TIDAK berlebihan sepertinya jika kami mengatakan masyarakat Iran di kota Qom adalah masyarakat yang begitu mengedepankan norma-norma kesusilaan dan kesantunan antar sesama. Bagaimana tidak, kota ini telah membuktikan pada kami bahwa anggapan negatif yang selama ini diberikan Negara barat terhadap Iran tidaklah sepenuhnya benar. Nyatanya selama tujuh hari, tim Ekspedisi Raya Arkadia Gunung Damavand singgah di kota Qom dan hati kami tidak henti-hentinya dibuat terkagum oleh keramahan masyarakatnya.
Bahkan dari hal yang paling sederhana, sebuah senyum. Setiap senyum dan sapa masyarakat Qom pada kami mengisyaratkan pesan yang begitu mendalam tentang sebuah negara yang makmur, sebuah negara damai dan sebuah negara yang aman. Lebih dari itu, senyuman masyarakat Qom seolah mengabarkan pada dunia bahwa inilah wajah Iran yang sebenarnya.
Kota Qom sendiri terletak di sebelah barat daya kota Teheran dengan waktu tempuh kurang lebih 4 jam perjalan lewat jalan bebas hambatan dengan pemandangan gurun pasir khas Timur Tengah di kanan kirinya. Berbeda dengan udara di Indonesia yang lembab, udara di Kota Qom kering namun berangin membuat orang yang belum terbiasa akan mudah mengalami bibir pecah, hal inilah yang kami alami selama di kota ini. Jangankan saat beraktifitas di luar ruangan, berdiam diri di kamar saja bibir rasanya sangat perih akibat udara yang kering.
Ditambah suhu yang mencapai 25 derajat celcius bahkan saat musim panas bisa menembus 40 derajat celcius membuat masyarakatnya mudah dehidrasi dan ini pula yang membuat pemerintah Iran menyediakan tempat-tempat pengisian air gratis di lokasi-lokasi vital ataupun sarana-sarana umum di Kota Qom.
Pertama kali masuk Kota Qom, yang kami lihat adalah sebuah kota yang begitu lengang, gedung-gedung yang tidak terlalu tinggi dan wanita-wanita berkerudung hitam yang berjalan di trotoar pejalan kaki di bawah terik matahari.
Tampilan fisik kendaraan di sini begitu sederhana. Bahkan semua kendaraan roda dua terlihat sama, meskipun berbeda merek. Lalu lintasnya tidak begitu ramai, jalanannya juga tertata rapih berhias bendera Iran yang terpasang di sudut-sudut jalan.
Berbeda dengan pemandangan di jalan bebas hambatan penghubung Teheran dan Qom yang gersang, di kota Qom mulai nampak pohon-pohon hijau menghias jalan, dan taman. Di sini taman bagai oase di padang pasir, orang-orang begitu menyukai taman, mereka kerap menggelar tikar atau bahkan mendirikan tenda di taman sampai-sampai di beberapa taman terpampang larangan mendirikan tenda.
Tempat yang kami tuju di kota ini adalah Institute Al Hikmah, sebuah lembaga pendidikan di bawah naungan Mustofa International University. Di tempat itu, kami akan menetap selama tujuh hari untuk mempelajari Iran dari segi pengetahuan, kebudayaan dan keislamannya.
Kota Suci
“Salam,†sapa Syafii, salah satu staff departemen kebudayaan di sini sambil menjulurkan tangan penuh kesantunan. “Selamat datang di Kota Suci Qom†ujarnya hangat. Kota Qom memang menyandang sebagai kota suci atau kami menyebutnya kota santri-nya Iran, di kota ini banyak lahir ulama-ulama Syiah dan karena itu Qom juga dikenal sebagai kota sejuta ulama.
Qom memang telah mendunia sebagai pusat studi Syiah terbesar di dunia. Tercatat sejumlah nama tokoh besar seperti mantan presiden Iran Ayatullah Rafsanjani dan Hujjatul Islam Sayyid Khatami hingga pemimpin revolusi islam Imam Khomeini serta pemimpin tertinggi Republik Islam Iran Ayatullah Ali Khameini pernah mengenyam pendidikan di kota ini.
Julukan kota santri juga ditunjukkan dengan banyaknya lembaga-lambaga pendidikan yang mengedepankan ilmu pengetahuan dan ilmu keislaman yang uniknya terdapat beberapa institute yang menggunakan metode santri seperti di Indonesia.
Sebagai kota suci, masyarakat di kota ini khususnya wanita diwajibkan berpakaian sesuai syariat Islam, seperti mengenakan jilbab panjang menutupi dada dan gamis lebar yang menutupi badan hingga pergelangan tangan dan pergelangan kaki. Serta sangat dilarang mengenakan pakaian ketat.
Di sudut-sudut kota disiagakan polisi wanita yang bertugas menegur wanita yang keluar rumah tidak berpakaian syar’i, hal ini sangat berbeda dengan gaya busana di kota Teheran dimana kita bisa melihat rambut bagian depan wanita. Di Teheran memang peraturan berpakaian bagi wanita tidak seketat di Qom. Wanita di Teheran diperbolehkan mengenakan kerudung yang tidak menutupi seluruh rambut serta berpakaian ketat.
Sedangkan pria, tidak ada aturan khusus yang mengatur cara berpakaian pria, yang penting tidak mengumbar aurat, kecuali para ulama, guru, pemuka agama atau santri selalu mengenakan jubah dan penutup kepala khas Iran sebagai tanda kedudukan mereka. Setiap tingkatan berbeda jenis pakaiannya. Sedangkan untuk kami selama di sana disarankan untuk tidak bercelana pendek serta berkaos dan tidak mengenakan sandal jepit saat keluar ruangan.
Oleh Adlani mahasiswa Indonesia yang menjadi pemandu kami selama di sana, kami juga disarankan tidak mengenakan sarung saat keluar, “takut dikira habis berhubungan suami istri,†ujar Adlani sambil tertawa.
Dengan alasan kota pendidikan pula, gedung-gedung di Qom tidak berjuntai mencakar langit sebagaimana di kota metropolitan. Ya, ini Qom, ini kota suci, kota pendidikan dan studi Syiah terbesar di dunia, bukan kota metropolitan denga gaya hedonnya. Qom begitu sederhana, bukan karena tertinggal, tapi sebaliknya kesederhanaan itu sebagai implementasi pendidikan yang sebenarnya. Qom seolah ingin menunjukkan wajah pendidikan yang jauh dari gaya hidup galmor lewat kesederhanaan kotanya.
Ketidakhangatan masyarakat awalnya sempat terbesit di benak kami. Apalagi dengan penampilan yang terkesan sangat agamis, orang-orang di kota ini kami kira tidak akan merespon hangat kehadiran tamu. Terlebih antara kami dan mereka memiliki latar belakang keyakinan yang berbeda, kami Sunni dan mereka Syiah, dan itu sangat sensitif. Ternyata tidak, nyatanya mereka jauh lebih ramah dari apa yang kami pikirkan.
Pernah suatu ketika di malam ketiga sepulang menjelajah Kota Qom, seorang anak perempuan berbusana serba hitam dan tertutup membawa mawar merah menghampiri dan sambil malu-malu berkata, “this is for youâ€, kemudian memberikan bunga yang di genggamnya.Masih di malam yang sama seorang remaja perempuan yang juga berbusana serba hitam dengan semangatnya mewawancarai salah satu dari kami, setelah mengetahui kami dari Indonesia.
Banyak cara yang dilakukan masyarakat Qom dalam membangun komunikasi dengan kami, termasuk dengan cara konyol yang unik. Bagaimana tidak unik, seorang remaja berwajah datar yang tengah berjalan santai tiba-tiba dengan isengnya berpose di depan kami. Dari penampilannya, ia seperti pekerja kantoran yang baru pulang kerja. Ia lalu meminta berfoto bersama dengan imbalan sebuah pulpen untuk kami.
Masalah perbedaan aliran keyakinan? Sama sekali tidak ada masalah terkait hal itu. Mereka sepenuhnya menghargai apa yang kami yakini, mereka juga tidak segan membahas perbedaan itu sekedar untuk menambah wawasan dengan mengesampingkan sensitifitas di antara keduanya, bahkan kami bebas shalat dengan cara kami di masjid mereka.
Kami memang beberapa kali mengikuti shalat di masjid saat magrib dan isya. Biasanya kalau ada waktu lengang kami menyempatkan untuk berkeliling Qom pada sore hingga malam hari dan singgah di masjid untuk melaksanakan shalat.
Setidaknya ada dua masjid yang kami singgahi, Masjid Jamkaran dan Masjid Fatimah Al Maksum. Keduanya memiliki ikatan psikologis yang kuat terhadap masyarakat Iran. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, kami bebas melaksanakan ibadah sesuai keyakinan kami, bahkan di masjid mereka.
Memang menarik perhatian jamaah yang lain, tapi tidak sama sekali ada intimidasi atau hal-hal konyol yang ditunjukkan jamaah di masjid itu, sekedar pertanyaan sederhana mengenai asal, agama dan mazhab termasuk diskusi kecil diantara kami dengan seorang jamaah mengenai pandangan Imam Mahdi menurut Sunni dan Syiah.
Masyarakat Qom telah menunjukkan sikap terbukanya lewat sikap ramah dan kemauan berinteraksi, acuh terhadap kedatangan orang asing dengan berupaya sebaik mungkin membuat kami nyaman, mungkin terlihat sederhana, sekilas mengganggu, tapi bukanlah hal mudah untuk menunjukkan empati terhadap orang asing.
Dibutuhkan keberanian bahkan untuk sekedar memberi bunga, mewawancara, berpose ataupun memberi pulpen kepada orang asing. Itulah sebuah upaya yang berani dilakukan masyarakat Qom lewat cara-caranya sendiri. Dan yang terpenting mereka berhasil membuat kami merasa ada di dalam keseharian mereka.
Oleh Muhammad Aminullah, mahasiswa UIN Jakarta angkatan 2014. Aminullah merupakan salah anggota Arkadia yang melakukan ekspedisi ke Gunung Damavand, Iran