Artikel ini ditulis oleh Gede Sandra, Akademisi Universitas Bung Karno (UBK).
Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNDP (United Nations Development Programme), bersama dengan Lab Ketimpangan Dunia (World Inequality Lab) menerbitkan laporan berjudul World Inequality Report 2022 (Laporan Ketimpangan Dunia 2022).
Laporan setebal 236 halaman ini adalah sintesa yang terkini untuk mengetahui seluruh masalah ketimpangan yang terjadi di Dunia.
Data dan Analisa yang sangat berlimpah yang termuat di dalam laporan ini adalah sumbangsih dari 100-an peneliti ekonomi yang tersebar di seluruh benua di Dunia, yang bekerjasama lebih dari empat tahun lamanya.
Mereka semua dipimpin oleh Lucas Chancel (ekonom dari Paris School of Economics), juga dikoordinasikan oleh Thomas Piketty (ekonom dari Paris School of Economics, penulis buku best seller “Capital in the 21st Century”), Emmanuel Saez (ekonom dari University of California, Berkeley), dan Gabriel Zucman (ekonom dari University of California, Berkeley).
Laporan ini tentu memuat masalah ketimpangan di Indonesia (hal. 199). Disebutkan bahwa di Indonesia rata-rata pendapatan dari populasi orang dewasa adalah Rp 69 juta per tahun (atau Rp 5,7 juta per bulan).
Bagi 50 persen lapisan masyarakat terbawah, pendapatan rata-ratanya lebih kecil lagi, sekitar Rp 22,6 juta pertahun (atau Rp 1,9 juta per bulan).
Sementara bagi 10 persen lapisan masyarakat teratas, rata-rata pendapatannya adalah sebesar Rp 285 juta per tahun (atau Rp 23,7 juta per bulan).
Kritik terhadap Kebijakan Upah Minimum Pemerintah
Berbasiskan data tersebut saya ingin mengkritisi Pemerintah Indonesia (Kementerian Tenaga Kerja) yang kerap mempropagandakan bahwa upah minimum buruh Indonesia ketinggian.
Sehingga membenarkan mereka memproduksi rumus yang tidak masuk akal dalam PP No. 36/2021 yang menghasilkan kenaikan upah minimum hanya 1,09 persen secara nasional, di bawah angka inflasi 1,5 persen!
Artinya dengan kebijakan ini upah buruh Indonesia sebenarnya secara riil turun, karena tergerus inflasi.
Pemerintah menggunakan indikator Kaitz Index, yang merupakan perbandingan antara upah minimum dibandingkan upah median atau upah rata-rata.
Mereka menyebut bahwa nilai Kaitz Index upah buruh Indonesia sudah lebih besar daripada 1.
Padahal nilai Kaitz Index upah buruh di negara-negara Eropa saja berkisar antara 0,4 hingga 0,6.
Pertanyaan mendasarnya, apakah memang benar Kaitz Index Indonesia lebih besar daripada 1, seperti didengungkan pemerintah?
Coba kita hitung lagi. Berbasiskan data World Inequality Report 2022, rata-rata pendapatan orang Indonesia perbulan hanya menghasilkan Rp 5,7 juta. Sementara upah minimum rata-rata nasional adalah Rp 2,7 juta.
Jadi nilai Kaitz Index-nya, rasio dari upah minimum terhadap upah rata-rata, adalah = Rp 2,7 juta/Rp 5,7 juta = 0,47. Artinya berbasis data tersebut, nilai Kaitz Index upah buruh Indonesia sebenarnya masih sangat wajar, bukan lebih dari 1, hanya 0,47, sama sekali tidak ketinggian. Sehingga upah minimum masih masih layak untuk naik.
Namun, ada juga pandangan bahwa seharusnya rumus Kaitz index dihitung dengan membandingkan dengan upah median, bukan dengan upah rata-rata.
Konsep statistik untuk rata-rata/mean dan median/nilai tengah sangat berbeda, sehingga sangat mungkin nilai median lebih tinggi dari rata-rata.
Karena BPS maupun UNDP tidak menerbitkan data upah median, kita akan gunakan data upah median Indonesia yang bersumber dari www.salaryexplorer.com , yaitu sebesar Rp 11,4 juta per bulan.
Jadi nilai Kaitz Index-nya, rasio dari upah minimum terhadap upah median adalah = Rp 2,7 juta/Rp 11,4 juta = 0,24. Malah semakin rendah.
Berbasis data upah median, Kaitz Index Indonesia malah terlalu rendah, jauh di bawah nilai Kaitz Index standar Eropa (0-4-0,6). Artinya upah minimum buruh Indonesia masih sangat layak untuk naik tinggi.
Sehingga dapat dimaklumi bila mayoritas gerakan buruh menuntut kenaikan upah minimum antara 10 persen hingga 15 persen.
Ketimpangan Terendah Terjadi di Era Gus Dur
Selain mengkritisi, saya juga ingin memuji pemerintahan Indonesia. Tapi bukan pemerintahan Jokowi saat ini, melainkan Pemerintahan pada era yang lalu yaitu pada masa Presiden Gus Dur sekitar 22 tahun yang lalu.
Dalam World Inequality Report 2022, di bagian Indonesia (hal. 199) juga terdapat grafik yang menjelaskan ketimpangan pendapatan secara historis sejak tahun 1900 hingga tahun 2021, seperti terlihat di bawah ini:
Garis merah adalah pergerakan dari bagian pendapatan (income share) lapisan masyarakat 10 persen teratas, dinyatakan sebagai persentase dari total pendapatan nasional.
Garis biru adalah pergerakan dari bagian pendapatan lapisan masyarakat 50 persen terbawah, juga dinyatakan sebagai persentase total pendapatan nasional.
Dapat dilihat bahwa 10 persen masyarakat Indonesia teratas, orang kaya, selama tahun 1900-2021 menguasai 40 persen sampai 50 persen dari total pendapatan nasional.
Sementara pada rentang waktu yang sama, 50 persen masyarakat terbawah hanya mengusai 12 persen sampai 18 persen dari total pendapatan nasional.
Pada era Pemerintahan Gus Dur (1999-2001), bagian pendapatan untuk 10 persen lapisan masyarakat teratas Indonesia mencapai titik terendahnya, yaitu hanya menguasai 40 persen
pendapatan nasional.
Sementara bagian pendapatan untuk 50 persen lapisan masyarakat terbawah mencapai titik tertingginya, yaitu menguasai 18 persen dari pendapatan nasional.
Artinya hanya era Gus Dur lah pemerintahan Indonesia yang paling sukses menekan ketimpangan antara masyarakat kaya (10 persen lapisan teratas) dan masyarakat bawah (50
persen lapisan terbawah).
Rendahnya ketimpangan ini juga dikonfirmasi oleh data indeks Gini
BPS pada era Gus Dur yang memang sangat rendah yaitu di kisaran 0,31.
Ini cukup kontras bila dibandingkan dengan Pemerintahan Jokowi saat ini di tahun 2021.
Dapat dilihat pada grafik di atas, bahwa 10 persen masyarakat atas dapat menguasai 48 persen pendapatan nasional.
Sementara 50 persen masyarakat bawah hanya menguasai 12 persen pendapatan nasional, ini adalah angka ketimpangan yang terburuk dalam 120 tahun terakhir.
[***]