Artikel ini ditulis oleh Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi Energi.
Utang Pertamina telah meningkat dengan sangat pesat. Dalam laporan keuangan Pertamina terakhir tahun 2023 tercatat utang BUMN migas ini telah mencapai 800 triliun rupiah.
Merupakan tingkat utang terbesar dari seluruh BUMN dan mengalami peningkatan dengan sangat cepat dalam dua dekade terakhir.
Mungkinkah hal ini akan mengulang sejarah kebangkrutan Pertamina akibat gagal bayar utang?
Tahun 2014 utang Pertamina berada di angka 32,3 miliar dollar, atau sekitar 400 triliun pada tingkat kurs saat itu.
Hanya dalam tempo 10 tahun utang Pertamina telah meningkat dua kali lipat. Usaha mengejar utang dengan berbagai cara telah menjadi strategi kunci Pertamina selama rentang waktu tersebut.
Sekarang Pertamina telah selesai melakukan restrukturisasi besar-besaran melalui apa yang disebut holding sub holding.
Utang kembali menjadi strategi utama sub holding Pertamina untuk mendapatkan uang. Anak perusahaan Pertamina telah menjadi perusahaan yang berdiri sendiri dan telah memiliki peringkat utang masing masing.
Sub holding atau anak anak perusahaan akan sekuat tenaga mengejar utang untuk ambisi belanja modal yang besar.
Patra Niaga dengan peringkat utang di atas Induknya telah membuat target utang untuk menambah belanja modal (Capex). Walaupun sebenarnya anak perusahaan Pertamina ini sebagian besar barang dagangannya adalah barang subsidi atau bukan pedagang murni.
Wajar memiliki peringkat lebih tinggi dari induk dan menjadi incaran. Karena ongkang-ongkang kaki sekalipun Patra Niaga sudah pasti untung dan tidak ungkin rugi. Seluruh transaksinya dilindungi oleh subsidi dan kompensasi.
Satu satunya masalah yang besar di Pertamina Patra Niaga adalah banyak piutang yang tidak tertagih terutama sekali piutang BBM mereka terhadap swasta baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Kontrak penjualan yang mungkin semberono atau ditenggarai ada kesengajaan sebagai modus jual beli BBM menjadi perhatian lembaga penegak hukum dan telah mengetahui bahwa masalah ini banyak terjadi di Patraniaga dan menunggu momentum untuk menuntaskannya?
Namun yang jelas utang PPN sangat besar sekarang. PPN memiliki kas yang tersedia sebesar USD2,1 miliar pada akhir 2023, terhadap USD3,2 miliar utang jangka pendek.
Untuk mempertahankan belanja PPN memiliki fasilitas utang USD1,7 miliar BRI dan bank Mandiri. Selain itu PPN juga memiliki akses terhadap fasilitas kredit yang dijamin pemerintah senilai USD3 miliar dari Bank Mandiri, BRI, dan PT BNI.
Semua pinjaman ini digunakan untuk mengelola dampak perubahan harga minyak. Intinya ngutang baru bisa belanja minyak.
Demikian halnya dengan Kilang Pertamina Internasional (KPI) yang telah membelanjakan dana sangat besar untuk menyelesaikan RDMP dan konon semua kilang yang diupgrade akan siap operasi pada 2025.
Namun KPI kembali merencanakan belanja modal lebih dari USD24 miliar pada tahun 2024-2030 untuk meningkatkan kapasitas pengilangan menjadi 1,4 juta barel setara minyak per hari (mmboed) (2023: 1,05 mmboed) dan kapasitas petrokimia sebesar 4,5x menjadi 7,5 juta ton per tahun (mtpa).
Apakah masih ada yang akan utang KPI untuk belanja 2025-2030 tersebut. Ini tampak suram di tengah gempuran isu transisi energi.
Peringkat utang juga telah terbit untuk Kilang Pertamina Internasional (KPI). Perusahaan telah banyak menghabiskan angaran belanja untuk pembangunan Kilang yang sebagian besar didanai dengan utang.
Sekarang terbentur oleh masalah kilang yang over capacity dikarenakan produksi minyak nasional khususnya pertamina yang rendah. Kapasitas kilang pada 2025 sebesar 1,2 juta barel sehari tapi produksi minyak hanya 600 ribu barel sehari. Jika menjadi pengelolah minyak impor maka kilang akan kalah bersaing dengan kilang kilang di Singgapura.
Sub Holding yang paling nekat adalah Pertamina Internasional Shiping (PIS), walaupun peringkat utang cukup rendah namun perusahaan telah menargetkan belanja tangker sekitar 25 triliun rupiah yang akan mereka habiskan sebelum pemerintahan jokowi berakhir.
Publik belum membaca studi kelayakan rencana pembelian tanker impor dalam jumlah sangat banyak tersebut. Meskipun semua orang tau bahwa itu akan menjadi rantai supply minyak impor.
Seperti sub holding yang lain, PHE tidak mau kalah, akan mempertahankan belanja modal yang tinggi pada tahun 2024-2027 dengan pengeluaran tahunan sekitar USD3,2 miliar-4,2 miliar (2023: USD4 miliar), dengan fokus utama pada pengembangan aset domestik yang ada.
Meskipun PHE telah menggali hampir 1000 sumur minyak baru namun belum menambah produksi secara signifikan. Tambahan produksi minyak dengan capex yang sangat besar tersebut hanya menghasilkan 2000 barel sehari. Naiknya begitu tipis, jauh dibandingkan belanja yang mereka keluarkan.
Belanja modal yang besar oleh perusahaan minyak Pertamina yang diperoleh dari utang, satu sisi merupakan usaha meningkatkan pertumbuhan industri migas nasional.
Namun sisi lain makin banyak utang yang diwariskan maka makin susah belanja modal pemerintahan ke depan.
Jika belanja modal ke depan rendah, karena kantong pertamina sudah penuh dengan utang, maka pertumbuhan sektor energi ke depan akan melemah bahkan negatif.
Ini akan menjadi masalah besar, akan menjadi tornado effects bagi ekonomi Indonesia bukan hanya sektor energi. Jadi bro sisahkanlah sedikit belanja capex Pertamina untuk belanja pemerintahan baru Prabowo Gibran.
[***]