Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Presiden SBY sudah meletakkan dasar-dasar hilirisasi pertambangan sejak 2009, tertuang di dalam UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), khususnya Pasal 102, 103 dan 104. UU Minerba ini menjadi acuan pemerintahan Jokowi untuk menjalankan program hilirisasi nikel dan bauxite.
Manfaat hilirisasi bagi ekonomi sangat jelas, seperti juga dijelaskan di dalam UU Minerba. Penjelasan Pasal 103 ayat (1) berbunyi: Kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dimaksudkan, antara lain, untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambang dari produk, tersedianya bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan penerimaan negara.
Oleh karena itu, hilirisasi wajib didukung. Dan tidak ada masyarakat yang menentang hilirisasi. Ini harus benar-benar dipahami khususnya oleh pemerintah dan para pendukung atau buzzer-nya. Sekali lagi, tidak ada yang menentang hilirisasi. Tetapi, hilirisasi (nikel) yang merugikan negara, hilirisasi yang hanya menguntung investor (swasta maupun asing) dan merugikan negara, wajib ditentang keras.
Untuk mendukung program hilirisasi smelter nikel, pemerintahan Jokowi memberlakukan larangan ekspor bijih nikel, melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No 11 Tahun 2019.
Larangan ekspor seperti diatur dalam Permen ESDM tersebut kemudian digugat oleh Uni Eropa dengan tuduhan melanggar peraturan WTO Pasal XI.1, tentang larangan yang bersifat kuantitatif (Quantitative Restriction).
Peraturan WTO Pasal XI.1 mengatakan “No prohibitions or restrictions other than duties, taxes or other charges, whether made effective through quotas, import or export licences or other measures, shall be instituted or maintained by any contracting party on the importation of any product of the territory of any other contracting party or on the exportation or sale for export of any product destined for the territory of any other contracting party.”
Artinya, peraturan WTO menyatakan, setiap negara tidak boleh memberlakukan larangan atau batasan ekspor-impor berdasarkan kuantitas (Quantitative Restrictions). Pembatasan ekspor-impor hanya boleh dilakukan melalui pungutan bea, pajak atau pungutan lainnya.
Permen ESDM No 11 Tahun 2019 yang memberlakukan larangan ekspor bijih nikel “Quantitative Restrictions” kemudian terbukti melanggar peraturan WTO tersebut. Beberapa ketentuan pengecualian yang dijadikan alasan tidak dapat diterima. Indonesia kalah dalam gugatan tersebut.
Putusan WTO diambil oleh sebuah Panel yang terdiri dari 15 negara “pihak ketiga” (independen), yaitu Brasil, Canada, China, India, Jepang, Korea, Federasi Rusia, Kerajaan Arab Saudi, Singapura, Taiwan, Türkiye, Ukraina, Uni Emirat Arab, Inggris, dan Amerika Serikat.
Di lain sisi, Indonesia sebagai anggota WTO sudah mengakui dan meratifikasi peraturan WTO, melalui UU No 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Oleh karena itu, Indonesia terikat dan harus patuh pada peraturan dan putusan WTO di atas.
Tentu saja Indonesia bisa mengajukan banding (untuk mengulur waktu eksekusi putusan). Atau, Indonesia juga bisa memilih keluar dari WTO kalau merasa peraturan WTO tidak adil dan tidak ingin mengikutinya. Meskipun putusan WTO diambil oleh Panel 15 negara sebagai “pihak ketiga” independen, di luar Uni Eropa.
Rezim Jokowi seharusnya mengikuti aturan main WTO, dengan mengubah larangan ekspor berdasarkan “Quantitative Restrictions” menjadi pungutan ekspor (bea, pajak atau pungutan lainnya), seperti yang sudah dijalankan selama ini di sektor minyak sawit atau batubara.
Karena, dampak pungutan ekspor (bea, pajak atau pungutan lainnya) sama seperti larangan ekspor. Tarif dan pajak ekspor akan membuat harga bijih nikel Indonesia di pasar internasional tidak kompetitif (kemahalan), membuat permintaan ekspor bijih nikel asal Indonesia anjlok hingga nihil. Karena tidak laku di pasar internasional akibat kemahalan, maka supply bijih nikel domestik akan berlimpah dan bisa memenuhi kebutuhan smelter dalam negeri. Artinya, tujuan hilirisasi smelter nikel tercapai.
Tetapi, kenapa Jokowi tidak melakukannya? Kenapa Jokowi nekat melanggar aturan WTO? Apa untungnya dan untuk siapa kenekatan Jokowi?
Yang jelas, larangan ekspor dengan cara Quantitative Restrictions sangat menguntungkan perusahaan smelter yang mayoritas dimiliki oleh perusahaan China. Karena, penambang bijih nikel tidak ada pilihan lain kecuali menjual produknya kepada satu perusahaan smelter (di satu daerah tertentu). Sehingga terjadi pasar monopsony (pembeli tunggal di satu daerah). Artinya, harga didikte oleh pembeli (smelter). Tidak heran kalau harga bijih nikel anjlok.
Apakah Jokowi mengerti bahwa kebijakan larangan ekspor melanggar aturan WTO, menguntungkan perusahaan smelter dan merugikan penambang nikel? Atau Jokowi memang tidak mengerti semua itu, dan menjadi korban ketidakmengertiannya, dan dibohongi para menterinya? Atau semua itu merupakan perintah Jokowi?
Jokowi membalas kekalahan di WTO dengan pernyataan “heroik”, tidak ada pihak yang bisa menghalangi hilirisasi nikel Indonesia. Pernyataan ini sangat bahaya, tidak tepat diucapkan oleh seorang presiden. Siapa yang membisiki Jokowi memberi pernyataan seperti itu.
Pernyataan Jokowi tersebut memicu pendapat di masyarakat seolah-olah ada kekuatan asing yang ingin menghambat hilirisasi dan kemajuan ekonomi Indonesia, dan juga China. Terkesan pernyataan tersebut mengandung “ujaran kebencian”, di mana penggugat dan WTO diposisikan mau menghambat hilirisasi dan kemajuan ekonomi Indonesia. Padahal di dalam Panel WTO ada China.
Faktanya, Indonesia sendiri yang melanggar peraturan WTO Pasal XI.1 tentang larangan ekspor “Quantitative Restrictions”, sesuai keputusan sidang Panel 15 negara. Apakah berarti panel 15 negara tersebut yang mau menghalangi hilirisasi Indonesia, dan menghalangi kemajuan ekonomi Indonesia?
Larangan ekspor seperti yang dilakukan Indonesia bisa membahayakan perdagangan dunia dan keamanan negara, karena bisa memicu perang larangan ekspor. Kalau setiap negara bisa melarang ekspor (export ban) maka dunia pasti akan chaos. Nanti akan ada negara yang melarang ekspor beras, gandum, obat-obatan, minyak bumi, BBM, dan seterusnya.
Larangan ekspor dalam kondisi tertentu diperkenankan, antara lain untuk mengatasi risiko kekurangan produk penting. Seperti India atau Vietnam yang menyatakan akan melarang ekspor beras untuk sementara waktu karena khawatir el nino menyebabkan gagal panen.
Semoga rakyat Indonesia tidak menjadi korban drama larangan ekspor bijih nikel dan pembelaan Jokowi kepada perusahaan smelter asing. Nantikan episode selanjutnya, 1 September yang akan datang.
[***]