KedaiPena.Com – Pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia/World Bank (WB) pada 8-14 Oktober 2018, yang menggelontorkan dana triliunan rupiah sangat tidak tepat di tengah bencana alam yang melanda beberapa wilayah Indonesia.
Anggota Komisi XI Heri Gunawan memandang, lebih baik anggaran sebesar itu digunakan pemerintah untuk masyarakat di daerah-daerah yang terkena bencana alam karena lebih membutuhkan.
“Sebab itu, kami melihat anggaran yang dialokasikan untuk Annual Meeting IMF-World Bank, sebenarnya akan jauh lebih bermanfaat jika dialihkan untuk hal yang saat ini lebih prioritas. Seperti rehabilitasi Lombok, Donggala, atau hal-hal lain yang baik bagi masyarakat secara langsung,” kata Heri, ditulis Rabu (3/10/2018).
Selain acara tersebut dihelat di tengah suasana ekonomi yang memprihatinkan, juga tidak akan ada dampak positif yang betul-betul strategis. Bappenas sendiri memperkirakan dana untuk mendukung penyelenggaraan IMF-World Bank Annual Meeting 2018 mencapai Rp6,9 triliun. Selain itu, kata Heri, untuk biaya operasional penyelenggaran IMF-World Bank Annual Meeting 2018 sebesar Rp1,1 triliun.
“Menurut Bappenas, dampak langsung acara tahunan IMF-World Bank ini adalah peningkatan 18.000 wisatawan (hanya meningkat 0.3%), yang diklaim mendatangkan manfaat sebesar Rp5,9 trilliun terhadap perekonomian Bali,” paparnya.
Namun, imbuh politisi Partai Gerindra ini, karena umumnya sebagian besar putaran uang tersebut teralokasikan untuk akomodasi (hotel) dan biaya makan, maka sesungguhnya yang mendapatkan keuntungan ekonomi besar adalah pemilik hotel dan restoran di Bali.
“Dan sebagaimana kita ketahui, rata-rata hotel dan restoran disana BUKAN punya orang Indonesia. Rata-rata orang Indonesia hanya berperan sebagai pelayan, koki, dan sebagainya. Bukan pemilik hotel dan restoran. Sehingga, dampak yang akan muncul bagi perekonomian lokal seperti yang pemerintahkan kampanyekan, patut dipertanyakan,” papar dia.
Heri menambahkan, Indonesia menjadi tuan rumah setelah sebelumnya pada 2015 lalu Peru berkesempatan menggelar pertemuan ini. Resep yang diberikan IMF pun sangat textbook, lagi pula bersifat generik.
“Strategi menaikkan suku bunga acuan, mencabut subsidi yang membebani keuangan negara, dan merestrukturisasi perbankan,” imbuhnya.
Dia menekankan, in-efektivitas program stabilisasi terjadi lantaran IMF tidak memperhatikan secara saksama seluk-beluk dualisme ekonomi yang melekat pada perekonomian Indonesia. Sejarah kemudian mencatat, kemerosotan ekonomi Indonesia berimbas pada turbulensi politik hingga kejatuhan rezim.
“Sejak itu, masyarakat memiliki kesan yang kurang baik terhadap sepak terjang IMF. Mereka dipandang liberal, mengagungkan mekanisme pasar, dan menafikan peran negara dalam urusan kesejahteraan sosial,” ucapnya.
Heri mengingatkan, restrukturisasi yang kini tengah digeber IMF tidak serta merta mengubah citra bagi negara berkembang yang dulu pernah memperoleh bantuan IMF.
Nampaknya Pembahasan perang dagang yang dikibarkan oleh Presiden AS Donald Trump kepada rival utamanya Cina, diperkirakan mendominasi pertemuan ini.
Sistem perdagangan global saat ini berada ‘dalam bahaya terkoyak’. Potensinya dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi global dan membuat konsumen menjadi lebih miskin karena mahalnya harga yang harus dibayar saat ini.
“Jika demikian halnya, Christine Lagarde akan bersedekap trenyuh menyaksikan penyesalan mendalam seluruh elemen bangsa. Lalu, apa yang bisa diharapkan dari pertemuan yang berlangsung nanti?” pungkas Heri.
Laporan: Muhammad Hafidh