KedaiPena.com – Layanan Bank Syariah Indonesia (BSI) dinilai belum bisa menyamai layanan bank konvensional, dinilai mampu menjadi preseden buruk bagi seluruh perbankan syariah. Terutama di Aceh, yang mayoritas layanan perbankan-nya dikuasai oleh BSI.
Nasabah Bank Syariah Indonesia asal Banda Aceh, Syakya Meirizal menyampaikan di Aceh, dengan adanya aturan Qanun LKS, maka yang berhak beroperasi di Aceh hanya lah bank syariah, menggantikan berbagai bank pemerintah maupun swasta, konvensional maupun syariah.
“Yang terbanyak saat itu adalah BRI, hingga ke pelosok. Setelah adanya aturan itu, maka nasabah BRI pun berpindah ke BRI Syariah. Setelah adanya penggabungan bank syariah pemerintah menjadi BSI, maka nasabah BRI Syariah pun menjadi nasabah BSI. Artinya, BSI itu walaupun baru berdiri sudah mendapat rahmat nasabah yang besar,” kata Syakya Meirizal, dalam diskusi perbankan yang digelar oleh Narasi Institute, Jumat (12/5/2023).
Ia menyatakan, sejak awal merger pun, operasional BSI seringkali bermasalah. Salah satunya, terkait mesin ATM yang sering error.
“Masyarakat Aceh mayoritas adalah masyarakat pedesaan yang masih sangat bergantung dengan uang tunai. Dan saya nilai, permasalahan terganggunya sistem BSI kemarin, merupakan puncak dari permasalahan yang ada di BSI,” ucapnya.
Bahkan, secara tegas Syakya menyatakan permasalahan ini merupakan cermin kegagalan tata kelola layanan BSI, terutama bagi nasabah BSI di Aceh.
“Bagi ekonomi nasional mungkin tidak berpengaruh. Tapi bagi Kami masyarakat Aceh, dimana BSI merupakan pemegang market share perbankan terbesar di Aceh, jelas sangat terdampak,” ucapnya lagi.
Contohnya, layanan SPBU sempat terhambat, karena tidak berhasilnya transaksi keuangan. Walaupun, akhirnya, Pertamina memberikan kebijakan khusus.
“Yang paling besar dampaknya adalah pada para pelaku usaha kecil, yang terkait BSI Link, transfer uang. Karena di Aceh, sangat sedikit yang menggunakan mobile banking. Punya pun, kemarin itu tidak bisa digunakan,” kata Syakya yang memiliki usaha perikanan ini.
Instansi ASN vertikal pun mengalami dampak, karena tak bisa mengakses dananya.
“Ini lah alasan kami di Aceh, yang akhirnya menyebabkan kegaduhan. Buntutnya, menyalahkan Qanun LKS. Padahal ini bukan masalah regulasi syariah. Tapi teknis BSI-nya. Karena banyak masalah dari layanan operasi-nya. ATM-nya banyak minta maaf. Ya karena tidak berfungsi, maupun tidak ada uangnya,” ujarnya.
Ia mengharapkan BSI jangan menjadi patokan pada sistem keuangan syariah secara keseluruhan.
“Jangan BSI akhirnya menjadi cermin bahwa lembaga keuangan syariah itu tertinggal, baik dari sisi teknologi, pelayanan maupun produk. Harapan kita, sama lah dengan bank konvensional. Jika begini terus, akhirnya merusak citra perbankan Syariah,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa