SETELAH kado pahit berupa terbitnya Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan, pada 19 Oktober 2017 kembali pemerintah, dalam hal ini Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian melakukan langkah gegabah atas nama percepatan reforma agraria dan perhutanan sosial (RA dan PS) dengan mengikat kerjasama (MoU) dengan World Wild Fund (WWF). Organisasi non-pemerintah ini ditunjuk Kemenko sebagai pelaksana manajemen proyek (project management office atau PMO) program RA dan PS. Langkah ini menuai reaksi negatif dari hampir semua kalangan organisasi rakyat, pegiat RA dan pegiat PS.
Sebagaimana diketahui, pemerintahan Jokowi telah menempatkan reforma agraria sebagai prioritas nasional yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019, dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2017. Tanah seluas 9 juta hektar menjadi rencana redistribusi tanah dan legalisasi aset di bawah payung reforma agraria. Sumber tanahnya berasal dari kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan (perkebunan). Sedangkan dalam rangka memperluas wilayah kelola masyarakat di kawasan hutan, target 12,7 juta hektar hendak dialokasikan untuk dapat diberikan ijin kelolanya kepada masyarakat.
Meski dinilai sangat terlambat, baru-baru ini ada sejumlah usaha pemerintah yang patut diapresiasi untuk “mulai†membuka dialog terkait usulan obyek RA dari bawah. Namun dalam tiga tahun ini, kepercayaan kalangan gerakan sosial semakin menurun. Pemerintah, dalam hal ini kementerian-kementerian terkait gagal memupuk kepercayaan publik atas janji politik Jokowi-JK terkait RA, PS dan penyelesaian konflik.
Menyimpan Masalah Dalam Tiga Tahun Terakhir
Kami menilai, bahwa rencana Nawa Cita, RPJMN dan RKP 2017 yang hendak menjawab persoalan agraria nasional melalui Reforma Agraria telah disimpangkan. Kebijakan dan langkah-langkahnya tidak diarahkan untuk betul-betul menjawab krisis agraria yang terjadi di lapangan.
1) Masalah Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA)
Lokasi-lokasi yang direncanakan pemerintah dalam kerangka RA bukan merupakan lokasi yang selama ini mengalami: konflik berkepanjangan; ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan; serta kemiskinan rakyat akibat ketiadaan kontrol dan hak atas tanah. Kriteria TORA yang dibangun secara top-down tidak berkesuaian dengan prinsip dan tujuan pokok reforma agraria.
Pertama, lokasi-lokasi yang ditunjuk oleh pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) belum lah menyasar lokasi-lokasi yang selama ini mengalami konflik agraria dan tumpang tindih kewilayahan masyarakat dengan klaim kawasan kehutanan.
Kedua, masalah penetapan TORA menggunakan UU Kehutanan. Akibatnya, dengan UU Kehutanan sebagai kiblat, Pulau Jawa, Lampung dan Bali “ditutup rapat†dari jalan reforma agraria dengan dalih pengecualian pulau-pulau yang tutupan hutannya dinilai sama atau kurang dari 30%.
Dengan demikian, tidak ada jalan untuk melakukan koreksi atas penguasaan hutan oleh Perhutani atas hutan di Jawa, yang telah banyak menimbulkan banyak konflik dan menyengsarakan petani. Ketiga, kepentingan pembangunan perkebunan skala besar bersembunyi di dalam kriteria TORA kawasan hutan.
TORA nyata-nyata jauh dari harapan rakyat!
Keempat, wilayah perkebunan skala besar (termasuk milik BUMN/PTPN) yang selama ini bersengketa dan telah merampas tanah rakyat, perkebunan terlantar dan HGU bermasalah, belum menjadi wilayah prioritas reforma agraria ala pemerintah ini.
Kelima, TORA orientasi utamanya masih bersifat sektoral kehutanan dan pedesaan. Padahal tujuan RA mesti multi sektoral. Sehingga perlu dirancangkan juga penyelesaian ketimpangan struktural di wilayah pertambangan, pesisir, kelautan, pulau2 kecil dan masalah agraria perkoataan.
Keenam, masalah legalisasi aset. Tiga tahun ini lebih giat melakukan sertifikasi tanah (saja). Komunikasi politik Presiden kepada publik pun dalam kesempatan-kesempatan seremonial pembagian sertifikat terdengar sumbang. “Bagi-bagi sertipikat†oleh Presiden, tanpa adanya proses pemeriksaan dan penataan ulang struktur penguasaan tanah terlebih dahulu, termasuk minus program pendukung pasca sertifikasi (penataan produksi dan pengembangan ekonomi petani), promosi peluang pengagunan sertifikat ke bank seolah menunjukkan pemerintah sedang mengamini ketimpangan yang terjadi, mendukung proses liberalisasi dan pasar tanah.
Artinya dari sisi TORA, baik hutan maupun non-hutan, mengalami penyempitan bahkan pembelokkan makna dan tujuan reforma agraria.
2) Masalah Kelembagaan
Pertama, setelah lama tak ada kejelasan mengenai lead-sector pelaksana RA, beberapa bulan lalu berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator Perekonomian Nomor 73 Tahun 2017 tentang Tim Reforma Agraria, dibentuk sebuah tim kerja yang diketuai Menko Perekonomian dan berfungsi melakukan koordinasi, pengendalian hingga pemantauan dari pelaksanaan reforma agraria.
Tim ini terbagi ke dalam tiga Kelompok Kerja (Pokja) yakni Pokja I Pelepasan Kawasan Hutan dan Perhutanan Sosial, Pokja II Legalisasi dan Redistribusi Tanah Objek Reforma Agraria, dan Pokja III Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat. Pokja I diketuai oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Pokja II diketuai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), dan Pokja III diketuai oleh Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Desa dan PDTT).
Selain ketiga menteri tersebut, bertindak sebagai anggota Tim Reforma Agraria adalah Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertanian, Menteri Badan Usaha Milik Negara, dan Kepala Staf Kepresidenan.
Cara bekerja Tim RA ini masih belum jelas dalam konteks menjalankan operasi RA secara nasional, sistematis dan otoritatif, termasuk dalam memeriksa masalah agraria yang hendak dijawab. Belum sinergis dan masih kental ego-sektoralnya (bekerja sendiri-sendiri). Selain itu, tidak adanya keterlibatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ataupun keterwakilan kepentingan perempuan dalam komposisi kelembagaan RA, menunjukkan belum melihat Reforma Agraria sebagai agenda yang menyeluruh dalam menjawab persoalan ketimpangan, termasuk ketimpangan gender.
Kedua, Terkait kesepakatan (MoU) Kemenko dengan WWF, sebagaimana diketahui, WWF sebagai lembaga konservasi hutan dan satwa langka tidak mempunyai pengalaman dalam perkara reforma agraria. Padahal, reforma agraria adalah agenda bangsa yang telah menjadi prioritas nasional. Reforma agraria membutuhkan ketepatan antara wilayah dan kelompok sosial (masyarakat) penerima manfaat, utamanya petani, masyarakat adat, nelayan dan perempuan pejuang agraria.
Tanpa pemahaman substansi, prinsip-prinsip mendasar, sekaligus medan wilayah dan medan sosial-politik yang cukup mustahil lembaga ini bisa menjadi “pengatur†pelaksanaan RA pada arah dan tujuan yang tepat. Apalagi, lembaga ini merupakan lembaga internasional (asing). Bagaimana nasib petani, masyarakat adat dan masyarakat korban konflik agraria, sekaligus nasib agenda bangsa sebesar reforma agraria dapat diserahkan pada NGO internasional.
Agenda reforma agraria dalam perjalanannya di Indonesia sejak masa kemerdekaan hingga 1965, Orde Baru hingga masa Reformasi sarat tantangan, akibat selalu dilekatkan dengan agenda komunis. Saat ini RA merupakan prioritas nasional yang telah dipercayakan kepada Kemenko mengingat tuntutan pekerjaannya sangat krusial bagi hajat hidup manusia, bersifat lintas kementerian dan lembaga.
Menunjuk organisasi non pemerintah (ornop) sebagai pusat koordinasi bersama, sangatlah ironis, di tengah isu ego-sektoral antar kementerian/lembaga terkait masih menjadi kendala besar dalam pelaksanaan RA. Mengingat juga tapak kesejarahan perjuangan agenda RA, kerjasama Kemenko ini telah mengecilkan tujuan-tujuan besar RA.
Meski telah keluar pernyataan Menko Perekonomian baru-baru ini, yang konon akan meninjau ulang MoU dengan WWF, patutlah dicatat bahwa keputusan gegabah MoU adalah mencerminkan ketidakpahaman pemerintah atas urusan besar bernama reforma agraria dan perhutanan sosial. Ini adalah bentuk pengalihan tanggung jawab Negara (pemerintah) kepada masyarakat sipil.
3) Masalah Regulasi
Pertama, hingga tahun ketiga berakhir, Perpres tentang Reforma Agraria tidak kunjung ditandatangani juga oleh Presiden. Menjadi pertanyaan besar terhadap keseriusan pemerintah yang banyak berjanji dalam banyak kesempatan akan dan sedang menjalankan RA. Ketiadaan landasan hukum operasional untuk menjalankan RA berimplikasi pada lambatnya implemengtasi, ketidakjelasan tata laksana dan lembaga pelaksana yang bertanggung jawab sekaligus memimpin proses RA.
Termasuk berdampak pada tidak sesuainya obyek (TORA) dan subyek (masyarakat) dengan prinsip dan tujuan pokok reforma agrarian yang genuine. Berimplikasi juga kepada belum adanya sinergi dan koordinasi efektif antar kementerian dan lembaga untuk mejalankan RA.
Ego-sektoral masih kuat melekat dalam tubuh pemerintahan yang berdampak pada mandegnya janji politik Jokowi-JK. Agenda Reforma Agraria ala Pemerintah belum menyasar perempuan sebagai subyek, termasuk perempuan kepala keluarga. Tidak ada jaminan kesetaraan hak dalam pemilikan dan penguasaan tanah, dan dalam mendapatkan manfaat yang setara antara laki-laki dan perempuan sebagai diatur dalam UUPA, sehingga tidak akan mampu menjawab persoalan ketimpangan gender dalam struktur penguasaan agraria.
Kedua, lahirnya kebijakan kehutanan yang kontraproduktif dengan tujuan penyelesaian konflik di kawasan hutan. Disahkannya Perpres 88/2017 yang cukup lama dinanti, sebagai pengganti Peraturan Bersama 4 Menteri kembali meneguhkan klaim kawasan hutan. Ditengah janji hendak melepaskan kawasan hutan untuk reforma agraria, justru klaim kawasan hutan dan rezim ijin diperkuat, di tengah masalah ketidakjelasan tahapan penunjukkan atau pun penetapan kawasan hutan.
Alih-alih segera menerbitkan Perpres RA, justru Perpres 88/2017 keluar dan menuai banyak kekecewaan dari kalangan ornop dan akademisi/pakar agraria. Regulasi ini kembali mengukuhkan posisi KLHK yang hendak menutup ruang reforma agraria dan jalan penyelesaian konflik secara luas dan tuntas di kawasan klaim kehutanan. Kebijakan ini menjadi kontrapropuktif, bahkan bertentangan dengan semangat dan rencana realisasi reforma agraria.
Aturan yang dijanjikan dapat menyelesaikan konflik agraria di kawasan (klaim) kehutanan ini, ternyata hanya ditujukan bagi area-area yang baru “ditunjuk†oleh KLHK. Peraturan baru Presiden in memastikan bahwa ranah hukumnya bukanlah di area-area yang statusnya sudah “ditetapkan†sebagai proses akhir dalam tahapan pengukuhan kawasan hutan.
Perpres ini berpotensi kuat menambah dan memperluas konflik agraria di sektor kehutanan, sekaligus menempatkan petani dan masyarakat adat di wilayah konflik menjadi kelompok yang semakin rentan. Rentan terhadap proses penyingkiran dari wilayah kehidupannya dan tanah garapannya, serta rentan ancaman kriminalisasi oleh aparat di lapangan. Pilihan resettlement (pemindahan penduduk) di wilayah hutan konservasi, merupakan kemunduran jauh komitment politik pemerintahan masa reformasi ini, di tengah berjanji menjalankan RA, mengakui dan memperkuat hak-hak rakyat serta menyelesaikan konflik.
4) Masalah Anggaran
Ketiadaan APBN yang secara khusus menjamin pelaksanaan RA secara nasional, sistematis dan menyeluruh sesuai cakupan target pencapaiannya berdampak pada tersendatnya proses perencanaan dan pelaksanaan RA yang optimal. Berdampak pula pada pola-pola pendekatan kementerian/lembaga Negara dalam konteks menjamin operasionalisasi RA melalui pembangunan kerjasama dengan pihak ketiga non-negara, sebagai jalan pintas mengatasi keterbatasan anggaran. Berdampak pula pada penyesuaian-penyesuaian model RA dengan menggunakan peluang hukum yang tersedia, yang sesungguhnya semakin menjauhkan proses apa yang dinamakan RA itu dengan tujuan awal dan prinsip-prinsip pokok RA.
5) Masih Buruknya Masalah Konflik Agraria dan Kriminalisasi Rakyat
Di tengah mandeknya dan biasnya pelaksanaaan reforma agraria tersebut. Perampasan dan kriminalisasi petani justru semakin marak terjadi. Dari tahun 2015 hingga 2016, telah terjadi sedikitnya 702 konflik agraria di atas lahan seluas 1.665.457 juta hektar dan mengorbankan 195.459 KK petani (KPA, 2015-2016). Artinya, dalam satu hari telah terjadi satu konflik agraria di tanah air. Sementara, dalam rentang waktu tersebut sedikitnya 455 petani dikriminalisasi/ditahan, 229 petani mengalami kekerasan/ditembak, dan 18 orang tewas. Angka ini jauh berbanding terbalik dengan janji dan rencana reforma agrarian dan penguatan hak-hak dasar petani.
6). Tidak jelasnya mekanisme penyelesaian konflik agraria secara menyeluruh
Ribuan konflik agraria di seluruh Indonesia tidak terurus dan belum menjadi bagian dari pelaksanaan Reforma Agraria. Hal ini berdampak pada terlanggarnya hak-hak masyarakat dan terus terjadinya kriminalisasi.
Di sisi lain, pemerintah Jokowi-JK dengan konsep “Poros Maritim Dunia†(PMD) yang pernah dibangga-banggakan, sebenarnya masih gagap dan terlihat belum memiliki arah dan strategi berkelanjutan untuk memanfaatkan laut dan pesisir. Kelautan sebagai konskuensi corak ekonomi baru pada akhirnya memunculkan “masalah agraria baru†di sektor kelautan dan pulau-pulau kecil.
Hal ini tergambar dari arah kebijakan dan pembangunan Jokowi-JK yang masih menjadikan laut sebagai objek eksploitasi para investor ketimbang menjadikannya jalan untuk mendorong kesejahteraan masyarakat pesisir di 10.666 desa di Indonesia.
Pusat Data dan Informasi KIARA menemukan di tahun 2016 saja, setidaknya terdapat 28 Titik area pesisir yang direklamasi dan 20 titik area pesisir yang ditambang dan pada akhirnya menimbulkan konflik horizontal, serta 40 kasus kriminialisasi yang dialami oleh nelayan.
Meluruskan dan Mempercepat
Melihat perkembangan tiga tahun ini, maka kami dari Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) mendesak pemerintahan Joko Widodo untuk meluruskan dan mempercepat pelaksanaan reforma agrarian dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Presiden segera meluruskan pelaksanaan reforma agraria yang sesuai dengan Sila ke-5 Pancasila, Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, UUPA 1960 dan Tap. TAP MPR No.IX Tahun 2001 tentang PA-PSDA, yakni reforma agraria yang bertujuan merombak ketimpangan struktur agraria, menyelesaikan konflik dan meningkatkan derajat kehidupan rakyat.
2. Presiden segera mengambil langkah tegas, memanggil semua kementerian dan lembaga terkait perencanaan dan implementasi reforma agraria serta penyelesaian konflik, untuk meluruskan langkah-langkah yang selama ini dijalankan, dan mempercepat proses RA yang dikehendaki masyarakat.
3. Desakan banyak kalangan agar pemerintah segera membatalkn naskah kesepakatan Kemenko dengan WWF adalah cara bijak untuk mendengar aspirasi publik secara luas, sekaligus menyelamatkan reforma agraria, yang oleh Presiden disebut sebagai agenda bangsa dan harus dikerjakan dengan cepat maupun tepat oleh Negara, dan memastikan keterlibatan organisasi rakyat yang sehaluan dengan agenda reforma agraria.
4. Reforma agraria harus berlaku di seluruh wilayah Indonesia sesuai konteks lokal yang terjadi dari sisi ketimpangan struktur agraria, situasi konflik dan kondisi sosial-ekonomi masyarakatnya yg berdimensi multi sektoral, pedesaan maupun perkotaan, artinya Pulau Jawa, Provinsi Lampung dan Bali harus menjadi bagian dari realisasi RA.
5. Mengingat waktu tidak lagi banyak, janji pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Presiden tentang Reforma Agraria sebagai panduan pelaksanaan dan kelembagaan pelaksana RA sangat penting segera direalisasikan. Cakupan isinya memastikan masalah agraria dan konflik kronis di Tanah-Air di banyak sektor (kehutanan, perkebunan PTPN/swasta, pertambangan, bisnis konservasi) menjadi prioritas pelaksanaan reforma agraria.
6. Tim Reforma Agraria yang saat ini “terlanjur†telah dibentuk pemerintah, yang dipimpin oleh Kemenko Bidang Perekonomian bersama Tiga Pokja utamanya (Kementerian LHK, Kementerian ATR/BPN dan Kemendes) bersama Kantor Staf Presiden (KSP) harus lah memprioritaskan kerjanya dalam 2 (dua) tahun ke depan pada lokasi-lokasi prioritas RA yang telah diusulkan rakyat dari bawah (bottom-up process). Secara paralel, bekerja memastikan Perpres RA dan mematangkan tahapan serta prasyarat RA yang lebih utuh ke depan.
7. Upaya-upaya reforma agraria pemerintah harus sejalan dengan penghormatan, perlindungan dan pengakuan hak-hak petani, masyarakat adat, nelayan dan perempuan di pedesaan, memastikan masyarakat terbebas dari tindakan represifitas aparat dan ancaman kriminalisasi dalam memperjuangkan reforma agraria dan penyelesaian konflik di seluruh Tanah-Air.
Demikian pernyataan sikap ini dibuat untuk menjadi perhatian semua pihak.
Atas Nama Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA)
Juru Bicara
– Dewi Kartika
– Rukka Sombolinggi
– Puspa Dewy
– Tigor Hutapea
– Mardha Tilla
Presidium Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA):
1. Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
2. Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
3. Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI)
4. Nurhidayati, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
5. Asfinawati, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
6. Eko Cahyono, Direktur Eksekutif Sajogyo Institute (Sains)
7. Y.L. Franky, Direktur Eksekutif Yayasan PUSAKA
8. Deny Rahadian, Kordinator Nasional Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
9. Yati Andriyani, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS)
10. Puspa Dewy, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan (SP)
11. Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
12. Mardiah, Kordinator Umum Bina Desa
13. Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch (SW)
14. Mardha Tilla, Direktur Eksekutif Rimbawan Muda Indonesia (RMI)
15. Hari Patono, Serikat Tani Bengkulu (STaB)
16. Ahmad Faizi, Jaringan Kerja Tani (JAKATANI)
17. Agustiana, Serikat Petani Pasundan (SPP)
18. Asep Maulana, Serikat Tani Indramayu (STI)
19. Sugandi, Forum Perjuangan Petani Batang (FPPB)
20. Kasiyanto, Forum Perjuangan Rakyat Sendi Mojokerto (FPRSM)
21. Nurul Huda, Serikat Petani Lumajang (SPL)
22. Jumain, Serikat Tani Independen (SEKTI)
23. Tukinan, Paguyuban Petani Aryo Blitar (PPAB)
24. Sumari, Serikat Petani Konawe Selatan (STKS)
25. Simon Aling, Serikat Petani Minahasa (SPM)
26. Anwar Sadat, Serikat Petani Sriwijaya (SPS)
27. Harun Nuh, Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI)
28. Fubertus Ipur, Lembaga Pemberdayaan Pergerakan Rakyat (Elpagar)
29. Basri Andang, Perkumpulan Wallacea
30. Rudi Casrudi, Rukun Tani Indonesia (RTI)
31. Ilham Lahiyah, Serikat Petani Majalengka (SPM)
32. Noviar, Serikat Tani Kerakyatan Sumedang (STKS)
33. Willy Hanafi, LBH Bandung
34. Zainal Arifin, LBH Semarang
35. Hamzal Wahyudin, LBH Yogyakarta
36. Abay Haetami, Umum Pergerakan Petani Banten ( P2B)
37. Irwan Dani, Perhimpunan Hanjuang Mahardika Nusantara (PHMN)
38. M. Syaikhu Mochtar, Umum Serikat Tani Mandiri (SETAM) Cilacap
39. Sunarji, Forum Peduli Kebenaran dan Keadilan Sambirejo (FPKKS) Sragen
40. Katur. S. B, Serikat Tani Amanat Penderitaan Rakyat (STAN AMPERA)
41. Sarkim, Himpunan Tani Masyarakat Banjarnegara (HITAMBARA)
42. Djarmaji, Forum Persaudaraan Petani Kendal (FPPK)
43. Wahyudi, Organisasi Petani Jawa Tengah (ORTAJA)
44. Abdul Azis, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Sulawesi Selatan
45. Mustam Arif, Perkumpulan Jurnal Celebes
46. Nur Asiah, Solidaritas Perempuan Anging Mamiri
47. Adnan Buyung Azis, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Makassar (YLBHM)
48. Abdul Karim, Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR)
49. Akis Nuru, Persatuan Masyarakat Uraso Luwu Utara
50. Kisran Makati, Pusat Studi Pembaruan Agraria & Hak Asasi Manusia (PUSPA-HAM)
51. Djabir. T. Lahukawi, Forum Swadaya Masyarakat Daerah (ForSDa)
52. Rais, Persatuan Rakyat Salendrang (PRS) Maros
53. Firman, Jaringan Kerja Bumi (Jangkar Bumi)
54. Bahtiar, Balai Latihan dan Pengembangan Masyarakat (BPLM)
55. Frandody Tarumanegara, Serikat Tani Tebo (STT)
56. Gondo Ramanto, Serikat Petani Batanghari (SPB)
57. I Putu Artana, Serikat Tani Sumberklampok (STS)