ADA yang menarik dari perhelatan Indonesia Economic Quarterly, Closing The Gap di Jakarta, Selasa (3/10) silam. Di acara tersebut Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo A. Chavez menyimpulkan pertumbuhan riil konsumsi nonpemerintah di triwulan II-2017 yang 5% jadi penghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Terkait penilaian Bank Dunia itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) mengatakan data hasil analisis yang disajikan Bank Dunia itu belum jelas. Mungkin perlu diteliti lebih jauh consumption pattern-nya, pola konsumsi di rumah tangga.
Meski begitu dia juga minta saran konkret WB bagaimana menyelesaikan permasalahan tersebut. Tapi, menurut dia, untuk memberi rekomendasi jalan keluar, dibutuhkan analisis data yang lebih mendalam. Nah, persoalannya, kata Sri, Bank Dunia belum bisa menyajikan itu.
Yang lebih menarik lagi, Menkeu juga minta WB menyajikan data-data dari negara lain yang telah sukses menyelesaikan permasalahan yang dihadapi Indonesia saat ini. Dengan begitu Indonesia bisa belajar dari pengalaman negara lain.
Menteri inkonsisten?
Bagaimana membaca pernyataan-pernyataan Sri tersebut? Agak membingungkan, memang. Pertama, sepertinya dia meragukan hasil analisis tentang Bank Dunia tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Ini agak aneh. Bukankah dia pernah menjadi salah satu petinggi di lembaga itu. Tidak tanggung-tanggung, jabatannya sebagai managing director! Bagaimana mungkin dia meragukan analisis lembaga tempat dia bekerja? Apakah ini hanyalah keseleo lidah, yang apa boleh buat, menjadi semacam ‘testimoni’ bahwa analisis Bank Dunia tidak mendalam? Dan, itu artinya tidak kredibel?
Kedua, ini lebih aneh lagi. Kalau dia meragukan analisis WB, mengapa pula pada kalimat berikutnya Sri justru minta Bank Dunia memberi rekomendasi bagi Indonesia untuk keluar dari problem yang dihadapi? Bahkan perempuan yang getol membuat utang dengan bunga supertinggi itu minta data-data negara lain yang telah sukses dari problem serupa. Apakah Sri sedang bingung?
Membandingkan berbagai kontradiksi pernyataan tadi, barangkali dengan gampang kita bisa menyebut Menkeu inkonsisten. Tapi, saya membaca apa yang terjadi pada perhelatan itu adalah sebuah peristiwa yang muncul dari ‘alam bawah sadar’ Sri. Maksudnya begini. Di alam bawah sadarnya, bisa jadi Menkeu mengakui analisis dan hasil kerja Bank Dunia tidak kredibel.
Itulah sebabnya banyak resep lembaga ini tidak membuahkan hasil seperti yang diinginkan. Yang terjadi justru sebaliknya. Negara-negara yang menerapkan resep Bank Dunia (juga IMF dan ADB) justru terperosok ke kubangan krisis yang lebih dalam. Indonesia pernah menjadi korban. Yunani adalah contoh teranyar.
Di sisi lain, pada bagian kedua menunjukkan kontradiksi dari seorang Sri. Mazhab neolib yang dengan gigih diperjuangankannya menjadi tembok besar yang mengungkungcakrawala berpikir dan kesadarannya. Ini ditunjukkan pada pernyataannya yang minta resep perbaikan dari Bank Dunia agar Indonesia bisa keluar dari ‘jebakan’ konsumsi privat yang ajeg di angka 5%.
Di satu sisi dia meragukan analisis Bank Dunia atas satu persoalan. Di sisi lain, dia tetap minta saran dan bantuan dari lembaga yang diragukannya. Apa yang sesungguhnya terjadi padamu, Sri?
Insubordinasi
Tapi, terlepas benar-tidaknya kemungkinan ‘keseleo lidah’ dan ‘testimoni’ tadi, satu hal yang pasti; bahwa Sri memang benar-benar pejuang neolib yang tangguh. Fakta dan kenyataan bahwa Bank Dunia (juga IMF dan ADB) yang gagal mendiagnosis dan meresepkan obat bagi banyak negara, toh tidak mampu membuatnya ‘pindah ke lain hati’. Dia tetaplah seorang neolib sejati.
Sampai di sini sebenarnya ada persoalan yang sangat serius. Bagaimana mungkin menteri bisa terus-terusan berseberangan bahkan berlawanan dengan Presiden yang menjadi bosnya? Sri yang neolib telah melawan Presidennya. Sri terus-menerus melakukan insubordinasi kepada atasannya.
Masih ingat pada pembukaan Konferensi Asia-Afrika, 22 April 2015 silam? Saat itu, Jokowi mengkritik pandangan bahwa persoalan ekonomi dunia hanya dapat diselesaikan oleh Bank Dunia, IMF, dan ADB. Berikut ini saya kutipkan beberapa bagian dari pidato Presiden tersebut:
“Saya berpendirian pengelolaan ekonomi dunia tidak bisa diserahkan hanya kepada tiga lembaga keuangan internasional itu. Kita wajib membangun sebuah tatanan ekonomi dunia baru yang terbuka bagi kekuatan-kekuatan ekonomi baru. Kita mendesak dilakukannya reformasi arsitektur keuangan global untuk menghilangkan dominasi kelompok negara atas negara-negara lain.â€
Pidato Jokowi itu langsung mendapat sambutan tepuk tangan meriah dari para hadirin. Jangan lupa, KAA dihadiri 21 kepala negara dan kepala pemerintahan. Mereka di antaranya Presiden China Xi Jinping, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, Presiden Kamboja Hun Sen, Sultan Brunei Hassanal Bolkiah, dan Raja Yordania Abdullah II.
Seperti belum cukup, Jokowi kembali menegaskan sikapnya saat malamnya menjamu delegasi KAA dalam acara gala dinner di Istana Merdeka, Jakarta. Sekitar 42 kepala negara dan perwakilan negara hadir dalam acara yang dimulai pukul 20.00 WIB itu. Malam itu, antara lain Presiden menyatakan:
“Ketidakadilan global terasa ketika sekelompok negara enggan mengakui realita dunia yang sudah berubah. Pandangan yang mengatakan bahwa persoalan ekonomi dunia hanya dapat diselesaikan oleh Bank Dunia, IMF, dan ADB adalah pandangan yang usang, yang perlu dibuang. Pengelolaan ekonomi dunia tidak bisa diserahkan hanya kepada tiga lembaga keuangan internasional; Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, dan Bank Pembangunan Asia.â€
Sungguh sebuah pernyataan yang amat lugas. Sebuah gugatan yang terang-benderang dari seorang Presiden terhadap dominasi trio simbol neolib dunia. Maka sangat mengherankan, bagaimana mungkin Sri masih saja kopeg alias keras kepala dengan neolibnya? Dan yang lebih mengherankan lagi, bagaimana mungkin seorang neolib sejati semacam Sri bisatetap bertahan sebagai Menkeu di dalam kabinet yang menasbihkan diri pewaris serta pengusung ideologi Tri Sakti Soekarno dan Nawacita. Aneh, benar-benar aneh!
Oleh Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Demnocracy Studies (CEDeS)