KedaiPena.Com- Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Anggoro Eko Cahyo mengakui dana jaminan hari tua (JHT) masih defisit. Hal ini terlihat dari rasio kecukupan dana (RKD) yang di bawah 100 persen sejak 2018 hingga Februari 2021.
Menanggapi hal ini, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengapresiasi keterbukaan Direksi BPJS Ketenagakerjaan yang baru tersebut.
Menurutnya, Dirut BPJS Ketenagakerjaan secara sadar menyampaikan bahwa iuran dari JHT yang masuk tidak cukup untuk membayar klaim keseluruhan JHT, karena rasionya tidap pernah 100%.
“Ini senada dengan apa yang pernah disampaikan KSPI dalam pertemuan dengan Direksi BPJS Ketenaagkerjaan yang baru pada tanggal 17 Maret 2021. Saat itu KSPI menyatakan bahwa BPJS Ketenagakerjaan tidak sehat, karena iuran yang diterima oleh BPJS Ketenagakerjaan per tahun sebesar 33 Trilyun tetapi BPJS Ketenagakerjaan membayar klaim JHT kepada pesertanya sebesar 34 Triliun,” kata Said Iqbal dalam keterangan, Rabu, (31/3/2021).
“Ini artinya tidak sehat. Besar pasar daripada tiang. Apalagi ditemukan indikasi dugaan korupsi oleh Kejaksaan Agung dalam tata kelola keuangan investasi pada saham dan reksa dana yang berpotensi merugikan negara 20 Triliun,” tambah dia.
Said menjelaskan, dari angka-angka tersebut potensi kerugian salah kelola investasi di saham dan reksa dana akan mengakibatkan BPJS Ketenagakerjaan tidak sehat dan merugikan negara dan peserta khususnya para buruh.
“Tentang klaim dari pihak BPJS Ketenagakerjaan yang menyatakan lembaganya dalam keadaan sehat (likuiditas keuangan) dan lebih dikarenakan total akumulasi keuangan dan asset BPJS Ketenagakerjaan sangat besar, hampir 500 Triliun,” papar Said.
Dengan dana sebesar ini, kata Said, bisa saja BPJS mengklaim masih sehat dan mampu membayar. Tetapi yang dipersoalkan, ialah mengapa terjadi indikasi dugaan korupsi 20 Triliun akibat salah kelola investasi saham dan reksa dana selama 3 tahun berturut-turut dan tidak di cut loss.
“Sehingga ketika terjadi unrealized loss, saham yang rugi tersebut makin besar kerugiannya. Apakah BPJS Ketenagakerjaan “sebodoh itu” membiarkan terjadi kerugian yang makin mendalam sampai dengan 20 Trilyun sebagaimana dugaannya diungkap oleh Kejagung,” tegas dia.
Menurut Said Iqbal, di dalam UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS mengatur 9 azas dalam pengelolaan BPJS. Antara lain, keterbukaan, kehati-hatian, dan dana amanah. Sementara di pasal lain dalam UU tersebut dinyatakan bahwa BPJS Ketenagakerjaan adalah badan hukum publik yang dibentuk oleh UU BPJS. Dengan kata lain, BPJS Ketenagakerjaan adalah wali amanah atau trust fund.
Dengan azas dan badan hukum tersebut, jelas pemilik iuran/keuangan dan asset BPJS Ketenagakerjaan adalah pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah. Ini berarti, kekayaan dan asset BPJS Naker bukan milik pemerintah saja atau BUMN.
“Itulah sebabnya, KSPI mewakili buruh Indonesia meminta dugaan indikasi korupsi di BPJS Naker sebesar 20 Trilyun dilanjutkan oleh Kejaksaan Agung dan gelar perkaranya dilakukan secara transparan dan terukur dalam bentuk public hearing (uji publik),” kata Said Iqbal.
“Jaksa Agung dan Dirut BPJS Ketenagakerjaan harus berani, jujur, dan bersedia melakukan public hearing bersama di DPR dalam rapat terbuka DPR RI dengan mengundang perwakilan serikat buruh, perwakilan Apindo/Kadin dan perwakilan pemerintah yang dapat diliput secara terbuka oleh media nasional (elektronik, cetak, dan online),” tambahnya.
Bilamana kejaksaan Agung dan Direksi BPJS Ketenagakerjaan tidak bersedia melakukan public hearing tentang dugaan indikasi korupsi 20 Triliun di BPJS Ketenagakerjaan, maka KSPI dan buruh Indonesia mendesak DPR RI membentuk Pansus Dugaan Korupsi BPJS Ketenagakerjaan.
Selain itu, KSPI juga akan mengorganissir aksi buruh terus menerus di kantor pusat dan kantor cabang BPJS Ketenagakerjaan di seluruh Indonesia.
Laporan: Muhammad Lutfi