MINAT dan budaya membaca buku di kalangan masyarakat kita terus mengalami tantangan luar biasa beratnya dari waktu ke waktu, terutama seiring dengan munculnya generasi digital native dan digital immigrant ini.
Generasi digital natives atau pribumi digital adalah generasi yang lahir dan hidup di paruh pertama milenium ketiga, yang sejak awal akrab dengan internet, telpon pintar, beragam aplikasi dan animasi dalam gawai, serta suka pelbagai produk digital lain yang terus berkembang dalam rangka memudahkan hidup (?) dan untuk gaya hidup itu sendiri.
Sedangkan generasi digital immigrants adalah generasi yang lahir dan tumbuh lebih dahulu sebelum generasi digital natives, yang kemudian akhirnya menjadikan pula produk-produk digital sebagai bagian dari gaya hidup yang dilakoninya.
Beratnya tantangan tersebut terkait dengan, diantaranya:
Pertama, masih rendahnya minat membaca buku dalam masyarakat kita yang tergambar dari banyak hasil survei lembaga-lembaga kredibel dari waktu-ke waktu. Baik itu lewat survei UNESCO, PISA, Perpustakaan Nasional, dan sebagainya.
Hal itu menandai prestasi kita memperkecil jumlah rakyat yang menyandang buta huruf dari waktu ke waktu, lewat program pemberantasan buta hurup yang digalakkan sejak pasca berdirinya republik Indonesia, ternyata tak berbanding lurus dengan minat dan budaya membaca buku pada mereka-mereka yang telah berkemampuan membaca.
Padahal untuk menjadi bangsa yang besar, yang disegani karena prestasi-prestasi besarnya, yang mampu mewujudkan cita-cita mulianya sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, maka bangsa kita haruslah terlebih dahulu menjadi bangsa yang memiliki minat dan budaya membaca yang tinggi. Ya, membaca apapun yang bisa menguatkan kepekaan pengetahuan, akal, budi dan perasaan sebagai manusia indonesia.
Kedua, ketika budaya baca buku rendah, teknologi internet dengan segala citra visualnya hadir menarik ceruk terbesar masyarakat yang tak minat baca buku. Repotnya, sebagian kalangan anggap internet mampu gantikan peran buku. Padahal buku, terlebih bagi para penikmatnya, bisa jauh memberi efek “keintiman” dan “kelezatan” yang jauh lebih personal ketimbang internet.
Buku, menurut Ben Anderson (1999), merupakan “produk perintis industrial” dan “salah satu bentuk-bentuk awal dari usaha kapitalis”, dalam hal ini “kapitalisme cetak”.
Meski begitu, buku sebagai barang cetakan punya karakter khas dibanding produk kapitalis lainnya. Pada buku, prinsipnya jauh lebih penting ketimbang skalanya. Anderson melukiskan:
“…bila kita bandingkan buku dengan produk-produk industrial lainnya, umpama tekstil, batu bata, gula dan lain-lain. Komoditas itu diukur dalam satuan matematis (kilogram, takaran, atau satuan). Satu kilogram gula hanya satu kuantitas tertentu, cara menakar yang memudahkan, bukan objek tersendiri. Namun buku–dan di sini mulai tampak ketangguhan jaman kita–merupakan satu objek berjati diri, selesai dalam dirinya sendiri, diproduksi persis secara besar. Satu kilo gula mengalir diikuti satu kilo berikutnya; setiap buku memiliki kecukupannya sendiri yang tak tergantikan. (Tak heran bahwa perpustakaan-perpustakaan, koleksi-koleksi pribadi, sudah terlihat dimana-mana di kota Paris pada abad ke-enam belas).”
Untuk itu, meskipun pada peringatan Hari Buku Sedunia 2017 (World Book Day 2017) kemarin, gaung peringatannya amat sepi di negeri kita, tapi bagi para orangtua muda haruslah tetap membangun suasana lingkungan yang literat di rumah dan di lingkungan sekitar rumah. Serta tetap harus memperkenalkan buku-buku “lezat” dan bermutu kepada putera-puteri tercintanya sejak dini, khususnya yang masih balita.
Cara memperkenalkan buku-buku lezat kepada anak sejak dini adalah, pertama, dengan mulai membiasakan dan mentradisikan membacakan buku bersama anak balita anda saat ini juga dengan menyenangkan. Banyak pilihan metode yang bisa diterapkan di sini, diantaranya adalah “read aload”.
Kedua, dengan memberikan hadiah buku dengan tema-tema, atau figur-figur yang disenangi oleh anak. Tradisi memberi hadiah buku itu bisa diberikan kapanpun, baik itu di momen-momen spesial anak, misalnya hari ulang tahunnya, maupun saat anak menunjukkan prestasi yang membanggakan di sekolah.
Atau saat dirinya melakukan perubahan sikapnya menuju sikap yang semakin mulia, atau usai membantu pekerjaan orangtua di rumah, usai menang bertanding menari ataupun futsal, dan sebagainya.
Dengan langkah-langkah kecil berbasis lingkungan keluarga seperti itu, semoga bisa menjadi usaha sekaligus amal yang saling bertaut bersama diantara para orangtua dari keluarga kecil, dalam upaya menumbuhkembangkan minat dan tradisi membaca yang diharapkan terus semakin tinggi di dalam masyarakat kita.
Dan semoga generasi anak-anak kita pun akhirnya bisa menjadi generasi hebat dan berakhlak mulia yang akan membawa Indonesia menjadi bangsa yang maju, disegani, dan dikiblati peradaban mukianya oleh banyak bangsa di dunia. Semoga. Amin.
Salam Anak Nusantara.
Oleh Nanang Djamaludin, Direktur Eksekutif Jaringan Anak Nusantara (Jaranan)