BERBASIS laporan dan kerjasama dengan Federal Bureau of Investigation (FBI), Polda Metro akhirnya menangkap para tersangka tindak pidana pornografi online anak. Mereka diduga memperjualbelikan video berkonten pornografi anak dengan sesama jenis atau dikenal dengan ‘video gay kids’ (VGK). Mereka adalah YUL, 19 tahun, HER alias UHER (30), dan IK (30), dibekuk di tempat berbeda dalam “Operasi Nataya IIIâ€.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) sangat prihatin atas kasus ini dan mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya dalam pengungkapan kasus pornografi anak online tersebut. ICJR menilai bahwa kasus pornografi anak online ini termasuk yang kasus besar yang pernah diungkap oleh pihak kepolisian dengan bukti pornografi anak yang cukup besar.
Sebelumnya ditahun 2017 dalam kasus pornografi siber anak yang melibatkan grup Facebook “Candy Loly Grupâ€, kepolisian juga telah mengungkap para pelaku. Dalam operasi Nataya I dan Nataya II yang berhasil menjaring jaringan COP Internasional Candy 1 dan Candy 2.
Dalam kasus ‘video gay kids’ (VGK), tersangka YUL yang berperan sebagai admin akun twitter @VGKSale dan grup telegram VGK Premium. YUL dibekuk di kediamannya, Purworejo, Jawa Tengah, pada 5 September 2017. HER alias UHER yang berperan sebagai penyedia konten melalui akun twitter @NeoHermawan2 dan @febrifebri745, ditangkap di Garut, Jawa Barat, pada 7 September 2017.
Sedangkan tersangka IK yang merupakan pengguna akun twitter @FreeVGK69 dan blog pribadinha freevgk.blogspot.co.id diringkus di Bogor, Jawa Barat. Para pelaku bergabung dalam berbagai grup aplikasi seperti Telegram dan Whatsapp untuk mendapatkan foto dan video gay kids tersebut.
Dan mereka memiliki afiliasi dengan 49 negara untuk mencari, menjual, dan menyebarluaskan konten foto dan video pornografi anak. Masing-masing tersangka memiliki follower kurang lebih dari 1.000 orang.
Sebanyak 750 ribu foto dan video berkonten pornografi anak setelah dianalisis laboratorium Polda menunjukkan 40 persen dari foto dan video yang ada berisikan anak-anak berparas melayu. Terkait identifikasi korban, ICJR mendukung langkah-langkah Polda Metro dalam koordinasi dengan pihak Federal Bureau Investigation, National Missing and Exploitation Children melalui Interpol, Homeland Security Investigation dan Europol untuk mengidentifkasi korban anak yang ditemukan dalam arsp (file) images (video dan gambar) dalam 750.00 foto dan video.
Sangat penting untuk mengambil semua langkah yang diperlukan untuk memperkuat kerja sama internasional melalui perjanjian multilateral, regional dan bilateral dalam rangka pencegahan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan hukuman bagi pihak-pihak yang bertanggung jawab atas tindakan yang terkait dengan pornografi anak.
Dengan situasi pengguna internet sebanyak 78 juta orang atau 31% dari total populasi, dan merupakan 5% dari total pengguna di Asia dengan jaringan Mobile sebesar 341.8 juta atau 132% dari total populasi, maka pengawasan kasus pornografi online anak akan mendapatkan tantangan besar.
Kasus-kasus pornografi online anak tetap tercatat di Indonesia tiap tahunnya. Berdasarkan pencatatan ECPAT Indonesia pada bulan September 2016 s/d Februari 2017, tercatat terdapat enam kasus yang terungkap dengan jumlah korban mencapai 157 anak.
Kasus ini tersebar di 4 (empat) Provinsi dan 6 (enam) Kabupaten/Kota di Indonesia. Monitoring ICJR, berdasarkan data Cybercrime Mabes Polri, di tahun 2015 kejahatan pornografi anak di dunia maya tercatat ada 29 laporan, sedangkan di tahun 2016 ada 1 laporan. Namun perkara yang masuk ke tahap penuntutan masih sedikit, di tahun 2015 perkara yang dapat diselesaikan hanya 1 kasus dan di tahun 2016 belum terdapat informasi berapa kasus yang telah diselesaikan.
ICJR mendorong penegak hukum menggunakan pasal berlapis dalam penuntutan dan memastikan bahwa pasal yang digunakan untuk menjerat para tersangka sudah tepat dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Penggunaan pasal berlapis penting karena pelaku tidak hanya mengunggah/menyebarkan materi pornografi anak melainkan juga mengunggah konten yang melanggar kesusilaan, membuat materi pornografi anak dan melakukan kekerasan seksual kepada para korbannya.
Perlunya penggunaan pasal berlapis diterapkan bagi para pelakunya karena apa yang dilakukan para pelaku berdampak sangat buruk bagi korban baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang. Penerapan pasal yang berlapis bagi para pelaku diharapkan bisa menjadi suatu tonggak penting dalam menegakkan keadilan bagi anak-anak dan keluarga yang menjadi korban.
ICJR juga mendesak agar penanganan kasus ini harus mampu membongkar jaringan dan dilakukan secara profesional. Semua pelaku seharusnya dibawa ke pengadilan. Alat bukti yang disajikan di pengadilan juga harus lebih memadai dan realible. Pencarian alat bukti juga penting dilakukan secara mendalam sehingga tidak hanya segelintir pelaku yang bisa diseret ke pengadilan
Pornografi anak online masih menjadi salah satu musuh besar dalam penegakan hukum Indonesia untuk itu Pemerintah Indonesia diharapkan segera menjalankan aksi-aksi pencegahan yang tercantum di dalam Protokol Opsional tentang Perdagangan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No.10 Tahun 2012. Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography (Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak) pada tanggal 24 September 2001.
Penandatanganan tersebut merupakan salah satu komitmen bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional untuk mengimplementasikan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak) sebagai hasil Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diterima pada tanggal 20 November 1989.
Namun Indonesia sampai hari ini belum pernah menyerahkan laporan dalam waktu dua tahun setelah berlakunya Protokol untuk setiap Pihak, kepada Komite Hak-hak Anak mengenai informasi yang komprehensif tentang tindakan-tindakan yang diambil untuk implementasi ketentuan dalam Protokol
ICJR juga merekomendasikan kerjasama yang kuat dari penyedia jasa online seperti Whatsapp, telegram, Twitter dan lainnya agar secara aktif melakukan pengawasan dan upaya-upaya yang terintegrasi untuk mencegah aktivitas pornografi anak, baik dalam system pengawasan Internalnya maupun penegakan hukumnya. Dalam kasus, ini mereka juga diminta secara aktif berkolaborasi dengan aparat penegak hukum Indonesia.
Oleh Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo Eddyono