat bantalan ekonomi sekarang benar-benar bagaikan balon-balon yang mudah pecah. Sebagai perbandingan, pada 1997 bantalan ekonomi nasional, seperti UKM, pertanian, perkebunan, dan komoditas lainnya masih cukup kuat, bahkan meningkat karena memperoleh tambahan nilai melalui ekspor yang dibayar dengan USD.
Belum lagi kondisi sosial-politik hari ini yang penuh intrik, pameran kebencian antar-etnis dan antar-agama dan antar-kelompok politik (pemilu) yang menjijikan. Semua ini akan membuat guncangan terasa lebih dahsyat.
Harus ada kekuatan yang nyata untuk melakukan langkah-langkah politik agar bangsa ini terhindar dari turbulensi yang menggiriskan itu.
Oleh Adhie Massardi, Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB)