IMF-World Bank (WB) adalah lembaga yang didirikan pada konferensi Moneter dan Keuangan PBB di Bretton Woods, Amerika Serikat pada tahun 1944.
Awalnya berjumlah 44 negara yang berkonvensi di bawah kepemimpinan AS dan Inggris untuk menyepakati tatanan ekonomi dan keuangan pasca perang Dunia II.
Dengan berfokus pada stabilitas makroekonomi, pembangunan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Indah sekali cita-cita di awal pembentukannya.
Nyatanya, selama 74 tahun perjalanannya (1944-2018), dunia di bawah supervise IMF-WB menghadapi berbagai krisis ekonomi yang salah satu yang terbesar (Resesi 2008) justru terjadi di AS dan Inggris.
Masyarakat dunia, hingga sekarang, masih berada dalam ketimpangan yang sangat luar biasa.
Delapan puluh dua persen kekayaan yang dihasilkan masuk kantong 1% populasi penduduk, sementara 3,7 miliar rakyat Dunia yang menempati 50% populasi penduduk termiskin tampak tidak meningkat kekayaannya (Laporan Oxfam, Januari 2018).
Tidak tercipta keadilan sosial bagi masyarakat dunia. Ini berarti jelas ada yang salah dengan peranan grup IMF-WB, karena hasilnya adalah dunia yang sangat timpang seperti tersebut sebelumnya ditambah dengan utang dunia sebesar 225% GDP-nya.
Menurut kami tidak ada gunanya kedua lembaga ini dilanjutkan, kecuali terjadi koreksi besar dalam model aliran ekonomi pembangunan yang dianutnya.
Program pengetatan anggaran atau austerity telah gagal di banyak negara dalam kurun waktu yang lama di masa lalu, maka dari itu pertama-tama program inilah yang tidak perlu untuk dilanjutkan.
Di Amerika Latin telah gagal di tahun 1980-an, di Eropa (Yunani) pasca Resesi 2008 dan semuanya gagal.
Jangan sampai dilanjutkan di Indonesia, 3 tahun terakhir Indonesia masih dibekap austerity yang dipimpin menkeunya.
Berbagai program pencabutan subsidi energi dan sosial adalah termasuk dalam program austerity ini (dulu dinamakan program penyesuaian structural).
Banyak negara, termasuk Indonesia, tidak sanggup membiayai banyak program sosial (contoh kasus: defisit BPJS kesehatan) dan pengurangan kemiskinan.
Indonesia, untuk tahun 2017 saja sudah alokasikan lebih dari Ro 670-an triliun untuk bayar cicilan dan pokok utang.
Nilai Rp 670-an triliun ini, lebih besar dari anggaran untuk kesehatan dan bahkan infrastruktur di Indonesia saat itu.
Para pemberi utang bagi Indonesia, apakah itu lembaga keuangan maupun negara, harus lebih terbuka untuk berbagai skema renegosiasi utang dengan kita!
Dalam kepengurusan IMF-WB hanya duduk menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara yang tentu mewakili kepentingan komunitas keuangan masing-masing negara, sehingga suara dan isu dari kalangan buruh, petani, dan pegiat lingkungan tidak terdengar dalam rapat-rapatnya.
Padahal sangat sering kebijakan yang dilahirkan berdampak sangat luas pada kesejahteraan kaum buruh, petani, dan lingkungan di banyak negara. Karena itu seharusnya dalam setiap penentuan kebijakan.
Duduk dilibatkan juga perwakilan dari serikat pekerja, serikat tani, dan LSM lingkungan, agar suara mereka dapat menjadi isu utama atau setidaknya dipertimbangkan dalam setiap perumusan kebijakan.
Misalkan, isu-isu seputar pasar tenaga kerja selalu dipandang IMF-WB dari sudut pandang ekonomi neoklasik/neoliberal.
Pesan standar mereka adalah setiap negara harus meningkatkan fleksibilitas pasar tenaga kerja, yang ini berarti maksudnya adalah menurunkan tingkat upah dan mengurangi tenaga kerja yang tak diperlukan.
Apalagi dengan segala sejarah kelam keterlibatan IMF di 1997 Di Indonesia (menciptakan kerusuhan/IMF Provoked Riots, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia/BLBI yang utangnya masih kita tanggung sampai puluhan tahun lagi, liberalisasi ugal-ugalan, dll), buat kita sebenarnya sudah terlalu baik Pemerintah Indonesia menyiapkan segala resepsi dan kunjungan wisata bagi mereka semua hadirin acara IMF-WB Annual Meeting di Bali dan Lombok senilai hampir Rp 1triliun.
Oleh Gede Sandra, Peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP)