PERSOALAN sampah di Jakarta begitu kompleks. Saking kompleksnya diskusi-diskusi atau kajian-kajian serta perencanaan dan pembuatan masterplan oleh banyak kalangan dalam upaya penyelesaian masalah persampahan terutama di perkotaan, hanya selesai dalam tataran konsep di atas kertas, namun tidak mampu diimplementasikan.
Sistem pembuangan sampah secara terbuka atau open dumping tidak lagi diperbolehkan sebagaimana amanat Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Persampahan, pasal 29 huruf (e) yang berbunyi; “dilarang melakukan penanganan sampah dengan pembuangan terbuka di tempat pemrosesan akhir”.
Larangan menimbun sampah secara terbuka di TPA, mengingat sampah yang ditumpuk dibiarkan terbuka dan membiarkan air lindi (leacheate) tidak terkelola, serta gas methana (CH4) yang timbul akibat reaksi biokimia sering terjadi ledakan dan kebakaran di TPA.
Seperti halnya TPA Bantargebang, TPA jenis ini sangat merusak lingkungan dan menjadi sumber berbagai penyakit, mencemari udara, tanah dan air tanah, mencemari irigasi dan badan-badan air, bau yang meresahkan hingga radius 5-10 km, merusak estetika, penyebab banjir dan krisis air bersih serta potensi konflik sosial.
Dari hasil Penelitian Dinas Kesehatan, Dinas kebersihan dan lingkungan Hidup DKI Jakarta (2000), menyebutkan bahwa pencemaran di Bantargebang Bekasi tercatat sebagai berikut:
(1) 40 persen derajat keasaman air sudah diambang batas,
(2) 95 persen ditemukan bakteri Ecoli pada air tanah (bakteri yang bisa menyumbat saluran pernafasan dan pencernaan),
(3) 35 persen tercemar Slamonella (virus penyebab tifus),
(4) 34 persen foto rontgen ditemukan penduduk positif menderita TBC,
(5) 99 persen warga sekitar bantar Gebang mengalami infeksi saluran pernafasan atas atau ISPA, dan (6) 8 persen penduduk mengalami tukak tulang, bahkan sejumlah warga setempat mengatakan ada beberapa orang yang meninggal sesak nafas akibat asap.
Dapat dibayangkan jika 15 tahun yang lalu kondisi lingkungan Bantargebang amat memprihatinkan, bagaimana dengan saat ini di mana manajemen TPA Bantargebang tidak mengalami kemajuan yang signifikan dalam arti perlindungan dan pengelolaan lingkungan Bantargebang.
Kondisi yang sama memperihatinkan terjadi di lokasi TPA Ciincing Jakarta Utara. Pencemaran akibat sampah yang tidak terkelola telah mengubah peruntukan air di sekitarnya dan menghancurkan sumber-sumber kehidupan masyarakat termasuk mencemari lima hektar tambak udang milik warga sekitar (2003).
Tidak hanya di Jakarta, bencana akibat salah urus kelola sampah juga terjadi di daerah, seperti tragedi ratusan orang yang tewas tertimbun longsoran sampah yang pernah terjadi di TPA Leuwigajah Bandung (2005), atau longsoran TPA Galuga Bogor yang menimbun puluhan petak sawah dan empat orang tewas (2010).
Dalam hal regulasi atau peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah persampahan di Jakarta, sudah cukup banyak yang dimiliki Pemprov DKI Jakarta sebagai dasar hukum kebijakannya. Namun hanya saja aturan yang ada tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Peraturan perundang-undangan terkait persampahan di Jakarta dimaksud di antaranya seperti:Â
Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Persampahan,
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan publik,
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3,
Peraturan Menteri PU No. 21/PRT/M/2006 tentang Kebijakan Dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan,
Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern,
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah, Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai,
Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca,
Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga,
Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah Di Jakarta, Tangerang, Bandung, Semarang, Surakarta Surabaya dan Makassar, Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 1281 Tahun 1988 tentang Pola Penanganan Kebersihan Lingkungan di DKI Jakarta,
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 5 Tahun 1988 tentang Kebersihan Dalam Wilayah Provinsi Dki Jakarta,
Peraturan Daerah No. 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum,
Peraturan Gubernur No. 131 tahun 2009 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta,
Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2009 Â tentang Pengelolaan Area Pasar,
Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2012 Â tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030,
Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2012 Â tentang Prasarana, Sarana dan Utilitas Umum, serta
Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2013 Â tentang Pengelolaan Sampah, dan lainnya.
Perlu diketahui bahwa sampah di Jakarta selain menjadi masalah dan mengganggu, pada faktanya sampah juga diperebutkan dan banyak pihak yang berkepentingan, sebab di balik pengelolaan sampah Jakarta ada uang ratusan miliyar hingga trilyunan.
Hanya saja semua pihak yang berkepentingan cuma mementingkan urusannya masing-masing tanpa benar-benar berfikir dan berupaya untuk bagaimana menyelesaikannya secara keseluruhan dari hulu ke hilir.
Siapa sajakah pihak-pihak yang berkepentingan dalam urusan sampah dimaksud? Yaitu mulai dari pelapak, pemilik lahan, produsen dan industri, investor pengolah sampah, politisi, pejabat dan instansi pemerintah baik pusat maupun daerah, konsultan, pengelola pasar, pengembang serta kalangan swasta lainya.
Artinya dari orang-orang kecil sampai elite pengusaha dan penguasa berkepentingan memperebutkan sampah. Semua berlomba mengurusi sampah tetapi hanya berorientasi mengejar keuntungan pribadi atau kelompok. Hal inilah yang membuat sampah tidak terkelola, menumpuk secara terbuka di TPA dan menjadi malapetaka, menghancurkan ekologi dan mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa.
Pada sisi yang lain meskipun banyak pihak yang memperebutkan sampah Jakarta, sesungguhnya Pemprov DKI Jakarta dalam mengelola sampah mempraktekkan kebijakan monopoli dan sentralistik serta bergantung pada lokasi TPA di luar Jakarta seperti TPA Bantargebang Bekasi.
Membuang sampah warga Jakarta ke daerah kota lain seperti ke TPA Bantargebang Bekasi yag selama ini jalankan sangatlah tidak bertanggungjawab, tidak berkelanjutan dan berpotensi melanggar HAM. Walaupun lahan TPA Bantargebang sudah milik Pemprov DKI Jakarta, tetapi secara administrasi TPA Bantargebang tetap dan masih berada dalam wilayah Bekasi Jawa Barat. Hal ini harus menjadi perhatian serius baik oleh pemerintah Bekasi ataupun Pemprov Jawa Barat sebagai upaya melindungi warganya dari ancaman kesehatan dan keselamatan jiwa.
Memberikan uang kompensasi atau istilah “uang bau” kepada warga sekitar yang terdampak, yang diberikan oleh Pemprov DKI Jakarta bukanlah solusi tepat dan berkelanjutan. Sebab uang yang diterima warga terdampak tidak sebanding dengan rendahnya kualitas hidup mereka serta ancaman kesehatan dan keselamatan jiwa serta perkembangan anak cucu yang juga sebagai generasi penerus bangsa.
Setiap provinsi ataupun kota, bagaimana pun harus bertanggungjawab terhadap sampah yang dihasilkannya, dan bukan membuang “melempar” ke kota tetangga. Kebijakan seperti itu dapat diibaratkan; kita membersihkan sampah di rumah lalu membuangnya ke rumah tetangga sebelah; “rumah kita bersih, tidak peduli rumah tetangga sebelah tercemar”.
Dalam hal wewenang dan tanggungjawab lainnya, meskipun Pemprov DKI Jakarta telah menyerahkan urusan mengelola sampah bekerjasama dengan swasta PT Godang Tua Jaya (PT GTJ) dan PT Navigate Organic Energy (PT NOEI) di TPA Bantargebang, namun Pemprov DKI Jakarta maupun pihak pengelola swasta tidak serius dalam penanganan bersama.
Baik Pemprov DKI Jakarta maupun PT GTJ dan PT NOEI keduanya telah melakukan wanprestasi. Pihak PT GTJ dan PT NOEI tidak mampu mengelola sampah menjadi energi ramah lingkungan dan berkelanjutan. Sementara Pemprov DKI Jakarta mengirim sampah melebihi kapasitas yang mampu ditangani pengelola (kapasitas 2.000 ton per hari, dikirim 6.500 ton per hari), serta membayar jasa pengolahan sampah atau tipping fee dengan harga relatif murah (Rp. 114 .000 per ton).
Pemutusan kontrak kerjasama oleh Pemprov DKI Jakarta terhadap PT GTJ dan PT NOEI sebagai pengelola TPA Bantargebang pada Juli 2016 lalu yang dianggap wanprestasi, mesti dilihat secara obyektif dan adil.
Terlepas dari persoalan hukum antara Pemprov DKI Jakarta dan PT GTJ dan PT NOEI, Pemprov DKI Jakarta harus fokus merencanakan dan membuat desain TPA dalam kota di 5 kotamadya se DKI Jakarta. Upaya ini untuk mengurangi ketergantungan kepada Bekasi dan sebagai bentuk tanggungjawab Pemprov DKI Jakarta dalam mengelola sampah “dirumah” sendiri (swakelola).
Selain fokus merencanakan dan membuat 5 TPA dalam kota, Pemprov DKI Jakarta harus merestorasi TPA Bantargebang. Semisal diawali dengan membuat green belt atau buffer zonemengelilingi seluruh kawasan TPA Bantargebang.
Pada 22 Juni 2016, kota Jakarta telah berumur 489 tahun. Dalam perkembangan peradaban kemajuan manusia terkhusus teknologi. Di usia tersebut Pemprov DKI Jakarta semestinya sudah matang dalam mengurusi persampahan. Terlebih Pemprov Jakarta adalah Ibukota yang menjadi contoh dan barometer kota-kota se-Indonesia bahkan mungkin dunia. Tidaklah berlebihan seloroh yang mengatakan bahwa jika Pemprov DKI Jakarta mengurus sampah saja gagal, bagaimana bisa mengurus permasalahan lainya.
Nyatanya hingga kini di usia kota Jakarta yang ke 489 tahun, dalam menangani dan mengelola sampah Pemprov DKI Jakarta masih menerapkan paradigma lama dan konvensional. Yakni pola penanganan sampah; kumpul-angkut-buang-kumpul-angkut-buang dan berakhir di TPA Bantargebang dengan ditumpuk secara terbuka.
Di samping pola penanganan sampah yang hanya mengedepankan kumpul-angkut-buang, secara obyektif Pemprov DKI Jakarta perlu mendapat apresiasi sebagai sebuah langkah kemajuan. Setidaknya dalam dua tahun terakhir dengan anggaran yang besar, Pemprov DKI Jakarta bisa mempekerjakan dan memobilisasi ribuan “pasukan oranye” petugas kebersihan atau pekerja harian lepas (PHL) dalam membersihkan sampah Jakarta hingga ke sudut kota.
Hanya saja Pemprov DKI Jakarta tetap mengedepankan pola penanganan sampah kumpul-angkut-buang. Sampah asal terangkut demi citra “Jakarta bersih”, tidak peduli daya dukung lingkungan dan daya tampung di TPA Bantargebang.
Sampah Jakarta sebagaimana dalam pemetaan (Saprof 2010) telah tercatat, 55 persen adalah jenis sampah organik dan 45 persen merupakan sampah jenis anorganik. Sementara sumber sampah dalam setiap wilayah kotamadya, 14,8 persen dari Jakarta Pusat, 19,5 persen dari Jakarta Barat, 25 persen dari Jakarta Timur, 25,7 persen dari Jakarta Selatan dan 15 persen dari Jakarta Utara. Lebih spesifik berdasarkan sumbernya antara lain; 52,97 persen berasal dari pemukiman, 8,97 persen dari industri, 27,35 persen dari perkantoran, 4 persen dari pasar, 5,32 persen dari lembaga pendidikan (sekolah) dan 1,4 persen dari lain-lain.Â
Dalam mengidentifikasi masalah sampah Jakarta secara umum, sederhananya telah diketahui bahwa; volume sampah di Jakarta saat ini mencapai 7.000 ton per hari, karakteristik sampah secara umum terbagi menjadi 3 (tiga) jenis yaitu organik anorganik dan limbah beracun berbahaya (B3). Demikian pula dengan sumber-sumbernya yang sebagian besar dari pemukiman, pasar, industeri, perkantoran, taman/jalan dan lainya.
Jika pemetaan atas kondisi masalah sampah Jakarta secara umum dan khusus telah diketahui sebagaimana tersebut, maka yang akan muncul kemudian adalah pertanyaan kunci (masalah) sebagai berikut; mau diapakan sampah itu, dibuat komposkah, mau dihabiskankah, mau didaur ulangkah, mau dimanfaatkan menjadi energi alternatifkah, atau apa?
Kenyataanya hingga saat ini pengelolaan sampah masih menggunakan metode penimbunan secara terbuka (open dumping), membiarkan gas methana dan air lindi mencemari lingkungan.
Pembuangan sampah secara terbuka di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah mengakibatkan sampah organik yang tertimbun mengalami dekomposisi secara anaerobik, proses itu menghasilkan gas methana (CH4). Gas methana (CH4) yang dihasilkan pada timbunan sampah dilokasi TPA telah menyumbang 20-30 kali lebih besar daripada karbon dioksida (CO2) yang merupakan pembentuk emisi gas rumah kaca (GRK), penyebab meningkatnya suhu bumi atau yang biasa disebut dengan istilah pemanasan global (global warming).
Sampah menghasilkan gas metana (CH4) dengan komposisi rata-rata tiap 1 ton sampah padat menghasilkan 50 kg gas methana. Artinya jika Jakarta menghasilkan sampah 7.000 ton per hari sama dengan menghasilkan gas methana 350 ton per hari. Dengan kata lain Jakarta menghasilkan gas methana 127.750 ton per tahun. Gas methana akan berada di atmosfer dalam jangka waktu sekitar 7-10 tahun dan dapat meningkatkan suhu sekitar 1,3 derajat Celsius per tahun.
Kontribusi emisi gas rumah kaca penyebab kenaikan tempratur udara bersumber dari beberapa sektor yang salah satunya adalah dari sektor persampahan. Dalam hal isu perubahan iklim, sektor persampahan harus menjadi perhatian khusus oleh Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah pusat. Sementara Pemprov DKI Jakarta berjanji akan menurunkan emisi sampai dengan 30 persen hingga tahun 2030 dan komitmen pemerintah pusat menurunkan hingga 26 persen secara nasional.
Janji pemerintah ini sebagai tindakan upaya dalam menjaga kenaikan temperatur udara di bawah 2 derajat celcius atau maksimal 1,5 derajat celcius, sebagaimana yang disampaikan pada konferensi perubahan iklim PBB (united nations framework convention on climate change-UNFCCC) atau yang disebut conference of the parties (COP) ke-15 di Copenhagen Denmark pada Desember  2009. Janji ini juga merupakan komitmen tindakan adaptasi terhadap perubahan iklim pemerintah pada COP ke-21 di Paris Perancis pada Desember 2015.
Para pakar atau ilmuan perubahan iklim menyatakan bahwa jika kenaikan temperatur bumi melebihi dari 2 derajat Celcius akan menyebabkan kerusakan tata kehidupan makhluk hidup dan menimbulkan berbagai bencana di muka bumi. Ancaman serius lainnya dari perubahan iklim adalah bencana alam, kekeringan, erosi, hama penyakit, banjir dan tenggelamnya pulau-pulau kecil yang diakibatkan kenaikan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub. (1/8/2016)
Oleh: Â Ubaidillah, pengamat lingkungan perkotaan