“Jangan takut pada para neolib. Kalau kita bersatu, mereka tidak ada apa-apanya dan saya sudah buktikan itu,†ujar mantan Presiden BJ Habibie, di gedung MPR RI, Selasa (22/8).
Pernyataan Habibie tersebut seperti hendak mengingatkan kembali rakyat negeri ini atas kejam dan rakusnya mazhab neoliberalisme. Sistem ekonomi yang menurut mantan Menko Perekonomian Kwik Kian Gie, telah diterapkan Indonesia sejak 1967 tersebut, terbukti telah gagal membawa rakyat Indonesia sejahtera.
Bahkan bukan hanya itu, neoliberalisme atau akrab disebut neolib telah menjadi pembuka pintu lebar-lebar bagi masuknya neokolonialisme dan neoimperialisme.
Topeng culas neolib terkuak lebar ketika Asia diterjang krisis moneter dahsyat pada 1997. IMF, Bank Dunia, dan Asian Development Bank (ADB) dikenal sebagai personifikasi neolib.
Jejak buruk mereka bisa ditelusuri saat krismon. Dimulai dari Thailand, bak domino runtuh, krisis menjalar ke sejumlah negara lain. Indonesia, Malaysia, Filipina, dan juga Korsel. Selang beberapa tahun kemudian, semua negara tersebut mulai pulih.
Tapi hal serupa tidak terjadi pada Indonesia.
Petaka ekonomi dahsyat bermula ketika Pemerintah mengundang International Monetary Fund (IMF) untuk campur tangan. Tapi bukannya pulih, Indonesia justru tenggelam kian dalam di kubangan krisis. Ekonomi yang sebelumnya tumbuh secara konsisten di kisaran 7% tergerus hingga minus 13%.
14 Agustus 1997, Bank Indonesia (BI) yang saat itu masih menjadi bagian dari Pemerintah, atas saran IMF melepas batas bawah dan batas atas rupiah. Alasannya, supaya devisa tidak terkuras untuk mempertahakan nilai tukar rupiah pada level yang dikehendaki. Saat itu pasar uang memang sangat fluktuatif.
Tapi apa lacur, rupiah justru terjun bebas, dari Rp 2.500an menjadi Rp16.000an/US$ hanya dalam tempo singkat. Para konglomerat yang meminjam dalam dolar, langsung kolaps karena utang mereka tiba-tiba menggelembung lima kali lipat.
Malapraktik IMF di Indonesia benar-benar membuat ekonomi negeri ini meluncur ke titik nadir. Itulah sebabnya jauh-jauh hari, Oktober 2017, ekonom senior Rizal Ramli menyebut IMF sebagai Dewa Amputasi. Padahal, saat itu banyak pihak meyakini kehadiran IMF di Indonesia bakal menjadi Dewa Penyelamat.
Tapi sejarah akhirnya membuktikan, Rizal Ramli benar. IMF adalah dokter bedah yang melakukan malapraktik dan membebankan semua biaya kesalahannya yang amat besar kepada si pasien.
Pada November 2003, Asisten Direktur IMF untuk Asia Pasifik Charles Adam dalam sebuah seminar ekonomi regional di Bangkok, Thailand, mengaku IMF telah salah menangani krisis ekonomi yang melanda Asia. Kesalahan terutama pada penanganan krisis di Indonesia, Thailand dan Korea Selatan.
IMF juga melakukan kesalahan di banyak negara lain, termasuk Amerika Latin. Yang terbaru, kesalahan serupa mereka lakukan lagi di Yunani.
Melawan neolib
Di Indonesia, amat sedikit pejabat publik yang melakukan perlawanan terhadap hegemoni neolib. Barangkali kita hanya bisa menyebut dua nama, Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli. Habibie muncul kemudian. Tapi pernyataan yang disampaikan perintis dan pembangun industri pesawat terbang dua hari silam, kembali menegaskan bahwa neolib memang benar-benar ada dan tengah kuku-kukunya mencengkram dengan kuat dan dalam ke jantung kekuasaan.
Kwik dan Rizal Ramli sudah lama dikenal sebagai pengeritik keras kaum neolib. Keduanya terus saja bersuara lantang, baik ketika di dalam maupun luar kekuasaan. Dalam artikel panjangnya berjudul Apa Neo Liberalisme (Neolib) Itu?, Kwik menelanjangi keburukan dan kebobrokan neolib.
Pada bagian akhir artikelnya, Kwik menulis, “Tim ekonomi dalam pemerintahan di Indonesia sejak tahun 1967 adalah kaum neolib yang lebih ekstrem dari rekan-rekannya di negara-negara barat. Perkecualiannya hanya sebentar sekali, yaitu selama kabinet Gus Dur.â€
Sikap kritis Rizal Ramli terhadap neolib bahkan sudah disuarakan sejak amat belia, saat masih menjadi mahasiswa di ITB tahun 1978an. Bukunya berjudul Rizal Ramli, Lokomotif Perubahan: Langkah Strategis dan Kebijakan Terobosan, 2000-2001, memaparkan bagaimana ekonomi negeri ini bisa dibangkitkan tanpa membebek doktrin neolib.
Pernyataan Kwik yang menyebut ada kekecualian tim ekonomi negara tidak dikuasai kaum neolib saat Gusdur Presiden, itu terjadi karena Menko Perekonomian dan Menkeu dijabat Rizal Ramli. Dia juga membuktikan sejumlah kebijakan terobosan berbasis ekonomi konstitusi yang diambilnya, justru mampu ekonomi terbang lebih tinggi, rakyatnya lebih sejahtera, dan membuat Indonesia digdaya di mata dunia.
Sebaliknya, publik akan dengan mudah menemukan jajaran hamba sekaligus para pejuang neolib yang bersemayam di pusat lingkaran kekuasaan. Tentu saja, mereka tidak mengaku apalagi menepuk dada sebagai penganut neolib. Namun dengan mencermati berbagai kebijakan yang dikeluarkan, maka kita akan dapat mengendus aroma neolib yang sangat sengit menyeruak.
Kenyataan ini pula yang sering tidak masuk nalar orang yang waras dan berhati nurani. Sebagai kaum intelektual, bagaimana mungkin mereka terus saja mengabaikan begitu banyak fakta dan bukti betapa bobroknya mazhab neolib. Sebagai pejabat publik, bagaimana mungkin mereka bisa terus-menerus setia kepada para majikan asingnya, walau untuk itu harus mengorbankan kepentingan bangsa dan rakyatnya sendiri.
Dengan jabatan starategis yang disandang, mereka terus saja mendesain berbagai kebijakan dengan aroma neolib yang amat kental. Memangkas anggaran dan memotong belanja sosial. Pada saat yang sama, mereka mati-matian mempertahankan anggaran pembayaran pokok dan bunga utang yang dari waktu ke waktu jumlahnya makin tidak masuk akal waras dan mengusik nurani.
Kaum neolib ini tidak segan-segan memperlebar defisit, memalak rakyat dengan berbagai pajak, terus membuat utang baru, dan melego BUMN.
Sebagai pembantu Presiden, sejatinya mereka sudah melakukan banyak insubordinasi. Bukankah Presiden Joko Widodo sudah pernah dengan lantang menyatakan IMF, Bank Dunia, dan ADB tidak memberi solusi bagi persoalana ekonomi global?
“Pandangan yang mengatakan bahwa persoalan ekonomi dunia hanya dapat diselesaikan oleh World Bank, IMF, dan ADB adalah pandangan yang usang dan perlu dibuang,†ujar Jokowi dalam pidato Pembukaan Konfrensi Asia Afrika, di Jakarta, 22 April 2015.
Tapi begitulah Indonesia. Mereka yang bekerja dengan hati bagi negeri justru dikebiri. Para pengeritik dicutik agar tak berisik. Tidak ada tempat bagi pejabat penentang neolib.
Sebaliknya, para komparador kian mesra berkarib dengan neolib. Pejabat penjual negara terus berpesta memijak rakyat yang menderita. Ironis. Tragis!
Oleh Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)