Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Kamis, 19/12/24, Jam 15:24 WIB atau 08:24 UTC (Universal Coordinated Time), kurs rupiah tembus Rp16.422 per dolar AS. Penurunan kurs rupiah kemarin ini terlalu tajam. Tanda bahwa Bank Indonesia semakin tidak berdaya. Tanda bahwa ekonomi Indonesia dalam kondisi semakin memprihatinkan.
Bank Indonesia nampaknya kehabisan “peluru” (devisa) untuk intervensi kurs rupiah. Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan nampaknya sulit meredam defisit aliran dolar keluar dari Indonesia. Tambahan utang luar negeri semakin tersendat.
Investor portfolio dan hot money keluar dari pasar saham dan pasar obligasi. Indeks harga saham gabungan (IHSG) anjlok 1,84 persen.
Kalau kondisi seperti ini berlanjut, rupiah akan terus tergerus. Bukan tidak mungkin, dalam waktu dekat rupiah akan tembus Rp17.000 per dolar AS.
Kalau ini terjadi, tekanan terhadap rupiah akan semakin berat. Jangan sampai tekanan ini menjadi bola salju, memicu panik di dunia usaha, memicu gagal bayar utang luar negeri, yang bisa menjadi pangkal pokok krisis moneter.
Untuk mengatasi hal ini, Bank Indonesia berpotensi menaikkan suku bunga acuan untuk menahan capital outflow. Dalam hal ini, ekonomi akan tertekan dua sisi, tekanan suku bunga dan tekanan kurs rupiah yang semakin melemah.
Di lain sisi, kepercayaan investor terhadap masa depan ekonomi Indonesia semakin menipis. Kenaikan PPN menjadi 12 persen, di tengah ekonomi sedang meredup, daya beli sedang melemah, memperburuk prospek ekonomi 2025.
Ekonomi Indonesia dalam kondisi tidak baik. Serba sulit. Investor akan terus mengawasi respons kebijakan pemerintah: siap mendukung dan siap menghukum.
[***]